Selasa, 02 Agustus 2016

Kaligrafi Mushaf MTQ

Dari MTQ Lombok

Terlebih dahulu perlu dicatat besar-besar, bahwa perkembangan kaligrafi di Indonesia, dalam tiga dasawarsa terakhir, sangat membanggakan, dan terjadi lonjakan keterampilan yang luar biasa. Belakangan, era media sosial dewasa ini kian melejitkan, dan menjadikan para kaligrafer cepat terhubung dengan rekan-rekan kaligrafer dari belahan dunia lain dalam waktu sekejap, sehingga proses belajar demikian cepat. Sebagian kaligrafer Indonesia juga telah memenangi lomba khat internasional.
Nah, salah satu cabang yang dilombakan dalam ajang Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ) adalah cabang Kaligrafi Mushaf Al-Qur’an. Beberapa foto di bawah ini adalah hasil sementara (sebelum babak final) MTQ Nasional ke-26 di Mataram, Nusa Tenggara Barat, 30 Juli – 6 Agustus 2016. 
Membandingkan dengan tradisi mushaf lama, segera timbul kesan bahwa karya-karya di bawah ini sangat berbeda dengan ciri mushaf Nusantara pada umumnya, baik dalam model hiasan maupun warna.
Pajangan karya hasil lomba.


Halaman iluminasi mushaf lama selalu terdiri atas dua halaman kiri-kanan dengan desain simetris. Itu selalu! Tidak ada mushaf yang beriluminasi tunggal – bahkan di dunia Islam mana pun! Iluminasi tunggal biasanya hanya terdapat pada naskah-naskah sastra – meskipun juga tidak selalu, karena para iluminator masa lalu sering mengacu kepada Qur'an. Iluminasi tunggal juga biasanya tampak pada halaman awal kitab kuning atau buku-buku keagamaan cetakan lama. Jadi, menurut saya, iluminasi mushaf itu mutlak dua halaman simetris. Jika hanya satu halaman, konsekuensi visualnya tentu akan berbeda jauh, karena simetrinya dibangun pada satu halaman saja. Dan jika satu halaman simetris itu digandakan untuk dua halaman kiri-kanan mushaf, akan terjadi pemaksaan yang terasa ganjil. Oleh karena itu, karya-karya bereputasi nasional ini, disayangkan, belum bisa digunakan oleh penerbit mushaf, misalnya, yang akan menerbitkan suatu mushaf indah. Padahal, tidak salah jika hasil peraduan nasional ini menjadi alternatif desain yang bisa digunakan oleh penerbit mushaf. Jika itu terjadi, tentu akan menjadi ‘nilai tambah’ bagi MTQ Nasional, dan menjadi lebih abadi – tidak ‘hilang’ begitu saja, menjadi entah koleksi siapa, seperti yang katanya terjadi selama ini…
Penggunaan warna juga tampak berbeda sekali. Warna-warna yang digunakan para pelomba ini tampak agak genit, ngejreng, sehingga terkesan ringan, riang, seru, dan instan. Ini berbeda dengan karakter kuat, kokoh (katanya yang bener ‘kukuh’, hehe) yang terkesan pada warna-warna mushaf lama Nusantara. Jadi, karakternya warna pastel. Maklum, biasanya diambil dari pewarna tumbuhan – selain warna emas, tentu saja. Rasanya, warna yang ‘mantap’, tegas, lebih tepat untuk Qur’an. Tetapi, era media sosial zaman sekarang mungkin melahirkan ciri yang berbeda…
Terkesan bahwa karya-karya para pelomba ini kurang historis. (Mungkin tidak harus sih, hehe…). Tetapi ada satu karya yang memperlihatkan ciri Qur’an Turki Usmani (Ottoman), Persia, atau India (lihat gambar di bawah ini). Tampak bahwa desain iluminasi ini ada referensinya – meskipun menimbulkan pertanyaan: mengapa tidak Nusantara? Mungkin ini bagian dari kekaguman kita kepada ‘asing’ yang hebat nun jauh di sana, atau mungkin karena gambar referensi yang ada seperti itu, atau mungkin kita kurang mencintai ‘produk lokal’…
Sekali lagi, tampak bahwa karya para pelomba MTQ tidak berdasarkan khazanah mushaf Nusantara yang memadai. Memang, bisa jadi suatu karya tidak harus berdasarkan khazanah lama. Namun jika ada ‘nilai-nilai’ yang keberlanjutan dari tradisi yang telah hidup berabad sebelumnya, suatu karya akan lebih menemukan karakternya, identitasnya.
Karena Nusantara begitu kaya…

Tampak ciri Turki Usmani (Ottoman), Persia, atau India.








Tidak ada komentar:

Posting Komentar