Perjalanan ke Malaysia
(Januari 2009)
Catatan: Dari
melamun ke melamun di kereta menuju Yogyakarta ini, dan membuka-buka laptop, saya menemukan
kembali tulisan lama, beberapa tahun yang lalu. Suatu catatan perjalanan yang
tercecer. Enak juga dibaca kembali, menghadirkan kenangan lama... Huruf miring
adalah bahasa Jawa khas Pogungrejo, desa kelahiran saya di Purworejo, Jawa
Tengah. Pada waktu menulis catatan ini, saya membayangkan, kawan-kawan
sekampung yang dulu sering kumpul di mesjid itulah kawan bicara saya.
Mudah-mudahan masih ada manfaatnya. Terima kasih yang tak terhingga kepada Seasrep dan Toyota Foundation yang menyokong perjalanan ini.
CATATAN HARIAN ini lebih banyak saya tulis di atas bis, atau di persewaan internet. Kalau di kamar hotel hawane ngantuk, soale kesele pol. Lempoh, koyo wong macul, soalnya jalan seharian, berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Dan sering harus ngejar-ngejar waktu. Kempole tulung! Sementara, mau minta tukang pijat, takut. Belum terpikir.
Kuala Lumpur dari jendela bis.
Sekarang saya di atas bis menuju Kuala Lumpur (KL), dari Kuantan, Pahang. Iseng-iseng ngetik catatan ini. Di kanan-kiri jalan tol ini yang terlihat adalah kebon kelapa sawit, karet, atau hutan. Paling sering adalah kelapa sawit. Kesan saya, di mana-mana di Malaysia ini kok ada kebon kelapa sawit. Saya pernah, waktu itu naik bis dari Singapura ke Kuala Lumpur, hampir setahun yang lalu, di sepanjang jalan begitu masuk di semenanjung Malaysia itu, dari Johor, sampai KL, yang terlihat adalah kebon kelapa sawit! Dan kalau kita naik pesawat, mau mendarat di bandara KL, yang terlihat, sejauh mata memndang, adalah bumi yang ijo royo-royo, pol le ndemenakke, dan itu adalah kelapa sawit! Ratusan ribu pekerja kita (TKI) tengah bekerja di bawah kerimbunan itu!
/Hari ke-1,
Jakarta-Kuala Lumpur, Senin, 19 Januari 2009/
Dari bandara KL saya
langsung menuju Hotel Heritage Station (orang sini kadang menyebutnya Hotel
Warisan), hotel kuno yang menyatu dengan stasiun kereta. Karena saya sudah
”terbiasa” dengan hotel kuno ini, maka saya nggak kepengin mencoba hotel lain.
Mungkin saja di lain tempat lebih bagus dan murah. Hotel ini letaknya di
sebelah rel-rel yang membujur. Tapi nggak begitu berisik, karena keretanya
tidak glodak-glodek. Di lantai bawah ada museum perkeretaapian. Kereta api ini
merupakan yang tertua, seratus tahun lebih, dan dinamakan KTM (Kereta Tanah
Melayu). Satu hal yang saya heran dari perkeretaapian di sini adalah keteraturannya.
Serba teratur, rapi. (Ojo ngomong kereta Jabotabek!). Tiket bisa dibeli
langsung di konter atau melalui mesin otomatis. Setelah pegang tiket, kalau mau
masuk, tiket dimasukkan di pintu masuk, baru penghalangnya terbuka. Begitu juga
kalau mau keluar stasiun. Semua penumpang teratur mengikuti kaidah itu. Koyone
ora ono sing nakal ra tuku karcis! Kalau mau naik kereta juga terlihat
teratur, baris ke belakang. Ora kemruyuk nang ngarep pintu kereta,
sehingga yang mau keluar dari kereta susah. Dan yang keluar dikasih waktu dulu,
baru yang masuk. (Ojo ngomong kereta Jabotabek-lah!). Sistem itu sudah
berjalan dengan baik, dan jangan dulu ngimpi bisa terjadi di Jakarta.
Stasiun KTM di bawah Hotel Heritage, KL, malam hari.
Arsirektur bangunan
stasiun ini unik, mengambil bentuk dari arsitektur India, seperti masjid. Ada
kubah-kubah di atas bangunan, dan pintu serta jendelanya berbentuk lengkungan.
Mungkin banyak yang mengira, terutama orang Indonesia, bahwa ini adalah masjid.
Bangunan kantor kereta api yang berada di seberangnya pun berarsitektur serupa.
Kalau nggak salah namanya gaya ”moro” atau mor” (istilah yang menunjuk kepada
gaya arsitektur orang Islam. Dulu orang Barat menyebut orang Islam adalah orang
Moro, seperti yang sekarang berlaku untuk orang Islam di Filipina Selatan yang
disebut ”bangsa Moro”).
Stasiun kereta yang sekaligus merupakan Hotel Heritage.
/Hari ke-2, Kuala
Lumpur, Selasa 20 Januari 2009/
Menginap di hotel kuno
ini harga yang paling rendah adalah RM108 (ringgit Malaysia; kurs saat ini
sekitar Rp3250,-). Dulu, hampir satu setengah tahun yang lalu, waktu saya ke
sini yang pertama, Oktober 2007, harganya RM98. Ijen po wong loro podho wae
regane. Waktu check out adalah pukul 12 siang. Oh ya, di Malaysia,
jam itu lebih cepat satu jam. Maksudnya, jika di Indonesia matahari terbit
pukul enam, di sini adalah pukul tujuh. Di sini kantor mulai buka pukul 9 dan
tutup pukul lima atau lima setengah (istilah sini, yang nggak lazim dalam
bahasa kita). Bagi saya ini rasanya aneh. Dulu, waktu saya pertama ke KL,
Februari 2006, saya pernah kecele. Bangun tidur saya langsung salat
subuh, karena saya pikir waktunya sama. Setelah salat, rupanya baru terdengar
azan subuh. (Wah, nek salat subuh ping pindho rake ganjarane dobel yo...).
Ada cerita yang membuat
saya rodo cayus, pucet. Pagi-pagi, karena saya perlu tambahan uang, saya pergi
ke ATM di lantai bawah stasiun ini. Begitu saya masukkan kartunya, nggak
keluar duitnya! Tolong! Saya coba sekali lagi, nggak bisa! Wah, ngalamat,
iki! Aku rodo cayus, nggak cayus sekali sih, karena saya sempat
membawa uang rupiah dalam jumlah cukup banyak. Artinya, kalau saya harus
pulang, dan perjalanan ini gagal, saya bisa beli tiket pulang, setelah nginap
beberapa hari di sini. Dengan rasa dag-dig-dug saya kemudian pergi ke kantor
bank. Saya tanya ke petugas, rupanya, setelah kita memasukkan nomor PIN, perlu
menekan tombol enter. Betul, setelah dicoba, di hadapan petugas itu, bisa
berhasil! Lego, legone pol! Bukan apa-apa, soalnya nyawa saya ada di
kartu itu! Dan hanya di selembar kartu itu, thok thil! Nek raiso dinggo,
blaik raang? Nah, pengalaman dulu-dulu, saya nggak perlu tekan enter,
setelah menekan empat angka PIN untuk kartu ATM Bank BNI. Iki kok bedo!
Sebenarnya ini
pengalaman cayus yang kedua. Pada kepergian ke Malaysia yang kedua
sebelumnya, sekitar setahun yang lalu, saya ngak bawa persediaan uang rupiah.
Saya PD (percaya diri) aja, pergi ke negeri orang, hanya mengandalkan sebuah
kartu ATM, yang katanya bisa untuk ambil duit di ATM mana saja di dunia, yang
berlogo ”MasterCard”. Nah, di hari kedua, ketika saya coba ambil duit di ATM di
bawah hotel kuno ini, ternyata nggak bisa keluar duitnya! Saya coba sekali
lagi, nggak bisa lagi! Cayus, benar-benar. Blaik! Saya nggak coba lagi
untuk yang ketiga kalinya, karena saya takut kartunya, siapa tahu, malah nggak
keluar. Akhirnya tergopoh-gopoh, dengan perasaan nggak keruan, saya pergi ke
ATM lain di sebuah kantor bank. (Soalnya, jika memang nggak bisa ambil duit,
untuk beli tiket pulang pun tak ada! Gemblung!). Nah, pikiran kacau berakhir di
sini: di ATM kantor MayBank, yang berderet banyak, duitnya bisa keluar! Huh, plong!
Mengenai nilai kurs
rupiah ke ringgit berbeda-beda. Di bandara Jakarta, sebelum berangkat, untuk
persediaan, saya menukar Rp500.000 = RM150 (RM = Ringgit Malaysia). Di bandara
KL (biasanya dibaca ”ke-el”, bukan ”ka-el”), begitu mendarat, saya menukar
Rp1.000.000 = RM283. (Wah, aku rugi, soalnya saya nggak tanya dulu!). Terus di
tengah kota sini, di kantor Maybank, Rp1.000.000 = RM292. Begitu saya keluar
bank, di sebelahnya, saya tanya ke penukaran uang si sebuah kios, Rp1.000.000 =
RM320. Akhirnya saya nukar uang lagi. Jadi, nilainya beda-beda. Namanya juga
jualan, dagang...
Saya nginap di hotel
tua ini dua malam. Hari kedua perjalanan, saya ke Museum Negara (National
Museum). Di museum ini banyak turis asing, umumnya bermata sipit. Mungkin dari
Cina, Korea atau Jepang. Soal turisme inilah yang membuat saya terheran-heran
setiap datang ke Malaysia. Di banyak tempat, juga di jalan-jalan, apalagi
tempat wisata, sering sekali saya lihat Bas Persiaran, yang biasanya
kinclong-kinclong. Di Masjid Negara (kalau kita Masjid Istiqlal) misalnya, itu
nggak pernah berhenti Bas Persiaran berganti-ganti datang dan pergi. Saya
betul-betul heran. Sebab, masjidnya pun saya pikir biasa saja, tidak 'hebat-hebat' amat.
Museum Nasional Malaysia, bagian depan.
Yang pinter tentu yang
mengemas paket turisme ini! Di Malaysia ini, turisme memang digalakkan dan
ditangani secara luar biasa. Pejabat-pejabat (kantor) penggalak turisme ada di
setiap kota, dengan informasi dan brosur yang lengkap-kap! Dan informasi
turisme itu, peta-peta atau papan petunjuk lain, juga ada di mana-mana. Kita
nggak perlu terlalu banyak tanya ke sana kemari. (Oh ya, di sini, kantor itu
disebut ”pejabat”. ”Ibu Pejabat” = ”Kantor Pusat”. Aneh! Dulu, pertama kali ke
Malaysia, 2006, saya benar-benar bingung dengan istilah yang pengertiannya beda
banget dengan bahasa kita itu).
/Hari ke-3, Kuala
Lumpur, Rabu 21 Januari 2009/
Hari ketiga, atau siang
kedua di KL, saya datang ke Museum Seni Asia, Universitas Malaya. Saya diundang
untuk memberi syarahan umum (ceramah) di museum ini. Ini sebenarnya hal yang
tak diduga. Seminggu sebelumnya, ketika melalui email saya meminta izin untuk
datang dan mendokumentasi koleksi Islam (khususnya yang ada huruf Arabnya) yang
ada di museum ini, tiba-tiba, tak diduga, saya malah disuruh memberi ceramah
mengenai topik tersebut. Wah, grogi juga, deg-degan, tapi saya merasa
ini kesempatan yang amat mahal! Saya memang sudah ditunggu, soalnya setelah itu
kami nggak ada kontak lagi. Pengarah (di kita Direktur) museum, Pak Aziz
Rasyid, sudah menunggu dengan cemas, jangan-jangan saya nggak datang. Saya pun
juga tak punya nomor hp Pak Aziz, sehingga tak bisa mengabarkan kedatangkan
saya sejak kemarin.
Saya lihat persiapan
untuk ceramah ini sudah siap. Ada kursi-kursi dan meja di depan, dengan backdrop
bertuliskan ”Ceramah Kaligrafi Nusantara oleh Bapak Ali Akbar, Penyelidik di
Bayt Al-Qur'an & Museum Istiqlal, Jakarta”. Wah! Akhirnya,
jadilah saya ngomong melalui gambar-gambar yang sudah saya siapkan sebelumnya
(dan saya lengkapi lagi kemarin pagi). Yang datang dalam ceramah ini nggak
banyak, mungkin sekitar 25-an orang, yaitu para mahasiswa, pengajar, dan
pegawai dari museum lain. Ada juga Profesor Othman Yatim, guru besar sejarah seni Melayu, yang pernah ketemu di Canberra, pada 2006.
Tempat ceramah dan sebagian koleksi Museum Seni Asia.
Setelah ceramah, lho, rupanya saya disuruh tanda tangan, dan dikasih amplop! Wah, saya pikir,
daripada ditaboki, mending dikasih amplop begini! Lumayan, dan
amplopnya masih saya simpan, untuk kenang-kenangan...
Sorenya, saya menuju
Kuala Terengganu, ibukota negara bagian (kalau kita ya provinsi) Terengganu, di pantai timur Semenanjung
Malaysia. Adoh, wong pantai barat ke pantai timur! Naik bis pukul 10.00
malam. Saya nunggu bis di musola, sampai diusir, karena mau dikunci.
Sebenarnya nunggu di ruang tunggu juga nggak terlalu sumpek, sebab di terminal
bis juga nggak berisik banget. Di sini sepertinya nggak ada kernet bis atau
calo yang teriak-teriak menawarkan tempat tujuan. Pengumuman disiarkan melalui
pengeras suara, itu pun juga nggak memekakkan telinga. Juga orang nggak
sembarangan ngrokok (Maklum, ako anti rokok, nggak tahan bau asap rokok – di
kantor saya dikenal sebagai antirokok). Dan terminal ini cukup bersih, nggak
banyak sampah berserakan.
[Kalau saya ”ngomong
baik” tentang negeri orang, sesungguhnya bukan saya nggak suka dengan negeri
sendiri. Tidak. Justru dari perjalanan ke perjalanan, terasa saya semakin
mencintai tanah air. Betapa indah dan kayanya Indonesia! Hanya, ada yang
’kurang’ pada kita... Itu saja.]
/Hari ke-4, Kuala
Terengganu, Kamis 22 Januari 2009/
Sampai di Kuala
Terengganu pagi, pukul 5. Pukul 5 di sini belum subuh (ingat, di sini waktu
lebih cepat satu jam daripada di Indonesia!). Saya menunggu sebentar di
terminal, terus menuju Masjid Sultan Abidin, ketika terdengar azan subuh.
Setelah subuh, saya sebentar mengaji (wah, gaya!), dan memperhatikan beberapa
Al-Qur'an cetakan di sini. Saya memfoto yang saya anggap perlu, untuk bahan
bandingan dengan Al-Qur'an cetakan di Indonesia.
Masjid Sultan Abidin, Kuala Terengganu.
Pintu gerbang Istana Maziah.
Setelah agak siang,
saya keluar masjid, dan jalan nggendong tas gunung yang cukup berat karena
berisi laptop dan kamera, sambil nyeret koper yang juga pelan-pelan mulai
berat, karena kemarin beli buku di Museum Negara. Rupanya jalan yang saya lalui
adalah menuju depan Istana Maziah, istana Sultan Terengganu. Tepat di depan
istana ada hotel yang tampaknya tidak mewah, namanya Sea View Hotel. Saya
masuk, tanya harga dan kamar. Harganya RM75. Mestinya RM85, tapi karena saya
sendirian, didiskon jadi RM75. Jadilah saya check in di sini. Saya taruh
tas di kamar, di lantai 2. Nggak buang waktu lama, saya terus keluar kamar,
untuk berangkat ke Museum Negeri Terengganu. Orang di jalan, juga petugas
hotel, memberi tahu bahwa ada bis gratis di sini. Wah, enak amat, saya pikir,
bisa keliling kota percuma (gratis). Bisnya didesain bagus, unik, dengan
kayu. Tapi ketika saya naik, saya tanya kepada supirnya, katanya baru akan
berangkat satu jam lagi, dan kira-kira satu jam berikutnya baru bisa sampai di
museum. Wah, daripada kehilangan umur di bis gratis, saya pikir lebih baik naik
taksi. Soalnya waktunya mepet.
Sesudut kota: masih terasa sebagai kesultanan.
Akhirnya saya naik
taksi. Harganya RM16 – sebelumnya ia menawarkan RM20. Supirnya agak tua. Ia
menjalankan mobilnya secara kasar, suka mengerem mendadak. Wah, nggak bisa buat
langganan, saya pikir. Urusan naik taksi, saya lebih senang kalau pakai
borongan, tidak pakai meter. Rasanya lebih tenang, karena saya nggak tahu
seberapa jauh jarak yang akan ditempuh. Mungkin sering rugi, tapi biarlah, asal
lebih pasti, dan hati lebih tenang. Ke sana kemari di Terengganu memang
susah. Di sini tidak ada angkot (angkutan kota). (Padahal kalau di Bogor ra
tau lat bersliweran!)
Di museum saya bertemu
dengan kurator, Bapak Rasyid, dan beberapa staf museum. Berdasarkan daftar
koleksi yang saya minta, museum ini banyak menyimpan Al-Qur'an dan naskah
keagamaan. Saya meminta izin untuk dapat memotret koleksi Al-Qur'an, khususnya.
Setelah diizinkan, saya memotret sebagian naskah yang ada,dibantu oleh staf
museum. Karena waktunya mepet, saya mengutamakan Al-Qur'an yang indah-indah
terlebih dulu. Ada enam Al-Qur'an yang saya potret, di samping Al-Qur'an dan
benda keislaman lain yang saya potret di ruang pameran tetap. Petugas museum
melayani saya dengan baik.
Museum Negeri Terengganu: cukup raksasa, memang.
Salah satu mushaf yang sangat indah, koleksi museum ini.
Karena besok hari cuti
(libur), museum tutup lebih awal sekitar setengah jam. Oh ya, Terengganu adalah
negara bagian Malaysia yang Islamnya kuat, maka di sini Jumat adalah hari libur
kantor, dan hari Ahad masuk kerja. Model ini berlaku juga di negeri yang
Islamnya kuat, yaitu Kelantan dan Kedah. Ketiganya di bagian utara Semenanjung
Malaysia.
Setelah museum mau
tutup, saya keluar. Nggak lama saya tanya-tanya pak satpam di pintu keluar,
tiba-tiba ada taksi melintas. Buru-buru saya panggil. Saya tanya berapa
harganya untuk kembali ke hotel. Katanya RM10. Wah, miring juga harganya, saya
pikir. Saya langsung naik. Supirnya bapak-bapak tua, pakai kopyah (di sini
biasa) dan berjubah putih (mana ada di Indonesia supir taksi berjubah?), namanya Pak Ya (begitu ia menyebut; nama aslinya
Zakaria).
Ngobrol-ngobrol, rupanya ia sudah dua kali naik haji. ”Saya sudah dua
kali naik haji, nggak mungkin-lah cakap bohong. Tambang (ongkos) yang saya
minta murah!” kata dia. Tapi memang betul, sebab untuk jarak yang sama
sebelumnya, saya ditarik RM16. Karena saya pikir orang ini bisa dipercaya, saya
pesan agar besok mengantar saya ke museum lagi, pagi-pagi. Saya mau lihat
rumah-rumah Melayu tradisional yang ada di tanah luas di bagian belakang museum
raksasa ini. Museum Terengganu memang terkenal sebagai museum yang besar, bahkan ngakunya
sebagai museum tersebsar di Asia Tenggara, seperti yang ada di papan informasi.
Minum bersama Pak Ya, supir taksi yang sudah dua kali naik haji.
Sebuah rumah tradisional Melayu.
Ukiran kaligrafi yang sangat indah di atas jendela rumah tradisional.
Malamnya, malam Jumat
(di sini merupakan malam liburan), saya keluar hotel. Jalan-jalan dan maem.
Saya jalan menuju taman, di pinggir teluk Terengganu. Banyak orang tua bawa
anaknya main-main di taman. Dan tentu saja kaum muda-mudi. Ada air mancur.
Inilah kemudian yang saya heran: ada sekelompok anak-anak muda yang membuka
pintu belakang mobilnya dan menyetel musik sekeras-kerasnya! Bug! Bug! Bug! ...
Sementara nyanyiannya sendiri nggak jelas sama sekali. Yang ada hanya bunyi
bug-bug-bug itu. Semakin malam, semakin keras. Tadinya hanya ada satu mobil,
sepertinya milik anak muda berperawakan India yang sliwar-sliwer di sekitar
mobil itu. Lalu tambah beberapa mobil lagi di sekitarnya, sampai ada enam mobil.
Semuanya menyalak bug-bug-bug. Tapi anak-anak muda itu tidak berlaku
macam-macam: hanya pada berdiri di depan puluhan speaker besar itu, sambil
ngobrol sesama kawan dan melihat-lihat speaker itu. Semuanya berjejer di depan
speaker.
Model musik keras seperti itu mengingatkan saya pada
angkot-angkot di Lampung, ketika saya dulu pernah ke sana. Di kota ini semua
angkot pada nggendong speaker ukuran besar, dan musiknya
menonjok-nonjok kuping: bug-bug-bug! Saking kerasnya, jauh sebelum angkot
datang, kita sudah dengar bunyi musiknya. Saya sampai tak tahan naik angkot! Kata supir angkot, kalau mobilnya nggak ada musik seperti itu, nggak ada yang
naik. Wah, tebal amat telinga orang Lampung, pikir saya.
Musik malam cuti di Kuala Terengganu: bug-bug-bug!
/Hari ke-5, Kuala Terengganu,
Jumat, 23 Januari 2009/
Pagi, saya telpon Pak
Ya untuk njemput di hotel. Terus kami ke rumah Melayu, milik Tengku Islamil,
seorang keluarga raja Terengganu. Rumah kayunya besar sekali, luar biasa. Luar
biasa! Indah, nyaman, teduh, dan rasanya kalau punya rumah seperti ini nggak
kepengin keluar rumah! Kami terus Jumatan di jalan.
Rumah Tengku Isma'il yang sangat besar: sebelah kanan terpotong.
Ruang terbuka di bagian tengah: dari kayu cengal yang kini sudah langka.
Tengku Isma'il bin Sabtu (2009). Kini telah wafat.
Setelah Jumatan saya ke
Pulau Duyong, naik perahu, sendirian, membayar RM5. Di sini ada sebuah rumah
tua, kediaman ulama terkenal pada masanya dulu. Rumahnya unik, perpaduan rumah
Melayu, Mediterania, dan Andalusia. Ada ukiran kaligrafi di atas jendela, khas
Terengganu atau pantai timur, yang menarik, dan memang yang saya cari. Cahaya
yang memancar dari lubang-lubang ukiran kayu, kalau dilihat dari dalam rumah,
sangat menarik. Dan ukiran kaligrafi yang kebanyakan berpola bolak-balik,
seperti cermin, memang disediakan untuk dibaca baik dari dalam maupun dari luar
rumah. Rumah ini sebenarnya rumah pugaran, karena aslinya sudah hancur. Hanya
sebagian kayunya masih asli, terutama bagian belakang. Tapi kerajaan (kalau kita
”pemerintah”) memang menjaga rumah ini sebagai objek turisme.
Rumah tua di Pulau Duyong.
Kaligrafi di atas jendela: dari dalam rumah.
Saya kesusahan pulang
ke hotel, dari sini. Nggak ada perahu ataupun taksi yang lewat. Setelah nunggu
lama, saya tetepon Pak Ya. Tapi rupanya dia jauh, dan baru akan sampai dalam
waktu satu jam. Ya udah, daripada nggak bisa pulang, saya tunggu saja, sambil
melihat-lihat pasar sore di sini. Ramai sekali, orang berbelanja macam-macam,
terutama urusan makanan.
Pasar makanan yang ramai di sore hari.
/Hari ke-6, Kuala
Terengganu, Sabtu, 24 Januari 2009/
Pagi, jam 9 lebih, saya
baru keluar hotel. Rupanya Pak Ya sudah lama menunggu di luar. Kami terus makan
pagi di jalan. Saya makan nasi. Nasinya keras, mawur. Dan yang tidak
ketinggalan adalah te o panas (inilah yang paling cocok, yang bisa
menghibur selera makan saya).
Setelah makan kami terus ke Taman Tamadun Islam
yang hari sebelumnya sempat saya lihat dari atas jembatan. Rupanya taman ini
berisi miniatur beberapa landmark peradaban Islam. Bagian depan berupa
bangunan Qubbah as-Sakhrah (The Dome of the Rock), terus ada Masjid
Sulaimaniyah, menara Samarra, dan lain-lain. Replikanya tampak dibuat dengan
teliti sekali. Bagus, dengan warna seperti aslinya. Tapi sesungguhnya saya
nggak begitu tertarik, karena itu adalah barang tiruan. Dan lagian itu
karya budaya orang lain, bukan hasil budaya kita sendiri, masyarkat Nusantara.
[Semakin saya lihat hasil karya budaya Nusantara (Islam), saya semakin
mencintai budaya sendiri, Nusantara].
Makan pagi bersama Pak Ya.
Saya pikir, kita itu
punya warna Islam sendiri, punya kekhasan dhewek, dan ”meng-Islam” tidak
harus ter-mlongo-mlongo dengan hasil budaya orang lain, Islam di Timur
Tengah sana. Kita punya identitas sendiri. Nenek moyang kita, seperti yang kita
lihat dari karya-karya mereka, mengajarkan seperti itu.
Setelah beli tiket untuk
jalan ke Kota Bharu, Kelantan, saya motret-motret Masjid Sultan Abidin.
Kaligrafi ukiran kayu di atas pintu-pintu masjid ini sangat menarik saya.
Kualitas tulisannya bagus, dan disandingkan dengan motif-motif floral khas
pantai timur. Wih! Alhamdulillah saya bisa puas memotret seperti yang saya
inginkan, tepat sebelum satpam masjid mengunci pintu masjid dengan agak keras.
”Kok pintu ini terbuka sih?” katanya. Saya berlalu...
Terminal bus Kuala Terengganu.
Bis Transnasional yang
saya naiki dari Kuala Terengganu pukul 1.40 siang sampai di Kota Bharu sekitar
pukul 5. Begitu keluar bis, saya melihat hotel tak jauh dari terminal, hanya
dipisahkan oleh jalan. Saya langsung menuju hotel itu, namanya Hotel Surya.
Harganya RM75.
Malam, saya keluar
kamar, masuk ke toko buku persis di bawah hatel ini. Saya beli dua buku,
berjudul Rupa dan Jiwa (RM63) dan Lanskap Melayu (RM18).
Sebenarnya buku yang pertama, dalam edisi bahasa Inggris, dulu sudah beli di
Museum Serawak, Kuching.
/Hari ke-7, Kota Bharu,
Kelantan, Ahad, 25 Januari 2009/
Pagi, saya ke Museum
Jahra, jalan kaki nggak jauh dari hotel. Di sini ada beberapa potong
hiasan ukir kayu kaligrafi. Setelah itu saya pergi ke Masjid Kampung Laut,
naik taksi. Taksinya adalah sedan Mercedes Benz lama, tahun 1972. Supirnya pun
juga orang lama, namanya Pak Abdul Kadir Damai, 75 tahun lebih. Sudah tua
betul. Saya khawatir juga, apakah ia masih awas melihat jalan? Ia mengenakan
kopiah, pertanda orang saleh.
Saya heran, taksi di sini banyak yang bermerek
Mercy. Inilah kali pertama saya naik Mercy - selain Mercy PPD, hehe. Ongkos taksinya
RM10. Di pangkalan taksi sempat tawar-menawar. Orang di situ semula minta RM12,
saya tawar RM10. Terus dia bilang, boleh RM10, tapi kalau ada penumpang di
jalan boleh dinaikkan. Saya oke saja. Betul, di tengah jalan ada dua orang yang
menyetop taksi ini, dan dipersilakan masuk. Di Kota Bharu ini juga nggak ada
angkot. Angkutan umum yang ada adalah bis dalam jumlah yang sepertinya
terbatas. Yang lainnya adalah taksi itu, dengan cara persewaan yang lucu
seperti itu. Jadi taksi itu bekerja seperti angkot.
Pak Abdul Kadir Damai, supir taksi berusia 75 tahun.
Istana Jahra, Kota Bharu, Kelantan.
Masjid Kampung Laut.
Masjid Kampung Laut ini
tertua di Kelantan, dari abad ke-16, dan termasuk salah satu di antara masjid
tertua di Nusantara. Masjid ini terbuat dari kayu, beratap tumpang, seperti
Masjid Demak. Sayangnya, di masjid ini nggak ada unsur kaligrafinya sama
sekali. Selesai motret, saya
nunggu taksi di pinggir jalan lama sekali. Akhirnya di kejauhan ada taksi, tapi
sudah dicegat oleh cewek-cewek mahasiswa tiga orang. Mereka duduk di belakang.
Mendekati saya, supir taksi menawarkan jasanya. Saya terus naik di jok depan.
Begitu turun, di dekat Museum Negeri Kelantan, di tengah kota, saya tanya
berapa ongkosnya. Kata supir, tiga ringgit. Wah, murah! Berangkatnya RM10,
pulangnya hanya RM3, untuk jarak yang sama!
Sisa waktu sore itu saya habiskan di jalan-jalan kota, sampai lempoh, terus salat magrib di Masjid Muhammadi. Sambil pulang ke hotel, mampir di persewaan internet untuk melihat email. Oh ya, tadi malam, jam 2, pintu kamar hotel tiba-tiba diketok orang. Agak keras. Sambil kriyip-kriyip saya buka pintu. Saya ditanya paspor. Beberapa orang langsung merangsek ke dalam, mengamati kamar. Mungkin saya dikira "pendatang haram" ya?
Sisa waktu sore itu saya habiskan di jalan-jalan kota, sampai lempoh, terus salat magrib di Masjid Muhammadi. Sambil pulang ke hotel, mampir di persewaan internet untuk melihat email. Oh ya, tadi malam, jam 2, pintu kamar hotel tiba-tiba diketok orang. Agak keras. Sambil kriyip-kriyip saya buka pintu. Saya ditanya paspor. Beberapa orang langsung merangsek ke dalam, mengamati kamar. Mungkin saya dikira "pendatang haram" ya?
/Hari ke-8, Kota Bharu,
Kelantan, Senin, 26 Januari 2009/
Pagi, ke Kandis
Resource Center di Bachok. Ternyata cukup jauh, di pinggir pantai. Ini adalah
peninggalan almarhum Nik Rasyiddin Nik Husin, seorang pemahat keris terkenal.
Dia banyak meninggalkan artefak kayu yang dibeli selama karirnya sebagai
pemahat. Banyak yang dibeli dari Patani. Di sini juga ada empat Al-Qur'an,
semuanya dari Patani, dalam ukuran agak kecil seperti biasanya al-Qur’an
Patani. Menarik dan mengagumkan, untuk suatu dedikasi pada kayu dan ukiran! Beruntung dalam kesempatan ini saya ketemu dengan istri almarhum, Rosnawati Othman, yang memandu dengan semangat ke semua koleksi yang ada.
Kandis Resource Center, Bachok.
Pukul 12 siang saya pulang
kembali ke Kota Bharu. Kemudian saya cari
tiket untuk pergi ke Kuantan, ibukota Pahang, jauh arah selatan, melewati
Terengganu. Akhirnya dapat tiket untuk berangkat pukul 9.30 malam dengan bis
Utama Ekspres, warna kuning. Harga tiketnya RM32. Dapat tiket ke Kuantan ini
belakangan. Tadinya saya kira betul-betul tak ada bis lagi yang ke sana. Saya
sudah sempat pesan kamar di hotel Surya, dan yang ada dengan harga RM122.
Inilah ”titip tas” yang paling mahal yang pernah saya alami, karena pukul 9
malam saya sudah check out dari hotel. Po ra dhelek-dhelek?
Suasana tengah kota.
Ini negeri Islam: papan iklan menggunakan huruf Jawi.
Pejabat jualan? Maksudnya, "kantor pemasaran".
/Hari ke-9, Kuantan,
Pahang, Selasa, 27 Januari 2009/
Sampai di Kuantan belum
subuh. Di bis tadi, sebelah saya duduk, adalah anak muda dari kota ini, namanya
Syed Muhammad Syafiee, dari golongan sayyid, keturunan Nabi. Ia mencarikan
hotel, dengan jalan kaki, di pagi-pagi buta itu. Hotel yang ada di dekat
terminal ternyata penuh, dan kami berjalan cukup jauh. Akhirnya kami dapat hotel
dekat dengan Sungai Kuantan, nggak jauh dari Masjid Agung Kelantan. Ketika kami
datang, penjaga hotelnya masih tidur nyenyak. Kami bangunkan dengan memencet
bel, yang ternyata bunyinya keras sekali. Dia kaget, kriyip-kriyip, dan
ucek-ucek mata. Kasihan, wong tidur nyenyak-nyenyak kok dibangunan! Per
malam hanya RM50, tapi di lantai 3, sehingga nggotong kopernya tolong, abote
pol! [Hotel murah begini ya tentu nggak pakai lift-lah ...]
[Sampai di sini catatan
berhenti, tidak selesai, dan mungkin tidak akan pernah selesai, karena sudah
lupa ceritanya... Dari Pahang saya melanjutkan perjalanan ke Shah Alam, lalu ke Melaka, kota tua abad ke-16 yang tidak pernah sepi dari turis. Masih ada banyak foto, mungkin suatu saat bisa saya bagi.]
***
[Oh, membaca kisah ini di facebook, ada seorang kawan dari Malaysia, Zahamri, yang menambahkan. Saya ketemu dia di Yayasan Restu, Shah Alam, kira-kira setengah jam dari KL. Pada waktu itu dia bekerja di sini. Saya copy apa adanya. Terima
kasih Zam!]
Bagus catatannya pak.
Bisa ku sambung catatan itu pak:
---
"Setelah selesai
di Pahang, saya langsung kembali ke KL. Pagi esoknya saya langsung ke Yayasan
Restu di Shah Alam. Sebuah pusat penyalinan al-Qur'an dan kaligrafi di
Malaysia. Sedang di mundar-mandir di Yayasan Restu itu, saya langsung masuk ke
dalam sebuah bilik kuliah di situ. Kelihatan oleh saya ada kuliah sedang
berjalan yang dikendalikan oleh seorang anak muda. Di situ rupanya ada
ditawarkan kursus kaligrafi dan menyalin mushaf. Lalu anak muda itu yang
keheranan melihat seorang lelaki mundar mandir lantas bertanya... "Tuan
mahu ke mana dan dari mana?" dibalas, "Saya Ali Akbar dari
Jakarta". Anak muda kelihatan seperti berfikir keras cuba mengingat
sesuatu. Lantas dia berkata... "Ooh, ini Pak Ali Akbar peneliti seni
mushaf itu?"... Ternyata dia telah kenal diriku lewat tulisan-tulisan ku.
Rupa-rupanya dia bercita-cita menjadi peneliti mushaf juga...
Anak muda itu lantas
menyuruh pelajar2nya melanjutkan tugasan masing-masing. Dia lantas membawa ku
melawat ruang-ruang pameran di Yayasan Restu dan mengenalkan kepada
penulis-penulis khat di situ. Katanya projek Al-Qur'an Mushaf Malaysia yang
dilaksanakan di sini terinspirasi dari Al-Qur'an Mushaf Istiqlal dan Pak Mahmud
Buchari (al-Marhum) adalah orang yang berjasa memberikan tunjuk ajar kepada
mereka. Setelah selesai di Yayasan Restu, dia membawa saya ke Muzium Negeri
Selangor. Di sana ada sebuah galeri antik (Pohon Budi Gallery) yang menempatkan
banyak koleksi artifak kuno. Aku dapat berbicara dengan pemiliknya Encik
Ridzuan dan dapat memotret beberapa mushaf kuno koleksi beliau. Setelah itu aku
dihantar anak muda itu ke stasiun lalu kembali semula ke KL."
----
Sekian catatan tambahan
oleh saya. Itulah kisah pertama kali saya bertemu Pak Ali Akbar. Kenangan yang
takkan ku lupakan... :)
***
Bahasa Malaysia yang beda dengan
bahasa kita:
adik-beradik = kakak
beradik
awam = umum
bagi = untuk
balik = kembali
bandar = kota
bila = kapan
boleh = dapat
bual = bicara
dadah = narkoba
daripada = dari
(daripada indon? = dari indonesia?)
disokong = didukung
ibu pejabat = kantor
pusat
kerajaan = pemerintahan
kraftangan = kerajinan
tangan
masa = waktu
motosikal = sepeda
motor
papan kenyataan = papan
informasi
pejabat = kantor
peniaga = pedagang
percuma = cuma-cuma
(gratis)
sampena = dalam rangka
semasa = kontemporer =
saat ini
senang = nyaman,
kepenak
te o ais = es teh manis
(o = kosong; tidak pakai susu)
tengok = lihat
terbabit =
tersebut
talipon bimbit =
telepon genggam
anak istimewa = anak cacat
warga emas = manula (manusia lanjut
usia)
(Pada dua kata terakhir itu kelihatan kita agak ngawur ya?)
(Pada dua kata terakhir itu kelihatan kita agak ngawur ya?)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar