[Catatan: Tulisan ini pernah dimuat di Jurnal Lektur, Vol. 8, No. 2, 2010, hlm. 283-296 <https://www.academia.edu/26460866/Mushaf_Sultan_Ternate_Tertua_di_Nusantara_Menelaah_Ulang_Kolofon>. Untuk pengutipan (sitasi), sebaiknya merujuk ke artikel yang dimuat di Jurnal Lektur tersebut.]
Pendahuluan
Mushaf Al-Qur'an Sultan Ternate banyak disebut sebagai mushaf tertua
di Nusantara, dan pernyataan ini telah dikutip oleh beberapa tulisan yang
membahas tentang Al-Qur'an atau naskah kuno Nusantara. Tulisan ini mencoba
untuk melihat kembali sisi kodikologis naskah tersebut, khususnya kolofon,
sehingga mudah-mudahan akan tercapai suatu pemahaman baru mengenai naskah ini.
Awal mulanya, saya kira, muncul dari penelitian yang dilakukan sekitar 30 tahun yang lalu oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Jakarta, pada Februari 1979 di Ternate,[1] dan dilaporkan oleh A. Cholid Sodrie dalam makalah “Al-Qur'an Kuna di Ternate”, suatu naskah penyerta dalam Rapat Evaluasi Hasil Penelitian Arkeologi I, 1982 (Jakarta: Puslit Arkenas, hlm. 417-442). Hasil penelitian ini rupanya telah sering kali dikutip oleh beberapa tulisan lain. Salah satunya dikutip oleh Hasan Muarif Ambary dalam makalah “Persebaran dan Signifikasi Tinggalan Arkeologi di Ternate, Maluku Utara”.[2] Dalam tulisan ini, mengutip dari Shodrie, dikatakan bahwa salah satu Al-Qur'an—dalam tulisan ini disebut ’Mushaf Sultan Ternate’—disusun oleh Faqih Shaleh Afifuddin Abdul Baqi bin Abdullah al-Adenani[3] yang penyusunannya selesai pada 7 Zulkaidah 1050 H (18 Februari 1641 M). Dalam tulisan ini juga dikemukakan bahwa penyusunnya diduga berasal dari Aden, dan diwakafkan pada Imam Bagot[4] Ternate pada tahun 1185 H/1772 M—suatu hal yang menjadi pertanyaan dalam tulisan ini.
Awal mulanya, saya kira, muncul dari penelitian yang dilakukan sekitar 30 tahun yang lalu oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Jakarta, pada Februari 1979 di Ternate,[1] dan dilaporkan oleh A. Cholid Sodrie dalam makalah “Al-Qur'an Kuna di Ternate”, suatu naskah penyerta dalam Rapat Evaluasi Hasil Penelitian Arkeologi I, 1982 (Jakarta: Puslit Arkenas, hlm. 417-442). Hasil penelitian ini rupanya telah sering kali dikutip oleh beberapa tulisan lain. Salah satunya dikutip oleh Hasan Muarif Ambary dalam makalah “Persebaran dan Signifikasi Tinggalan Arkeologi di Ternate, Maluku Utara”.[2] Dalam tulisan ini, mengutip dari Shodrie, dikatakan bahwa salah satu Al-Qur'an—dalam tulisan ini disebut ’Mushaf Sultan Ternate’—disusun oleh Faqih Shaleh Afifuddin Abdul Baqi bin Abdullah al-Adenani[3] yang penyusunannya selesai pada 7 Zulkaidah 1050 H (18 Februari 1641 M). Dalam tulisan ini juga dikemukakan bahwa penyusunnya diduga berasal dari Aden, dan diwakafkan pada Imam Bagot[4] Ternate pada tahun 1185 H/1772 M—suatu hal yang menjadi pertanyaan dalam tulisan ini.
Halaman iluminasi awal Mushaf Sultan Ternate.
Hasan Muarif Ambary juga pernah mengutip hasil penelitian itu untuk
tulisan yang dimuat dalam Aspects of
Indonesian Archaeology, Vol. 10, 1980.[5]
Tulisan Ambary mengenai naskah
dan benda arkeologi di Ternate juga dimuat dalam majalah Archipel yang terbit di Paris, 1982,[6] yang berisi kurang lebih sama dengan kesimpulan di atas. Di samping itu, ia juga sempat menyebut secara singkat mengenai
tahun penulisan Al-Qur'an di Ternate 1050 H/1641 dalam bukunya, Menemukan Peradaban.[7]
Pernyataan mengenai tarikh penulisan Al-Qur'an Ternate ini juga telah
dikutip oleh beberapa penulis lain, di antaranya oleh Ridwan Dero (Kadi
Kesultanan Ternate) dalam suatu makalahnya tahun 2002.[8]
Sementara Dr M Ishom Yoesqi dalam laporan hasil penelitiannya berjudul “Penulisan
Mushaf Al-Qur'an di Kedaton Kesultanan Ternate”[9]
menyebut penulisnya adalah al-Faqih as-Salih ‘Afifuddin Abdul Bakri [sic!] bin Abdullah al-Admi [sic!], selesai ditulis pada 7 Zulkaidah
1005 H [?].[10] Agaknya,
Yoesqi tidak melihat dan meneliti langsung mushaf Sultan, dan kekeliruan yang ‘makin
berkembang’ ini dikutipnya dari tulisan Mahmud Buchari dalam buku kecil yang diterbitkan
sebagai lampiran untuk Mushaf at-Tin.[11]
Karena berpatokan pada tarikh penulisan mushaf tahun 1050 H (atau
dalam sebagian tulisan kadang-kadang ditulis 1005 H), mushaf Al-Qur'an Sultan
Ternate ini sering dianggap sebagai mushaf tertua di Indonesia. Hal ini juga
pernah dikuatkan oleh sebuah surat dari Yayasan Festival Istiqlal, Jakarta,
kepada Sultan Ternate, yang menyatakan bahwa naskah tersebut merupakan mushaf
tertua di Indonesia. Agaknya, keterangan ini kemudian dikutip oleh Yoesqi dalam
laporan hasil penelitiannya yang menyebut bahwa Al-Qur'an tersebut sudah
berumur 421 tahun, dan “merupakan mushaf terkuno di Indonesia”.[12]
Annabel Teh Gallop, kepala Bagian Asia Selatan dan Tenggara British
Library, London, seorang ahli seni naskah Islam Nusantara, telah “mencurigai”
janggalnya kesimpulan kajian mushaf Al-Qur'an Sultan Ternate ini, dan menyarankan
perlunya dilakukan kajian kodikologis lebih lanjut. Dalam suatu ceramahnya pada 21 Juni 2007 tentang
seni naskah Islam di Universitas Sydney, Australia, ia mengatakan:
This [Ternate]
Qur’an is quite well known, but has also been the subject of some quite
extravagant claims which could probably be proved or disproved reasonably
easily by a careful codicological examination. According to some sources, this
Qur’an is said to be the oldest in Indonesia, copied by a scribe named al-Faqih
al-Salih … The Qur’an was also published by Hasan Muarif Ambary in 1980, and
was then said to have been ‘edited’ in AH 1050 (Ambary 1980:3) or in AH 1185 by
al-Adenani (Ambary 1980:20).[13]
Jadi, masalah yang akan dicari jawabannya dalam tulisan ini adalah
beberapa hal berikut: (1) siapakah penulis mushaf ini?; (2) benarkah mushaf Sultan Ternate
merupakan mushaf tertua di Nusantara?; (3) kapan mushaf ini selesai ditulis? (4) siapakah Afifuddin Abdul Baqi bin
Abdullah al-Adni?; dan (5) apakah Afifuddin adalah pengedit
naskah mushaf ini?
Deskripsi
Naskah
Mushaf Al-Qur'an Sultan Ternate berukuran 31 x 20,5 x 10 cm. Ukuran
bidang teks agak kecil, sekitar 22 x 11 cm, dengan menyisakan ruang cukup lebar
di sisi luar sebelah kanan-kiri teks untuk catatan qira’at dan lain-lain. Jumlah baris 13 per halaman. Menggunakan
kertas Eropa, namun cap kertas tidak terdeteksi dengan baik. Naskah ini
memiliki iluminasi indah, dengan pola yang khas, di bagian awal dan akhir
mushaf. Iluminasinya dikerjakan dengan keterampilan yang tinggi. Tinta yang
digunakan adalah hitam dan merah. Teks Al-Qur'an ditulis dengn tinta hitam, sedangkan
warna merah digunakan untuk penulisan nama surah, tanda bulat di akhir ayat,
tanda juz, tanda tajwid, serta hadis-hadis keutamaan membaca surah tertentu di
awal setiap surah.
Catatan-catatan dalam mushaf ini dapat dikatakan cukup lengkap. Di
bagian awal, sebelum teks Al-Qur'an, terdapat penjelasan mengenai ilmu rasm, waqaf dan ibtida’, dabt al-mushaf, dan ilmu mengenai surah-surah
dalam Al-Qur'an. Pada setiap awal surah terdapat hadis Rasulullah yang
menyatakan keutamaan membaca surah terkait. Di tepi halaman sepanjang mushaf
terdapat catatan qira’at yang lengkap
dan sangat njlimet. Sedangkan di
bagian akhir terdapat catatan wakaf, hitungan-hitungan dalam bentuk semacam
kipas karangan Syekh al-Imam al-Hafiz asy-Syarif Muhammad bin Mahmud
as-Samarqandi, serta suatu catatan lain.
Meski semua tulisannya masih terbaca, secara umum kondisi Mushaf
Al-Qur'an Sultan Ternate tidak begitu baik, karena pojok-pojok dan pinggir
mushaf ini dimakan rayap. Jilidan sudah agak rusak, dan kulit cover depan sudah
tidak ada. Padahal seharusnya mushaf ini tidak mudah diakses oleh umum. Ketiga
mushaf lain di lingkungan istana (sekaligus sebagai Museum Babullah) cukup
mudah untuk diakses, namun mushaf Sultan ini sehari-hari ditempatkan di “Ruang
Puji”, ruangan khusus Sultan bersamadi, diletakkan di atas mahkota. Untuk dapat
melihat mushaf ini harus melalui izin Sultan.[14]
Di lingkungan kesultanan Ternate sendiri terdapat enam buah Mushaf Al-Qur'an
kuno. Empat di lingkungan istana, dan dua yang lain di Masjid Sultan, kira-kira
200 meter dari istana.
Mushaf Sultan ini merupakan ‘satu keluarga dekat’ dengan empat
mushaf lain, terutama dilihat dari kesamaan gaya dan kehalusan iluminasinya. Keempat
mushaf lainnya, yaitu (1) satu buah di museum istana Ternate, tanpa kolofon;
(2) Perpustakaan Nasional RI Jakarta nomor koleksi A.49, dengan tarikh Sya’ban
1143 H (Februari/Maret 1731); (3) sebuah mushaf di Masjid Raya Sultan Riau di
Pulau Penyengat, bertarikh 25 Ramadan 1166 H (26 Juli 1753); dan (4) sebuah
mushaf Nusantara koleksi The Aga Khan Trust di Jenewa, Swiss, bertarikh 25
Ramadan 1219 H (28 Desember 1804). Kelima mushaf ini memiliki kesamaan dalam
berbagai hal, dan memerlukan penelitian lebih lanjut untuk memperbandingkannya.
Kolofon Naskah
Kolofon yaitu catatan penulis atau penyalin, pada umumnya terdapat
di akhir naskah atau terbitan, berisi keterangan mengenai tempat, waktu, dan
penyalinan naskah. Sebenarnya isi kolofon lebih luas daripada ketiga hal
tersebut, dan mencakup catatan apa saja yang terdapat dalam suatu naskah. Catatan
kolofon sangat penting dalam penelitian naskah, untuk menelusuri dan memastikan
kesejarahan suatu naskah.
Dalam mushaf Sultan Ternate yang kita bahas ini terdapat tiga bagian
kolofon yang perlu dibaca dengan teliti. Pertama, kolofon dalam bahasa Arab di bagian
awal mushaf, tepat sebelum iluminasi Surah al-Fatihah, berbunyi:
Hāza mā waqafa wa habasa wa sabbala wa ayyada
al-hurr Abd al-‘Alīm Hāj bin Abd al-Hamīd
imām bi-kuta Ternate ‘anhu wa ‘an wālidihi hāza min awwali al-Qur’ān wa mā
ba’dahu ilā tamāmi salāsīna juz min al-Qur’ān al-‘azīm waqfan sahīhan
syar’iyyan lā yubā’u wa lā yurhanu wa lā yūhabu wa lā yūrasu hattā yarisa Allāhu
al-arda wa man ‘alaihā wa huwa khair al-wārisīn, taqabbala Allāhu zālika
bi-mannihi wa karamihi, fa man baddalahu ba’da mā sami’ahu fa innamā ismuhū
‘ala allazīna yubaddilūnahu inna Allāha kāna samī’un ‘alīmun, wa kāna al-farāg
min tahsīli hāza al-waqf nahār al-Ahad madat tis’a yauman min syahri al-Hajj
al-Mubārak bi-tārīkh sanah 1185 min al-hijrat al-nubuwwah ‘alā sāhibihā
afdal as-salāti wa azka at-taslīmi, bi-khatt al-faqīr al-haqīr Haji ‘Abd
al-‘Alīm bin ‘Abd al-Hamīd gafara Allāh lanā wa li-jamī’ al-muslimīn. Āmīn.
[Penebalan
huruf dari penulis].
Kedua, kolofon di bagian akhir mushaf dalam bahasa Melayu, berbentuk
bundar, di bagian tengah, berbunyi:
Inilah barang yang diwakafkan dan dihentikan
dan dijalani dan kuatkan oleh hurr
Haji Abdul-Alim bin Abdul-Hamid imam bi-kuta Ternate daripadanya dan daripada
bapaknya ini daripada awal Qur’an dan barang yang kemudiannya hingga tamam tiga
puluh juz daripada Qur’an yang amat besar akan jadi wakaf yang sahih pada
syara’ tiada boleh dijual dan tiada boleh diberikan dan tiada diwarisinya
hingga mengurainya Allah akan bumi dan barang siapa atasnya dan yaitu
sebaik-baik daripada segala waris diterima oleh Allah demikian itu dengan
karunia-Nya dan kemurahan-Nya, sanah 1185 H.
Ketiga, kolofon dalam bahasa Arab di bagian bawahnya berbunyi:
[3]
Ma lukhkhisa ai nuqila wa kutiba wa al-hamdu lillāh rabbi al-‘ālamīn, qāla
al-mu’allif al-Faqīh al-Sālih ‘Afīf al-Dīn ‘Abd al-Bāqī bin ‘Abdullāh
al-Adni wāfaqa farāgī min zālika nahār al-Isnaini al-sābi’ syahr Zī
al-Qa’dah al-Harām sanat khamsīn ba’da alif min Hijratihi sallallāhu ‘alaihi wa
sallama, wa tammat kalimatu rabbika sidqan wa ‘adlan lā mubaddila li-kalimātillāhi
wa huwa as-samī’ al-‘alīm. Wa al-hamdu lillāhi rabb al-‘ālamīn. [Penebalan
huruf dari penulis].
Menelaah Ulang Kolofon
Siapakah penulis mushaf Sultan Ternate? Pertanyaan ini penting sekali dibahas. Informasi
mengenai penulis mushaf ini dapat kita lihat dalam teks kolofon di bagian
depan, tepat sebelum Surah al-Fatihah, berbunyi wa kāna al-farāg
min tahsīli hāza al-waqf ... bi-khatt al-faqīr al-haqīr Haji ‘Abd al-‘Alīm bin
‘Abd al-Hamīd (telah selesai penyalinan wakaf
ini … dengan khat orang yang fakir dan hina Haji Abd al-Alim bin Abd al-Hamid)
[lihat Lampiran]. Mungkin timbul pertanyaan, apakah yang dimaksud
‘wakaf’ di sini adalah ‘mushaf Al-Qur’an’ ini? Jawabannya terdapat dalam
redaksi kolofon baik versi bahasa Arab maupun Melayu. Dalam versi bahasa Melayu
di bagian akhir mushaf – yang bukan merupakan terjemahan lengkap dari versi
bahasa Arabnya [lihat Kolofon 2] – tertera, “Inilah barang yang diwakafkan … daripada awal Qur’an
dan barang yang kemudiannya hingga tamam [lengkap] tiga puluh juz …” Melihat redaksinya yang mirip, antara kolofon di depan (bahasa
Arab) dan di belakang (bahasa Melayu), dapat kita duga kuat bahwa catatan kolofon tersebut merupakan satu
kesatuan, dan ditulis langsung setelah berakhirnya penyalinan mushaf. Dan saya
menduga bahwa penulisan teks kolofon versi bahasa Arab di bagian depan dilakukan
terakhir, setelah penulisan kolofon versi bahasa Melayu di bagian belakang,
dengan alasan untuk memenuhi halaman kosong yang biasanya terdapat di balik halaman
beriluminasi.
Kata
bi-khatt (dengan tulisan) pada kolofon di atas sangat lazim digunakan dalam
naskah, dan ini juga terdapat pada kolofon sebuah mushaf di Masjid Sultan Riau,
Penyengat (tahun 1753), demikian pula dalam mushaf koleksi Aga Khan Trust,
Jenewa (tahun 1804). Sedangkan pernyataan al-faqīr al-haqīr adalah pernyataan
yang lazim untuk merendah, bahkan sering “disempurnakan” dengan sebutan ad-da’īf,
al-mu’tarif bi al-zanb wa al-taqsīr
dan lain-lain. Jelaslah bahwa penulis mushaf ini adalah Haji Abdul Alim
bin Abdul Hamid, dan dia pulalah yang mewakafkan Al-Qur'an ini. Mengenai sosok
Abdul Alim, disebutkan secara ringkas di bagian awal kolofon, demikian pula
dalam Kolofon 2 berbahasa Melayu di akhir mushaf, yaitu sebagai “imam bi-kuta
Ternate”, seorang imam di kota Ternate.[15]
Mengenai waktu penulisan mushaf, dinyatakan dalam Kolofon 1, wa kāna
al-farāg min tahsīli hāzā al-waqf nahār al-Ahad madat tis’a yauman min syahri
al-Hajj al-Mubārak bi-tārīkh sanah 1185 min al-hijrat al-nubuwwah. Berarti, bahwa mushaf ini (yang diwakafkan)
selesai ditulis pada hari Ahad, 9 Zulhijjah 1185 H (Sabtu, 14 Maret 1772). Mengenai
ketidakcocokan hari, antara hari Ahad atau Sabtu, mungkin karena kekurangtepatan
ketika menulisnya.
Munculnya kejanggalan dalam kesimpulan nama
penulis mushaf dan tarikh penulisannya, ada kemungkinan karena Shodrie (dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Jakarta),
peneliti pertama mushaf ini, tidak melihat Kolofon 1 yang terdapat di bagian
awal mushaf ini, tepat sebelum halaman iluminasi Surah al-Fatihah. Kolofon ini memakan satu halaman penuh, dengan uraian cukup rinci mengenai
barang wakaf. Kolofon dalam
bahasa Arab ini diterjemahkan secara bebas dalam bahasa Melayu pada Kolofon 2.
Dengan jelasnya tarikh penulisan mushaf ini, yaitu
9 Zulhijjah 1185 H (14 Maret 1772),
maka mushaf ini bukanlah yang tertua di Nusantara. Dalam “keluarga dekat”
mushaf ini, mushaf A.49 di Perpustakaan Nasional, Sya’ban 1143 H
(Februari/Maret 1731) dan mushaf di
Masjid Sultan Riau di Penyengat, 25 Ramadan 1166 H (26 Juli 1753) lebih tua. Dengan demikian, gugurlah “mitos”
mushaf ini sebagai mushaf tertua di Indonesia.
Selajutnya, siapakah sesungguhnya sosok Afīf al-Dīn Abd al-Bāqī bin
Abdullāh al-Adnī? Dalam Kolofon
3 tertulis: Mā lukhkhisa ai nuqila wa kutiba (apa yang diringkas, dinukil dan disalin). Menurut saya, dengan pernyataan
ini, bahwa Haji Abdul Alim, penulis mushaf ini, meringkas, menukil dan menyalin
suatu teks yang dikarang oleh al-Faqīh al-Sālih ‘Afīf al-Dīn ‘Abd al-Bāqī bin
‘Abdullāh al-Adnī, seorang mu’allif (pengarang suatu teks). Teks yang
disalinnya, adalah teks tentang ilmu-ilmu Al-Qur'an (‘ulūm al-Qur'ān)
yang melengkapi mushaf ini.
Adapun pernyataan selanjutnya, qāla
al-mu’allif al-Faqīh al-Sālih ‘Afīf al-Dīn ‘Abd al-Bāqī bin ‘Abdullāh al-‘Adnī
wāfaqa farāgī min zālika nahār al-Isnain al-sābi’…, yaitu bahwa Abdul Alim
menyatakan, sang pengarang (mu’allif, ‘Afīf al-Dīn) dalam naskah aslinya
berkata, ia selesai mengarang teks pada hari Senin, 7 Zulqa’dah 1050 H). Jadi,
tarikh ini bukanlah tarikh penulisan mushaf Sultan Ternate, tetapi tarikh ketika
‘Afīf al-Dīn selesai menulis teks ilmu-ilmu Al-Qur'an yang dikutip oleh Haji
Abdul Alim dalam mushaf ini. Dengan demikian, ‘Afīf al-Dīn juga bukanlah
pengedit mushaf ini. Perlu diperhatikan pula bahwa kata mu’allif (atau
derivasinya) tidak biasa digunakan untuk menyebut penyalin (atau penyalinan) Al-Qur’an.
Kesimpulan
Mushaf ini merupakan wakaf Haji Abdul Alim bin Abdul Hamid, seorang
imam di Ternate, dan dia pulalah penyalinnya.
Selesai disalin pada 9 Zulhijjah 1185
H (14 Maret 1772). Mushaf ini bukanlah merupakan mushaf tertua Nusantara, karena
mushaf koleksi Perpustakaan Nasional (1731), dan mushaf di Masjid Sultan Riau di
Penyengat (1753) lebih tua. ‘Afīf al-Dīn ‘Abd al-Bāqī bin ‘Abdullāh al-Adnī
adalah pengarang teks ulumul Qur’an yang dikutip oleh Haji Abdul Alim dalam
mushaf ini.[]
Daftar
Pustaka
Ambary, Hasan Muarif, “Some Notes on the
Discovery of the Archaeological Evidence at Ternate”, Aspects of Indonesian Archaeology, Vol. 10, Jakarta: Puslit Arkenas, 1980.
———, “Rapport preliminaire sur les manuscrits
anciens et les vestiges epigraphiques de Ternate et Tidore”, Archipel 23, Paris, 1982.
———,
Menemukan Peradaban: Jejak Arkeologis dan Historis Islam Indonesia, Jakarta:
Logos Wacana Ilmu, 1998.
Buchari, Mahmud, Al-Qur’an: Manuskrip Mushaf Wakaf untuk Mengenang Almh. Ibunda Hjh.
Fatimah Siti Hartinah Soeharto, (Jakarta: Kharisma, 1999).
Gallop, Annabel Teh, “Migrating manuscript
art: Sulawesi diaspora styles of illumination”, ceramah di University of Sydney,
21 Juni 2007.
Kamus Besar Bahasa Indonesia: Edisi Ketiga, Jakarta:
Balai Pustaka, 2002.
Ohorella, GA (peny.), Ternate sebagai Bandar di Jalur Sutra:
Kumpulan Makalah Diskusi (Jakarta: Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi
Sejarah Nasional, Ditjen Kebudayaan, Depdikbud, 1997).
Yoesqi, M Ishom, “Penulisan Mushaf
Al-Qur'an di Kedaton Kesultanan Ternate”, dalam Fadhal AR Bafadal et al., Mushaf-mushaf Kuno di Indonesia, Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan, 2005.
[1] GA Ohorella (peny.), Ternate sebagai Bandar di Jalur Sutra: Kumpulan Makalah Diskusi
(Jakarta: Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, Ditjen
Kebudayaan, Depdikbud, 1997), h. 12.
[2] Ibid., h. 1.
[3] Dalam teks kolofon tertulis “al-‘Adni”.
[4] Dalam teks tertulis huruf b-k-w-t.
Beberapa orang di Ternate tidak mengenal istilah Imam “Bagot”, oleh karena itu
saya membacanya “bi-Kuta” (di Kota).
[5] Hasan Muarif Ambary, “Some Notes on the Discovery of the
Archaeological Evidence at Ternate”, Aspects
of Indonesian Archaeology, Vol. 10, Jakarta:
Puslit Arkenas, 1980.
[6] Hasan Muarif Ambary, “Rapport preliminaire sur les manuscrits
anciens et les vestiges epigraphiques de Ternate et Tidore”, Archipel 23, Paris, 1982, h. 135 – 145.
[7] Hasan M Ambary, Menemukan
Peradaban: Jejak Arkeologis dan Historis Islam Indonesia,
Jakarta: Logos
Wacana Ilmu, 1998, h. 176.
[8] Lihat M Ishom Yoesqi, “Penulisan Mushaf Al-Qur'an di Kedaton
Kesultanan Ternate”, dalam Fadhal AR Bafadal et al., Mushaf-mushaf Kuno di
Indonesia, Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan, catatan kaki h. 267.
[9] Ibid., h. 260 – 283.
[10] Ibid., h. 267, 269-270
[11] Mahmud Buchari, Al-Qur’an:
Manuskrip Mushaf Wakaf untuk Mengenang Almh. Ibunda Hjh. Fatimah Siti Hartinah
Soeharto, (Jakarta: Kharisma, 1999), h. 12.
[12] M Ishom Yoesqi, “Penulisan …” h. 270.
[13] Annabel Teh Gallop, “Migrating manuscript art: Sulawesi diaspora
styles of illumination”, ceramah di University
of Sydney, 21 Juni 2007.
[14] Saya sangat berterima kasih kepada Bapak H M Saleh, pegawai museum
istana Ternate, dan Bapak Idris Senen, pegawai Dinas Pariwisata Provinsi Maluku
Utara, yang memudahkan saya untuk mengkaji mushaf-mushaf di Ternate, serta
kesempatan untuk bertemu dengan Sultan Mudaffar Sjah pada tanggal 20 September
2008.
[15] Bapak HM Saleh, pegawai museum, menyebutkan bahwa Haji Abdul Alim adalah
imam istana Ternate.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar