Selasa, 19 Juni 2012

Mushaf Sultan Ternate Tertua di Nusantara?: Menelaah Ulang Kolofon

[Catatan: Tulisan ini pernah dimuat di Jurnal Lektur, Vol. 8, No. 2, 2010, hlm. 283-296 <https://www.academia.edu/26460866/Mushaf_Sultan_Ternate_Tertua_di_Nusantara_Menelaah_Ulang_Kolofon>. Untuk pengutipan (sitasi), sebaiknya merujuk ke artikel yang dimuat di Jurnal Lektur tersebut.]

 
Pendahuluan
Mushaf Al-Qur'an Sultan Ternate banyak disebut sebagai mushaf tertua di Nusantara, dan pernyataan ini telah dikutip oleh beberapa tulisan yang membahas tentang Al-Qur'an atau naskah kuno Nusantara. Tulisan ini mencoba untuk melihat kembali sisi kodikologis naskah tersebut, khususnya kolofon, sehingga mudah-mudahan akan tercapai suatu pemahaman baru mengenai naskah ini.
      Awal mulanya, saya kira, muncul dari penelitian yang dilakukan sekitar 30 tahun yang lalu oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Jakarta, pada Februari 1979 di Ternate,[1] dan dilaporkan oleh A. Cholid Sodrie dalam makalah “Al-Qur'an Kuna di Ternate”, suatu naskah penyerta dalam Rapat Evaluasi Hasil Penelitian Arkeologi I, 1982 (Jakarta: Puslit Arkenas, hlm. 417-442). Hasil penelitian ini rupanya telah sering kali dikutip oleh beberapa tulisan lain. Salah satunya dikutip oleh Hasan Muarif Ambary dalam makalah “Persebaran dan Signifikasi Tinggalan Arkeologi di Ternate, Maluku Utara”.[2] Dalam tulisan ini, mengutip dari Shodrie, dikatakan bahwa salah satu Al-Qur'an—dalam tulisan ini disebut ’Mushaf Sultan Ternate’—disusun oleh Faqih Shaleh Afifuddin Abdul Baqi bin Abdullah al-Adenani[3] yang penyusunannya selesai pada 7 Zulkaidah 1050 H (18 Februari 1641 M). Dalam tulisan ini juga dikemukakan bahwa penyusunnya diduga berasal dari Aden, dan diwakafkan pada Imam Bagot[4] Ternate pada tahun 1185 H/1772 M—suatu hal yang menjadi pertanyaan dalam tulisan ini.
Halaman iluminasi awal Mushaf Sultan Ternate. 

Hasan Muarif Ambary juga pernah mengutip hasil penelitian itu untuk tulisan yang dimuat dalam Aspects of Indonesian Archaeology, Vol. 10, 1980.[5] Tulisan Ambary mengenai naskah dan benda arkeologi di Ternate juga dimuat dalam majalah Archipel yang terbit di Paris, 1982,[6] yang berisi kurang lebih sama dengan kesimpulan di atas. Di samping itu, ia juga sempat menyebut secara singkat mengenai tahun penulisan Al-Qur'an di Ternate 1050 H/1641 dalam bukunya, Menemukan Peradaban.[7]
Pernyataan mengenai tarikh penulisan Al-Qur'an Ternate ini juga telah dikutip oleh beberapa penulis lain, di antaranya oleh Ridwan Dero (Kadi Kesultanan Ternate) dalam suatu makalahnya tahun 2002.[8] Sementara Dr M Ishom Yoesqi dalam laporan hasil penelitiannya berjudul “Penulisan Mushaf Al-Qur'an di Kedaton Kesultanan Ternate”[9] menyebut penulisnya adalah al-Faqih as-Salih ‘Afifuddin Abdul Bakri [sic!] bin Abdullah al-Admi [sic!], selesai ditulis pada 7 Zulkaidah 1005 H [?].[10] Agaknya, Yoesqi tidak melihat dan meneliti langsung mushaf Sultan, dan kekeliruan yang ‘makin berkembang’ ini dikutipnya dari tulisan Mahmud Buchari dalam buku kecil yang diterbitkan sebagai lampiran untuk Mushaf at-Tin.[11]
Karena berpatokan pada tarikh penulisan mushaf tahun 1050 H (atau dalam sebagian tulisan kadang-kadang ditulis 1005 H), mushaf Al-Qur'an Sultan Ternate ini sering dianggap sebagai mushaf tertua di Indonesia. Hal ini juga pernah dikuatkan oleh sebuah surat dari Yayasan Festival Istiqlal, Jakarta, kepada Sultan Ternate, yang menyatakan bahwa naskah tersebut merupakan mushaf tertua di Indonesia. Agaknya, keterangan ini kemudian dikutip oleh Yoesqi dalam laporan hasil penelitiannya yang menyebut bahwa Al-Qur'an tersebut sudah berumur 421 tahun, dan “merupakan mushaf terkuno di Indonesia”.[12]
Annabel Teh Gallop, kepala Bagian Asia Selatan dan Tenggara British Library, London, seorang ahli seni naskah Islam Nusantara, telah “mencurigai” janggalnya kesimpulan kajian mushaf Al-Qur'an Sultan Ternate ini, dan menyarankan perlunya dilakukan kajian kodikologis lebih lanjut. Dalam suatu ceramahnya pada 21 Juni 2007 tentang seni naskah Islam di Universitas Sydney, Australia, ia mengatakan:

This [Ternate] Qur’an is quite well known, but has also been the subject of some quite extravagant claims which could probably be proved or disproved reasonably easily by a careful codicological examination. According to some sources, this Qur’an is said to be the oldest in Indonesia, copied by a scribe named al-Faqih al-Salih … The Qur’an was also published by Hasan Muarif Ambary in 1980, and was then said to have been ‘edited’ in AH 1050 (Ambary 1980:3) or in AH 1185 by al-Adenani (Ambary 1980:20).[13]

Jadi, masalah yang akan dicari jawabannya dalam tulisan ini adalah beberapa hal berikut: (1) siapakah penulis mushaf ini?; (2) benarkah mushaf Sultan Ternate merupakan mushaf tertua di Nusantara?; (3) kapan mushaf ini selesai ditulis? (4) siapakah Afifuddin Abdul Baqi bin Abdullah al-Adni?; dan (5) apakah Afifuddin adalah pengedit naskah mushaf ini?
 
Deskripsi Naskah
Mushaf Al-Qur'an Sultan Ternate berukuran 31 x 20,5 x 10 cm. Ukuran bidang teks agak kecil, sekitar 22 x 11 cm, dengan menyisakan ruang cukup lebar di sisi luar sebelah kanan-kiri teks untuk catatan qira’at dan lain-lain. Jumlah baris 13 per halaman. Menggunakan kertas Eropa, namun cap kertas tidak terdeteksi dengan baik. Naskah ini memiliki iluminasi indah, dengan pola yang khas, di bagian awal dan akhir mushaf. Iluminasinya dikerjakan dengan keterampilan yang tinggi. Tinta yang digunakan adalah hitam dan merah. Teks Al-Qur'an ditulis dengn tinta hitam, sedangkan warna merah digunakan untuk penulisan nama surah, tanda bulat di akhir ayat, tanda juz, tanda tajwid, serta hadis-hadis keutamaan membaca surah tertentu di awal setiap surah.
Catatan-catatan dalam mushaf ini dapat dikatakan cukup lengkap. Di bagian awal, sebelum teks Al-Qur'an, terdapat penjelasan mengenai ilmu rasm, waqaf dan ibtida’, dabt al-mushaf, dan ilmu mengenai surah-surah dalam Al-Qur'an. Pada setiap awal surah terdapat hadis Rasulullah yang menyatakan keutamaan membaca surah terkait. Di tepi halaman sepanjang mushaf terdapat catatan qira’at yang lengkap dan sangat njlimet. Sedangkan di bagian akhir terdapat catatan wakaf, hitungan-hitungan dalam bentuk semacam kipas karangan Syekh al-Imam al-Hafiz asy-Syarif Muhammad bin Mahmud as-Samarqandi, serta suatu catatan lain.
Meski semua tulisannya masih terbaca, secara umum kondisi Mushaf Al-Qur'an Sultan Ternate tidak begitu baik, karena pojok-pojok dan pinggir mushaf ini dimakan rayap. Jilidan sudah agak rusak, dan kulit cover depan sudah tidak ada. Padahal seharusnya mushaf ini tidak mudah diakses oleh umum. Ketiga mushaf lain di lingkungan istana (sekaligus sebagai Museum Babullah) cukup mudah untuk diakses, namun mushaf Sultan ini sehari-hari ditempatkan di “Ruang Puji”, ruangan khusus Sultan bersamadi, diletakkan di atas mahkota. Untuk dapat melihat mushaf ini harus melalui izin Sultan.[14] Di lingkungan kesultanan Ternate sendiri terdapat enam buah Mushaf Al-Qur'an kuno. Empat di lingkungan istana, dan dua yang lain di Masjid Sultan, kira-kira 200 meter dari istana.
Mushaf Sultan ini merupakan ‘satu keluarga dekat’ dengan empat mushaf lain, terutama dilihat dari kesamaan gaya dan kehalusan iluminasinya. Keempat mushaf lainnya, yaitu (1) satu buah di museum istana Ternate, tanpa kolofon; (2) Perpustakaan Nasional RI Jakarta nomor koleksi A.49, dengan tarikh Sya’ban 1143 H (Februari/Maret 1731); (3) sebuah mushaf di Masjid Raya Sultan Riau di Pulau Penyengat, bertarikh 25 Ramadan 1166 H (26 Juli 1753); dan (4) sebuah mushaf Nusantara koleksi The Aga Khan Trust di Jenewa, Swiss, bertarikh 25 Ramadan 1219 H (28 Desember 1804). Kelima mushaf ini memiliki kesamaan dalam berbagai hal, dan memerlukan penelitian lebih lanjut untuk memperbandingkannya.
 
Kolofon Naskah
Kolofon yaitu catatan penulis atau penyalin, pada umumnya terdapat di akhir naskah atau terbitan, berisi keterangan mengenai tempat, waktu, dan penyalinan naskah. Sebenarnya isi kolofon lebih luas daripada ketiga hal tersebut, dan mencakup catatan apa saja yang terdapat dalam suatu naskah. Catatan kolofon sangat penting dalam penelitian naskah, untuk menelusuri dan memastikan kesejarahan suatu naskah.
Dalam mushaf Sultan Ternate yang kita bahas ini terdapat tiga bagian kolofon yang perlu dibaca dengan teliti. Pertama, kolofon dalam bahasa Arab di bagian awal mushaf, tepat sebelum iluminasi Surah al-Fatihah, berbunyi:
 
      [1]
Hāza mā waqafa wa habasa wa sabbala wa ayyada al-hurr Abd al-‘Alīm Hāj bin Abd al-Hamīd imām bi-kuta Ternate ‘anhu wa ‘an wālidihi hāza min awwali al-Qur’ān wa mā ba’dahu ilā tamāmi salāsīna juz min al-Qur’ān al-‘azīm waqfan sahīhan syar’iyyan lā yubā’u wa lā yurhanu wa lā yūhabu wa lā yūrasu hattā yarisa Allāhu al-arda wa man ‘alaihā wa huwa khair al-wārisīn, taqabbala Allāhu zālika bi-mannihi wa karamihi, fa man baddalahu ba’da mā sami’ahu fa innamā ismuhū ‘ala allazīna yubaddilūnahu inna Allāha kāna samī’un ‘alīmun, wa kāna al-farāg min tahsīli hāza al-waqf nahār al-Ahad madat tis’a yauman min syahri al-Hajj al-Mubārak bi-tārīkh sanah 1185 min al-hijrat al-nubuwwah ‘alā sāhibihā afdal as-salāti wa azka at-taslīmi, bi-khatt al-faqīr al-haqīr Haji ‘Abd al-‘Alīm bin ‘Abd al-Hamīd gafara Allāh lanā wa li-jamī’ al-muslimīn. Āmīn. [Penebalan huruf dari penulis].

Kedua, kolofon di bagian akhir mushaf dalam bahasa Melayu, berbentuk bundar, di bagian tengah, berbunyi:
 
      [2]
Inilah barang yang diwakafkan dan dihentikan dan dijalani dan kuatkan oleh hurr Haji Abdul-Alim bin Abdul-Hamid imam bi-kuta Ternate daripadanya dan daripada bapaknya ini daripada awal Qur’an dan barang yang kemudiannya hingga tamam tiga puluh juz daripada Qur’an yang amat besar akan jadi wakaf yang sahih pada syara’ tiada boleh dijual dan tiada boleh diberikan dan tiada diwarisinya hingga mengurainya Allah akan bumi dan barang siapa atasnya dan yaitu sebaik-baik daripada segala waris diterima oleh Allah demikian itu dengan karunia-Nya dan kemurahan-Nya, sanah 1185 H.

Ketiga, kolofon dalam bahasa Arab di bagian bawahnya berbunyi:

[3]
Ma lukhkhisa ai nuqila wa kutiba wa al-hamdu lillāh rabbi al-‘ālamīn, qāla al-mu’allif al-Faqīh al-Sālih ‘Afīf al-Dīn ‘Abd al-Bāqī bin ‘Abdullāh al-Adni wāfaqa farāgī min zālika nahār al-Isnaini al-sābi’ syahr Zī al-Qa’dah al-Harām sanat khamsīn ba’da alif min Hijratihi sallallāhu ‘alaihi wa sallama, wa tammat kalimatu rabbika sidqan wa ‘adlan lā mubaddila li-kalimātillāhi wa huwa as-samī’ al-‘alīm. Wa al-hamdu lillāhi rabb al-‘ālamīn. [Penebalan huruf dari penulis].
 
Menelaah Ulang Kolofon
Siapakah penulis mushaf Sultan Ternate? Pertanyaan ini penting sekali dibahas. Informasi mengenai penulis mushaf ini dapat kita lihat dalam teks kolofon di bagian depan, tepat sebelum Surah al-Fatihah, berbunyi  wa kāna al-farāg min tahsīli hāza al-waqf ... bi-khatt al-faqīr al-haqīr Haji ‘Abd al-‘Alīm bin ‘Abd al-Hamīd (telah selesai penyalinan wakaf ini … dengan khat orang yang fakir dan hina Haji Abd al-Alim bin Abd al-Hamid) [lihat Lampiran]. Mungkin timbul pertanyaan, apakah yang dimaksud ‘wakaf’ di sini adalah ‘mushaf Al-Qur’an’ ini? Jawabannya terdapat dalam redaksi kolofon baik versi bahasa Arab maupun Melayu. Dalam versi bahasa Melayu di bagian akhir mushaf – yang bukan merupakan terjemahan lengkap dari versi bahasa Arabnya [lihat Kolofon 2] – tertera, “Inilah barang yang diwakafkan … daripada awal Qur’an dan barang yang kemudiannya hingga tamam [lengkap] tiga puluh juz …” Melihat redaksinya yang mirip, antara kolofon di depan (bahasa Arab) dan di belakang (bahasa Melayu), dapat kita duga kuat bahwa catatan kolofon tersebut merupakan satu kesatuan, dan ditulis langsung setelah berakhirnya penyalinan mushaf. Dan saya menduga bahwa penulisan teks kolofon versi bahasa Arab di bagian depan dilakukan terakhir, setelah penulisan kolofon versi bahasa Melayu di bagian belakang, dengan alasan untuk memenuhi halaman kosong yang biasanya terdapat di balik halaman beriluminasi.
Kata bi-khatt (dengan tulisan) pada kolofon di atas sangat lazim digunakan dalam naskah, dan ini juga terdapat pada kolofon sebuah mushaf di Masjid Sultan Riau, Penyengat (tahun 1753), demikian pula dalam mushaf koleksi Aga Khan Trust, Jenewa (tahun 1804). Sedangkan pernyataan al-faqīr al-haqīr adalah pernyataan yang lazim untuk merendah, bahkan sering “disempurnakan” dengan sebutan ad-da’īf, al-mu’tarif bi al-zanb wa al-taqsīr  dan lain-lain. Jelaslah bahwa penulis mushaf ini adalah Haji Abdul Alim bin Abdul Hamid, dan dia pulalah yang mewakafkan Al-Qur'an ini. Mengenai sosok Abdul Alim, disebutkan secara ringkas di bagian awal kolofon, demikian pula dalam Kolofon 2 berbahasa Melayu di akhir mushaf, yaitu sebagai “imam bi-kuta Ternate”, seorang imam di kota Ternate.[15]
Mengenai waktu penulisan mushaf, dinyatakan dalam Kolofon 1, wa kāna al-farāg min tahsīli hāzā al-waqf nahār al-Ahad madat tis’a yauman min syahri al-Hajj al-Mubārak bi-tārīkh sanah 1185 min al-hijrat al-nubuwwah. Berarti, bahwa mushaf ini (yang diwakafkan) selesai ditulis pada hari Ahad, 9 Zulhijjah 1185 H (Sabtu, 14 Maret 1772). Mengenai ketidakcocokan hari, antara hari Ahad atau Sabtu, mungkin karena kekurangtepatan ketika menulisnya.
Munculnya kejanggalan dalam kesimpulan nama penulis mushaf dan tarikh penulisannya, ada kemungkinan karena Shodrie (dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Jakarta), peneliti pertama mushaf ini, tidak melihat Kolofon 1 yang terdapat di bagian awal mushaf ini, tepat sebelum halaman iluminasi Surah al-Fatihah. Kolofon ini memakan satu halaman penuh, dengan uraian cukup rinci mengenai barang wakaf. Kolofon dalam bahasa Arab ini diterjemahkan secara bebas dalam bahasa Melayu pada Kolofon 2.
Dengan jelasnya tarikh penulisan mushaf ini, yaitu 9 Zulhijjah 1185 H (14 Maret 1772), maka mushaf ini bukanlah yang tertua di Nusantara. Dalam “keluarga dekat” mushaf ini, mushaf A.49 di Perpustakaan Nasional, Sya’ban 1143 H (Februari/Maret 1731) dan mushaf di Masjid Sultan Riau di Penyengat, 25 Ramadan 1166 H (26 Juli 1753) lebih tua. Dengan demikian, gugurlah “mitos” mushaf ini sebagai mushaf tertua di Indonesia.
Selajutnya, siapakah sesungguhnya sosok Afīf al-Dīn Abd al-Bāqī bin Abdullāh al-Adnī? Dalam Kolofon 3 tertulis: Mā lukhkhisa ai nuqila wa kutiba (apa yang diringkas, dinukil dan disalin). Menurut saya, dengan pernyataan ini, bahwa Haji Abdul Alim, penulis mushaf ini, meringkas, menukil dan menyalin suatu teks yang dikarang oleh al-Faqīh al-Sālih ‘Afīf al-Dīn ‘Abd al-Bāqī bin ‘Abdullāh al-Adnī, seorang mu’allif (pengarang suatu teks). Teks yang disalinnya, adalah teks tentang ilmu-ilmu Al-Qur'an (‘ulūm al-Qur'ān) yang melengkapi mushaf ini.
Adapun pernyataan selanjutnya, qāla al-mu’allif al-Faqīh al-Sālih ‘Afīf al-Dīn ‘Abd al-Bāqī bin ‘Abdullāh al-‘Adnī wāfaqa farāgī min zālika nahār al-Isnain al-sābi’…, yaitu bahwa Abdul Alim menyatakan, sang pengarang (mu’allif, ‘Afīf al-Dīn) dalam naskah aslinya berkata, ia selesai mengarang teks pada hari Senin, 7 Zulqa’dah 1050 H). Jadi, tarikh ini bukanlah tarikh penulisan mushaf Sultan Ternate, tetapi tarikh ketika ‘Afīf al-Dīn selesai menulis teks ilmu-ilmu Al-Qur'an yang dikutip oleh Haji Abdul Alim dalam mushaf ini. Dengan demikian, ‘Afīf al-Dīn juga bukanlah pengedit mushaf ini. Perlu diperhatikan pula bahwa kata mu’allif (atau derivasinya) tidak biasa digunakan untuk menyebut penyalin (atau penyalinan) Al-Qur’an.

Kesimpulan
Mushaf ini merupakan wakaf Haji Abdul Alim bin Abdul Hamid, seorang imam di Ternate, dan dia pulalah penyalinnya. Selesai disalin pada 9 Zulhijjah 1185 H (14 Maret 1772). Mushaf ini bukanlah merupakan mushaf tertua Nusantara, karena mushaf koleksi Perpustakaan Nasional (1731), dan mushaf di Masjid Sultan Riau di Penyengat (1753) lebih tua. ‘Afīf al-Dīn ‘Abd al-Bāqī bin ‘Abdullāh al-Adnī adalah pengarang teks ulumul Qur’an yang dikutip oleh Haji Abdul Alim dalam mushaf ini.[]


Daftar Pustaka
Ambary, Hasan Muarif, “Some Notes on the Discovery of the Archaeological Evidence at Ternate”, Aspects of Indonesian Archaeology, Vol. 10, Jakarta: Puslit Arkenas, 1980.
———, “Rapport preliminaire sur les manuscrits anciens et les vestiges epigraphiques de Ternate et Tidore”, Archipel 23, Paris, 1982.
———, Menemukan Peradaban: Jejak Arkeologis dan Historis Islam Indonesia, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1998.
Buchari, Mahmud, Al-Qur’an: Manuskrip Mushaf Wakaf untuk Mengenang Almh. Ibunda Hjh. Fatimah Siti Hartinah Soeharto, (Jakarta: Kharisma, 1999).
Gallop, Annabel Teh, “Migrating manuscript art: Sulawesi diaspora styles of illumination”, ceramah di University of Sydney, 21 Juni 2007.
Kamus Besar Bahasa Indonesia: Edisi Ketiga, Jakarta: Balai Pustaka, 2002.
Ohorella, GA (peny.), Ternate sebagai Bandar di Jalur Sutra: Kumpulan Makalah Diskusi (Jakarta: Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, Ditjen Kebudayaan, Depdikbud, 1997).
Yoesqi, M Ishom, “Penulisan Mushaf Al-Qur'an di Kedaton Kesultanan Ternate”, dalam Fadhal AR Bafadal et al., Mushaf-mushaf Kuno di Indonesia, Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan, 2005.



[1] GA Ohorella (peny.), Ternate sebagai Bandar di Jalur Sutra: Kumpulan Makalah Diskusi (Jakarta: Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, Ditjen Kebudayaan, Depdikbud, 1997), h. 12.
[2] Ibid., h. 1.
[3] Dalam teks kolofon tertulis “al-‘Adni”.
[4] Dalam teks tertulis huruf b-k-w-t. Beberapa orang di Ternate tidak mengenal istilah Imam “Bagot”, oleh karena itu saya membacanya “bi-Kuta” (di Kota).
[5] Hasan Muarif Ambary, “Some Notes on the Discovery of the Archaeological Evidence at Ternate”, Aspects of Indonesian Archaeology, Vol. 10, Jakarta: Puslit Arkenas, 1980.
[6] Hasan Muarif Ambary, “Rapport preliminaire sur les manuscrits anciens et les vestiges epigraphiques de Ternate et Tidore”, Archipel 23, Paris, 1982, h. 135 – 145.
[7] Hasan M Ambary, Menemukan Peradaban: Jejak Arkeologis dan Historis Islam Indonesia, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1998, h. 176.
[8] Lihat M Ishom Yoesqi, “Penulisan Mushaf Al-Qur'an di Kedaton Kesultanan Ternate”, dalam Fadhal AR Bafadal et al., Mushaf-mushaf Kuno di Indonesia, Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan, catatan kaki h. 267.
[9] Ibid., h. 260 – 283.
[10] Ibid., h. 267, 269-270
[11] Mahmud Buchari, Al-Qur’an: Manuskrip Mushaf Wakaf untuk Mengenang Almh. Ibunda Hjh. Fatimah Siti Hartinah Soeharto, (Jakarta: Kharisma, 1999), h. 12.
[12] M Ishom Yoesqi, “Penulisan …” h. 270.
[13] Annabel Teh Gallop, “Migrating manuscript art: Sulawesi diaspora styles of illumination”, ceramah di University of Sydney, 21 Juni 2007.
[14] Saya sangat berterima kasih kepada Bapak H M Saleh, pegawai museum istana Ternate, dan Bapak Idris Senen, pegawai Dinas Pariwisata Provinsi Maluku Utara, yang memudahkan saya untuk mengkaji mushaf-mushaf di Ternate, serta kesempatan untuk bertemu dengan Sultan Mudaffar Sjah pada tanggal 20 September 2008.
[15] Bapak HM Saleh, pegawai museum, menyebutkan bahwa Haji Abdul Alim adalah imam istana Ternate.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar