Minggu, 31 Maret 2013

Qur'an Kuno-kunoan (2)

Menyoal Qur’an Bojongleles, Banten 
(Catatan Lama)

Pengantar: Pada April 2009 masyarakat dikejutkan oleh ”Qur’an tiban” (’jatuh’ entah dari mana) di Dusun Babakan, Desa Bojongleles, Kecamatan Cibadak, Kabupaten Lebak, Banten. Konon, Qur’an itu tiba-tiba muncul, tidak ada orang yang tahu. Pihak yang berwenang pada waktu itu benar-benar disibukkan oleh kasus ini, termasuk Majelis Ulama Indonesia (MUI) setempat, maupun pihak Kementerian Agama RI. Itu adalah pertama kali Qur’an sejenis ini muncul dan menjadi perhatian masyarakat.
Qur'an itu berukuran raksasa, yaitu 200 x 103 cm, tebal 17 cm, serta sebilah pedang berukuran 1,7 meter, muncul di depan Masjid Dua Kalimat Syahadat di Dusun Babakan. Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur'an Badan Litbang dan Diklat yang mengemban tugas memelihara keotentikan dan kemurnian Mushaf Al-Qur'an, baik dalam bentuk cetak maupun elektronik  yang beredar di masyarakat, segera mengirim tim ke lokasi pada tanggal 6 April 2009 untuk melakukan observasi lapangan, selanjutnya mengadakan pengkajian dan penelitian lebih lanjut terhadap mushaf tersebut. Dalam kajiannya, Lajnah menemukan banyak kesalahan, berupa kekurangan teks ayat, kesalahan harakat, dan penulisan yang terulang. Pengulangan tersebut dapat terlihat pada Surah al-Fātihah/1: 7. Kata yang pertama ditulis secara tidak sempurna, sedangkan pengulangannya ditulis secara sempurna pada baris selanjutnya (lihat gambar). Asal usul naskah dan penulis mushaf tidak teridentifikasi. Akhirnya, karena dalam naskah Al-Qur'an Bojongleles ini terdapat banyak kesalahan, yaitu kekurangan teks ayat, kesalahan harakat, dan penulisan, maka untuk menghindari kesalahpahaman terhadap Mushaf Al-Qur'an dimaksud, Lajnah merekomendasi­kan dan menyarankan agar Mushaf Al-Qur'an tersebut diamankan oleh pihak yang berwenang atau Bakorpakem setempat.

Jumat, 22 Maret 2013

Qa'idah Bagdadiyah

Mungkin sudah banyak yang melupakan medote baca Qur’an ini. Sejak munculnya metode baca Iqra’ pada tahun 1980-an, perlahan-lahan Qa’idah Bagdadiyah kehilangan ‘pengaruh’-nya. Apalagi, kemunculan Iqra’ kemudian segera memancing tumbuh suburnya metode-metode baca lainnya, seperti al-Barqi, Hatta’iyah, an-Nur, Tilawati, Ummi, dan (sepertinya) belasan lainnya. Sebelum Iqra’, sebenarnya metode Qira’ati muncul lebih dahulu – bahkan sebenarnya Iqra’ diilhami oleh Qira’ati – namun sebagai ‘gerakan’, Iqra’ lebih massive, sehingga benar-benar menjadi fenomena baru pada waktu itu. Sejak itu, metode baca Qur’an yang dianggap lebih sistematis itu digunakan di hampir semua kalangan, juga tentu saja sekolah-sekolah.
Qa'idah Bagdadiyah versi ringkas, cetakan Penerbit Karya Toha Putra, Semarang, tahun ±2011. Tulisan pada kulit buku ini tidak asli lagi (karya Rahmatullah), berbeda dengan edisi dasawarsa 1970-an dengan huruf bergaya "Bombay".

Kamis, 21 Maret 2013

Mata kuliah Kajian Mushaf

Catatan: "Kajian Mushaf Al-Qur'an di Indonesia" merupakan mata kuliah baru, oleh karena itu perlu penyempurnaan dari waktu ke waktu. Terima kasih kepada Dr. Ali Nurdin dan Dr. Ahmad Husnul Hakim, dekan Fakultas Ushuluddin yang menerima mata kuliah ini untuk diajarkan di Fakultas Ushuluddin Institut PTIQ, sejak 2009. 

Mata Kuliah: “Kajian Mushaf Al-Qur’an di Indonesia”
Institut Perguruan Tinggi Ilmu al-Qur’an (PTIQ)
Jalan Batan 1 No. 2 Lebak Bulus, Cilandak, Jakarta Selatan 12440 
Pengajar: Ali Akbar, M.Hum. 

Tujuan
Penyampaian mata kuliah ini bertujuan agar mahasiswa: 
1. Mengetahui kronologi perkembangan mushaf di Indonesia, dari tradisi manuskrip (tulisan tangan), litografi (cetak batu), hingga cetakan modern. 
2. Mengetahui kekhasan tradisi penulisan mushaf di Indonesia dan membandingkannya dengan tradisi penulisan mushaf di beberapa wilayah dunia Islam. 
3. Mengetahui aspek-aspek kajian kodikologi* mushaf di Indonesia, yaitu mencakup tulisan (kaligrafi), iluminasi, kertas, alat tulis, layout, koleksi mushaf di berbagai lembaga, dan lain-lain.
4. Mengetahui ragam qiraat, rasm, tanda tajwid, dll. dalam mushaf-mushaf di Indonesia. 
Mushaf koleksi Institut PTIQ, Jakarta.

Rabu, 20 Maret 2013

Qur'an Kudus (2): Qur'an dari Turki

Sejak awal kemunculan “Qur’an Pojok” (sebutan untuk mushaf yang setiap halaman diakhiri dengan penghabisan ayat) di Turki pada akhir abad ke-16, mushaf jenis ini terkait erat dengan para penghafal Al-Qur’an. Setiap halaman yang diakhiri dengan akhir ayat sangat memudahkan para penghafal dalam mempelajari tahap-tahap hafalan.
    Dalam sejarahnya, di Turki, “Qur’an Pojok” (dalam bahasa Turki disebut āyet ber-kenār) paling tua adalah sebuah mushaf bertahun 1598, dengan 14 baris tulisan (Derman 2010: 103). Pada awalnya, jumlah baris setiap halaman bervariasi, namun sejak paruh kedua abad ke-18 mushaf jenis ini selalu terdiri atas 15 baris, dan ini menjadi standar sampai berakhirnya penyalinan naskah mushaf secara manual pada akhir abad ke-19 (Stanley 2004: 59).
    Selama beberapa dasawarsa sejak awal tahun 1930-an, produksi mushaf di Indonesia didominasi oleh cetak ulang “Qur’an Bombay” yang berciri huruf tebal. Keadaan itu berlangsung hingga tahun 1970-an, ketika Penerbit Menara Kudus mulai mencetak “Qur’an Sudut” (nama lain model ini) untuk memenuhi kebutuhan para santri yang belajar menghafal Al-Qur’an. 
"Qur'an pojok" cetakan Turki: halaman Surah al-Kahf.

Selasa, 19 Maret 2013

Seni penulisan kitab

Seni Penulisan Kitab di Jawa: Kajian Awal
aliakbar.kaligrafi@gmail.com

[Dalam penyusunan. Ilustrasi menyusul]
Pendahuluan
Kajian terhadap seni penulisan naskah-naskah Nusantara belum banyak dilakukan para sarjana.[1] Dalam tradisi penulisan naskah berhuruf Arab di Jawa, baik berbahasa Arab maupun Jawa (Pegon), terdapat beberapa hal yang menarik, yang mencakup permulaan, tubuh, dan akhir teks. Para penyalin mengembangkan tradisi sendiri, dengan pengaruh tradisi lokal. Kajian awal ini terutama didasarkan pada naskah-naskah koleksi Michael Abbott[2]―seorang kolektor naskah dan benda seni, tinggal di Adelaide, Australia―yang menurut pengakuannya ia beli dari Madura. Sebagian naskah tersebut kini disimpan di Art Gallery of South Australia, Adelaide. Di samping itu, kami sempat melihat sejumlah naskah berkode AW koleksi Perpustakaan Nasional RI, Jakarta[3], yang ternyata mempunyai banyak kesamaan dengan naskah-naskah Abbott. Kesamaan itu menyangkut beberapa ciri penghiasannya, kertas dluwang yang digunakan, maupun judul-judul teks dalam kitabnya, sehingga dapat disimpulkan bahwa keduanya berasal dari tradisi yang sama, yaitu pesantren.[4]

Tanda Tashih

Tanda Tashih dari Masa ke Masa

Tidak banyak manuskrip Qur'an Nusantara yang mempunyai tanda tashih. Memang, banyak manuskrip Qur'an yang tampaknya ditashih, atau dikoreksi, entah oleh penyalinnya sendiri atau orang lain yang membaca kemudian. Itu tampak dari hasil koreksi yang biasanya diletakkan di bagian pinggir halaman. Pada waktu itu belum ada lembaga khusus pentashihan mushaf, dan kebanyakan manuskrip tidak mencantumkan proses pentashihannya. Di antara langkanya petunjuk proses tashih (atau 'pernyataan tashih') pada manuskrip Qur'an di masa lalu, ada sebuah mushaf dari Sulawesi Barat yang ditashih di Mekah (Gambar 1).  
Gambar 1.

Senin, 18 Maret 2013

Foto mengaji

Tiga foto dari KITLV

"Seorang pembaca al-Quran dan peminum teh di Yogyakarta", lebih kurang tahun 1880. 
Ada sebilah keris di atas bantal. Foto dibuat oleh Kassian Cephas, fotografer istana Yogyakarta, dan dikenal sebagai perintis fotografi Indonesia.

"Dokter mata J. Tijssen yang sudah mengoperasi mata orang Aceh sehingga bisa membaca al-Qur'an". Tahun 1932. 
Melihat foto ini, baru ingat lagi bahwa dahulu anak-anak itu memang telanjang jika bermain sehari-hari! Hingga pertengahan dasawarsa 1970-an, ketika saya kecil, di kampung saya di Purworejo, Jawa Tengah, masih terjadi.

Foto ini sangat terkenal: anak-anak mengaji di serambi sebuah langgar di Jawa, ±1910
Di latar depan terlihat beberapa pasang teklek yang hingga tahun 1970-an masih dipakai, sebelum "zaman plastik" masuk pedesaan Indonesia. Sejak itu, alas kaki dari kayu digantikan dengan sandal jepit yang beralas empuk, ringan, dan tidak membuat pegal jari kaki... 
Langgar biasanya terdiri atas dua ruangan. Ruang dalam khusus untuk salat, sedangkan ruang luar (serambi), yang biasanya letaknya lebih rendah, digunakan untuk mengaji atau mengobrol usai salat. Langgar biasanya berupa bangunan panggung dan beralas plupuh (batang bambu yang dicacah), atau papan kayu untuk langgar yang lebih 'mewah'. 

Minggu, 17 Maret 2013

Seni mushaf Nusantara

Seni mushaf Nusantara dari masa ke masa
Ali Akbar - aliakbarkaligrafi@yahoo.com

Mushaf Al-Qur'an disalin sesuai dengan ruang dan waktu mushaf itu dibuat. Atau dengan kata lain, sesuai dengan latar budaya dan kondisi zamannya. Lokalitas budaya tempat mushaf disalin merupakan faktor yang ikut menentukan dan mempengaruhi variasi bentuk, motif dan warna iluminasi – demikian pula gaya kaligrafinya, dalam taraf tertentu.

Unsur kreativitas lokal, sebagai hasil serapan budaya setempat, terlihat dalam corak iluminasi yang sangat beragam, dan masing-masing daerah memiliki ciri khas sendiri. Iluminasi biasanya dicirikan dengan (1) pola dasar, (2) motif hiasan, dan (3) warna. Iluminasi lazimnya menghias tiga bagian Al-Qur'an, yaitu di awal, tengah, dan akhir Al-Qur'an. Dalam hal kaligrafi, keunikan mushaf Nusantara di antaranya tampak dalam karakter “kaligrafi berhias” atau “kaligrafi floral”, yaitu komposisi kaligrafi yang bermotif tetumbuhan. Kreativitas tulisan tersebut dituangkan khususnya pada kepala-kepala surah. Unsur kreativitas lokal itu, baik dalam iluminasi maupun kaligrafi, berkembang sangat leluasa dan berkarakter khas, bahkan dalam bentuk makhluk "zoomorphic" seperti Macan Ali khas Cirebon.
 Mushaf dari Sumedang, Jawa Barat, dengan gambar Macan Ali. (Courtesy of James Bennett)

Sabtu, 16 Maret 2013

Koleksi Prancis

Empat Qur'an dari Jawa Koleksi Prancis

Menurut katalog François Deroche, Bibliothèque nationale di Paris menyimpan lima buah Qur'an dari Jawa. Empat di antara Qur'an tersebut, yaitu Arabe 458, 582, 583 and 584, kini dapat diakses secara online, dengan resolusi tinggi, dan dapat diunduh 'percuma':

Kamis, 14 Maret 2013

Koleksi Belanda

Qur'an Nusantara dalam koleksi Belanda

 Sebuah Qur'an dari Pulau Manipa, Maluku, koleksi Universitas Leiden. 
(Foto: Jan van der Putten)

Koleksi Qur'an Nusantara di negeri Belanda cukup banyak. Menurut P. Voorhoeve dalam Handlist of Arabic Manuscript in the Library of the University of Leiden and other Collections in the Netherlands (2nd Enlarged Ed.), The Hague: Leiden University Press, 1980, di Belanda tercatat ada 32 Qur'an lengkap, di samping terdapat 41 jilid terpisah bagian-bagian teks Qur'an, dan sekitar 20 naskah lain yang memuat bagian-bagian tertentu dari teks Qur'an. Sementara, E.P. Wieringa dalam Catalogue of Malay and Minangkabau Manuscripts in the Library of Leiden University and other Collections in the Netherlands, Volume One (Leiden: Leiden University Library, 1998) mencatat sebuah naskah Qur'an, dengan nomor Cod.Or.247―namun hanya merupakan bagian dari sebuah naskah doa kecil yang berjumlah 59 halaman. 
Naskah Qur'an di negeri Belanda terdapat di beberapa lembaga, di antaranya Universitas Leiden, Koninklijk Instituut voor de Tropen (Amsterdam), Rijkmuseum voor Volkenkunde (Leiden), Nijmeegs Volkenkundig Museum, Universiteitsbibliotheek van Amsterdam, Universiteitsbibliotheek (Utrecht), serta Wereldmuseum (Rotterdam). Karena keterkaitan sejarah, museum-museum ini mengoleksi sejumlah Qur'an Aceh (lihat http://quran-nusantara.blogspot.com/2012/02/tradisi-penyalinan-al-quran-di-aceh.html#more).
Perpustakaan Universitas Leiden meng-online-kan secara lengkap sebuah Qur'an indah dari Aceh, bernomor Cod.Or.2064 (lihat: https://socrates.leidenuniv.nl/R/9FL51F57FY1XVU74EK1I7XE1GB4ICDLQ2ID3EVJKST9198419K-02797). Iluminasi Surah al-Fatihah dan awal Surah al-Baqarah terdapat pada nomor foto 016-017.