Pencetakan Mushaf Al-Qur’an
di Indonesia
Artikel ini pernah dimuat di Jurnal Suhuf, Vol.4 No.2, 2011, hlm. 271-287. File pdf bisa diunduh di http://academia.edu/2637901/Pencetakan_Mushaf_Al-Quran_di_Indonesia. Untuk pengutipan, sebaiknya mengacu pada terbitan di Jurnal Suhuf itu.
Ali Akbar
Bayt Al-Qur’an & Museum Istiqlal,
Jakarta
Tulisan
ini menguraikan perkembangan pencetakan mushaf Al-Qur’an di Indonesia sejak masa
awal pertumbuhannya pada pertengahan abad ke-19 hingga dewasa ini. Tulisan ini
juga membahas pengaruh mushaf Al-Qur’an cetakan India dan Turki dalam masa awal
pencetakan mushaf di Indonesia. Sejumlah penerbit mushaf yang berperan pada
masa itu, demikian pula dalam perkembangannya hingga dewasa ini, digambarkan
dengan ringkas. Sementara, bagian akhir tulisan ini membahas perkembangan
kreatif dalam industri penerbitan mushaf Al-Qur’an di Indonesia.
Kata kunci: mushaf Al-Qur’an, cetakan,
Indonesia.
This article outlines the development of the printing
of the Qur’an in Indonesia from its advent in the middle of 19th
century to the present. It also traces
the influence of printed Qur’ans from India
and Turkey on the early period of Qur’anic printing in Indonesia,
and gives brief descriptions of some
publishers of the Qur’an throughout the period in question. The last section
analyses recent creative developments in the Qur’an publishing industry in Indonesia.
Pendahuluan
Tulisan ini ingin memberikan gambaran ringkas
perkembangan industri pencetakan mushaf Al-Qur’an di Indonesia. Selama lebih
dari 160 tahun perkembangannya hingga dewasa ini, banyak hal-hal menarik untuk dikaji,
baik aspek kesejarahan, teks, maupun visualnya. Pemahaman akan perkembangan
pencetakan mushaf sejak masa awal akan memperjelas pemahaman kita tentang
keberadaan mushaf di Indonesia dewasa ini. Di sini, kesinambungan mata rantai
sejarah mushaf menjadi penting.
Di Nusantara, mushaf Al-Qur’an cetakan
tertua berasal dari Palembang, hasil cetak batu (litografi) Haji Muhammad
Azhari bin Kemas Haji Abdullah, selesai dicetak pada 21 Ramadan 1264 (21 Agustus 1848).
Sejauh yang diketahui hingga kini, inilah mushaf
cetakan tertua di Asia Tenggara.[1]
Tinggalan yang diketahui sampai saat ini hanya ada pada koleksi Abd Azim Amin,
Palembang (Gambar 1).
Mushaf cetakan Azhari lainnya, dengan tahun yang lebih
muda, selesai dicetak pada Senin, 14 Zulqa’dah 1270 H (7 Agustus 1854) di
Kampung Pedatu’an, Palembang. Von de Wall, seorang kolektor naskah abad ke-19,
pernah membuat catatan lengkap mengenai mushaf ini atas permintaan Residen
Belanda di Palembang yang dimuat dalam TBG
1857. Berdasarkan catatan itu, mushaf cetakan tahun 1854 kemungkinan kini ada dalam
koleksi Perpustakaan Nasional RI Jakarta.[2]
Dengan adanya cetakan mushaf tahun 1854 itu, dapat diketahui bahwa percetakan
milik Azhari, paling kurang, produktif dalam masa tujuh tahun (1848-1854).
Meskipun demikian, luasnya peredaran mushaf hasil cetakan Azhari tidak
diketahui dengan pasti, karena langkanya bukti.
Gambar 1. Mushaf cetakan Muhammad
Azhari
Palembang,
1848.
Sementara itu, berdasarkan bukti-bukti yang ada, pada
akhir abad ke-19 mushaf yang beredar secara luas adalah cetakan Singapura (Gambar
2) dan Bombay (disebut pula Mumbay, India) (Gambar 3). Bukti luasnya peredaran
mushaf cetakan Singapura ditemukan di Palembang, Jakarta, Surakarta, Bali,
Palu, Maluku, dan Johor. Sedangkan luasnya peredaran mushaf cetakan Bombay
terdapat di Palembang, Demak, Madura, Lombok, Bima, dan Filipina Selatan.
Bombay, kota di pantai barat India, sejak akhir abad ke-19 memang merupakan
pusat percetakan buku-buku keagamaan yang diedarkan secara luas ke kawasan Asia
Tenggara.
Gambar 3. Mushaf cetakan Bombay berhuruf tebal, beredar di Nusantara sejak akhir abad ke-19.
Dengan demikian tidak mengherankan jika tradisi cetak
mushaf di kawasan ini, pada masa selanjutnya, dimulai dengan mereproduksi
mushaf cetakan di India itu.[3]
Penerbit Sulaiman Mar’i yang berpusat di Singapura dan Penang, selama
bertahun-tahun sejak sekitar tahun 1930-an ketika memulai usahanya, hanya
mereproduksi mushaf cetakan Bombay. Itu terlihat dari ciri hurufnya yang tebal.
Sebenarnya ada beberapa gaya tulisan mushaf India yang digunakan untuk menulis
Al-Qur’an – meskipun kesemuanya ada kemiripan – namun mushaf yang paling banyak
dicetak adalah mushaf dengan gaya tulisan dan harakat tebal, yang kemudian
sering disebut sebagai “Al-Qur’an Bombay”.
Beberapa jenis mushaf berhuruf tebal itu selama puluhan
tahun digunakan oleh masyarakat Asia Tenggara, terutama hingga tahun 1970-an.
Sebagian penerbit juga masih mencetak mushaf jenis ini hingga sekarang – di
samping mencetak mushaf dengan jenis huruf yang lain, karena semakin banyak
pilihan jenis huruf yang bisa digunakan para penerbit. Para penerbit biasanya
menggunakan teks mushaf India itu sebagai teks pokok, sementara untuk teks
tambahan di bagian depan dan belakang mushaf bervariasi, bergantung pada
pilihan penerbit. Teks tambahan berupa keutamaan membaca Al-Qur’an, makhārij al-¥uruf, tajwid, doa khatam Al-Qur’an, daftar surah dan juz,
dan lain-lain, biasanya ditulis oleh para khattat Indonesia.
Jenis mushaf lain yang sebelumnya juga beredar dan digunakan
di kawasan Asia Tenggara adalah cetakan Turki (Gambar 4) dan Mesir – meski
dalam jumlah yang lebih sedikit, karena kebanyakan hanya dibawa oleh jamaah
haji yang pulang dari tanah suci. Jenis mushaf ini pada masa selanjutnya juga
dicetak di Indonesia selama puluhan tahun. Turki memiliki tradisi kaligrafi
yang sangat indah, terkenal sejak awal abad ke-16. Tradisi kaligrafi itu
tercermin nyata dalam mushaf yang ditulis oleh para ahli kaligrafi Kesultanan
Turki Usmani. Berbeda dengan mushaf dari India yang menggunakan rasm usmani, mushaf dari Turki selalu
ditulis dengan rasm imla’i dan
menggunakan model ‘ayat pojok’ (setiap halaman selesai dengan akhir ayat).
Mushaf jenis ini biasanya digunakan para hafiz untuk menghafal Al-Qur’an,
karena lebih memudahkan mereka dalam pembagian tahap-tahap hafalan.
Satu-satunya penerbit yang secara tekun mencetak mushaf ini adalah Penerbit
Menara Kudus.
Pentashihan dan Lahirnya Mushaf Standar Indonesia
Terkait dengan upaya memelihara kemurnian, kesucian,
dan kemuliaan Al-Qur’an, lembaga yang secara resmi mempunyai tugas memeriksa
kesahihan suatu mushaf, yaitu Lajnah Pentashih Mushaf Al-Qur’an (sejak 2007 bernama
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an). Lajnah secara kelembagaan dibentuk pada 1
Oktober 1959 berdasarkan Peraturan Menteri Muda Agama No. 11 Tahun 1959.
Keberadaan Lajnah untuk melaksanakan tugas pentashihan mushaf diperkuat lagi
dengan Keputusan Menteri Agama No. 1 Tahun 1982 yang menyatakan bahwa
tugas-tugas Lajnah, yaitu (1) meneliti dan menjaga kemurnian mushaf Al-Qur’an,
rekaman, bacaan, terjemahan, dan tafsir Al-Qur’an secara preventif dan
represif; (2) mempelajari dan meneliti kebenaran mushaf Al-Qur’an bagi orang
biasa (awas) dan bagi tunanetra (Al-Qur’an Braille), rekaman bacaan Al-Qur’an
dalam kaset, piringan hitam, dan penemuan elektronik lainnya yang beredar di
Indonesia; dan (3) menyetop pengedaran mushaf yang belum ditashih oleh Lajnah.
Untuk memperlancar tugas pentashihan yang dilakukan
oleh Lajnah, terbit Surat Keputusan Menteri Agama Nomor 25 Tahun 1984 tentang
Penetapan Mushaf Standar. Mushaf Standar merupakan acuan bagi para anggota Lajnah untuk menjalankan tugasnya. Ada tiga
jenis Mushaf Standar yang secara resmi menjadi pedoman kerja bagi Lajnah – dan
dengan demikian secara resmi dapat diterbitkan dan diedarkan di Indonesia.
Pertama, Mushaf Al-Qur’an Rasm Usmani. Penetapan mushaf ini
berdasarkan mushaf cetakan Bombay (Gambar 3), karena model tanda baca dan
hurufnya telah dikenal luas oleh umat Islam di Indonesia sejak puluhan tahun sebelumnya
– bahkan jika dihitung sejak awal peredarannya di Nusantara telah mencapai satu
abad lebih. Kedua, Mushaf Al-Qur’an
“Bahriyah”[4]
yang cenderung memiliki rasm ilma’i. Mushaf ini modelnya diambil dari
mushaf cetakan Turki yang kaligrafinya sangat indah (Gambar 4). Jenis mushaf
ini juga telah digunakan secara luas oleh umat Islam di Indonesia, khususnya di
kalangan para penghafal Al-Qur’an, dengan ciri setiap halaman diakhiri dengan
akhir ayat. Ketiga, Mushaf Al-Qur’an
Braille, yaitu mushaf bagi para tunanetra. Mushaf ini menggunakan huruf Braille
Arab sebagaimana diputuskan oleh Konferensi Internasional Unesco Tahun 1951,
yaitu al-Kitabah al-Arabiyyah an-Nafirah.
Dalam penulisannya, jenis mushaf ini menggunakan prinsip-prinsip rasm usmani dalam batas-batas tertentu
yang bisa dilakukan.
Untuk kepentingan umat Islam di Indonesia, Mushaf
Al-Qur’an Rasm Usmani dan Mushaf Al-Qur’an “Bahriyah” kemudian ditulis oleh
putra Indonesia. Mushaf dengan rasm
usmani ditulis oleh khattat Ustaz
Muhammad Syadali Sa’ad, dan mushaf “Bahriyah” ditulis oleh Ustaz Abdur-Razaq
Muhili, tahun 1984-1989. Mushaf dengan rasm
usmani telah mengalami penulisan ulang oleh Ustaz Baiquni Yasin dan timnya,
pada tahun 1999-2001. Sedangkan mushaf Bralille diterbitkan dan diproduksi, di
antaranya oleh Koperasi Karyawan Abiyoso, Bandung.
Perkembangan
Penerbitan Mushaf
Generasi pertama pencetak mushaf
Al-Qur’an di Indonesia adalah Abdullah bin Afif Cirebon (yang telah memulai
usahanya sejak tahun 1930-an bersamaan dengan Sulaiman Mar’i yang berpusat di Singapura
dan Penang), Salim bin Sa’ad Nabhan Surabaya (Gambar 7), dan Percetakan
Al-Islamiyah Bukittinggi (Gambar 5). Usaha bidang ini kemudian disusul oleh Penerbit
Al-Ma’arif Bandung yang didirikan oleh Muhammad bin Umar Bahartha pada tahun
1948 (Gambar 6).[5]
Mereka tidak hanya mencetak Al-Qur’an, namun juga buku-buku keagamaan lain yang
banyak dipakai umat Islam.
Gambar 6. Mushaf cetakan Penerbit Al-Ma’arif, Bandung,
tahun 1950-an.
Pada tahun 1950-an penerbit mushaf di antaranya adalah
Sinar Kebudayaan Islam dan Bir & Company. Penerbit Sinar Kebudayaan Islam
menerbitkan mushaf pada tahun 1951. Bir & Co mencetak sebuah mushaf dengan
tanda tashih dari Jam’iyyah al-Qurrā’ wal-¦uffā§ (perkumpulan para pembaca dan penghafal Al-Qur’an)
tertanggal 18 April 1956. Pada tahun 1960-an Penerbit Toha Putra Semarang
memulai kegiatan yang sama, lalu disusul Penerbit Menara Kudus. Penerbit
lainnya pada sekitar periode ini adalah Tintamas, dan beberapa penerbit kecil
lainnya.
Sampai dengan dasawarsa 1970-an dan 1980-an sejumlah
penerbit di atas masih merupakan “pemain utama” dalam produksi mushaf di
Indonesia. Pada periode tersebut muncul sejumlah penerbit mushaf baru, di
antaranya, Firma Sumatra, CV Diponegoro, CV Sinar Baru, CV Lubuk Agung, CV
Angkasa, CV Al-Hikmah (Bandung); CV Wicaksana, CV Al-Alwah (Semarang); CV Bina
Ilmu (Surabaya); CV Intermasa (Jakarta), serta beberapa penerbit kecil lainnya.
Jenis mushaf yang dicetak, hingga dasawarsa tersebut, adalah mushaf asal Bombay yang berciri
huruf tebal, dengan tambahan “muatan lokal” berupa tajwid, keutamaan membaca
Al-Qur’an, daftar surah, dan lain-lain, dalam tulisan Jawi (huruf Arab-Melayu).
Teks tambahan tersebut terdapat di bagian awal atau akhir mushaf yang ditulis
oleh ahli kaligrafi tempatan, sehingga perbedaan kaligrafinya terlihat sangat
kontras.
Pada dasawarsa 1990-an muncul sejumlah penerbit mushaf
yang baru, yaitu PT Al-Amin, PT Inamen Jaya, PT Mutiara, PT Sugih Jaya Lestari,
PT Tehazet, CV Doa Ibu, CV Pustaka Amani, PT Zikrul Hakim (Jakarta); CV
Jumanatul Ali, CV Sugih Jaya Mukti, CV Sriwijaya, Yayasan Pustaka Fitri
(Bandung); CV Asy-Syifa, CV Aneka Ilmu, CV Hilal, PT Tanjung Mas Inti CV Istana
Karya Mulya, CV Kumudasmoro, PT Salam Setia Budi (Semarang); CV Karya Abadi
Tama, CV Duta Ilmu, CV Al-Hidayah, CV Delta Adiguna, CV Aisyiyah, UD Mekar, CV
Terbit Terang, dan CV Ramsa Putra (Surabaya).
Pada dasawarsa 2000-an beberapa penerbit mushaf baru
di antaranya, Penerbit Serambi, PT Pena Pundi Aksara, CV Maghfiroh, PT Lautan
Lestari, PT Cicero, PT Gema Insani Press, CV Cahaya Qur’an, CV Darus Sunnah, CV
Pustaka Al-Kautsar (Jakarta); PT Syamil (sekarang Sygma Eksamedia Arkanleema),
Penerbit Mizan, CV Fajar Utama Madani, CV Mi’raj Hasanah Ilmu, CV Jabal
Raudhatul Jannah, CV Salamadani (Bandung); CV Karya Putra, PT Masscom Graphy
(Semarang); PT Tiga Serangkai, Komari Publishing, CV Era Adicitra (Surakarta);
CV Sahara, CV Barokah Putra, CV Kartika Indah, dan CV Assalam
(Surabaya).
Terakhir, mengawali dasawarsa 2010, penerbit baru yang
muncul, yaitu Penerbit Kalim, PT Lentera Abadi, CV Bayan Qur’an, Pustaka Jaya
Ilmu, Cahaya Intan, PT Juara Persada, Wahyu Media, CV Cahaya Robbani Press, PT
Let’s Go (Jakarta); CV Fokus Merdia, CV Nawa Utama (Bandung); Penerbit Djaja Diva,
Pinus Book Publisher (Yogyakarta); CV Karya Semesta (Salatiga); Penerbit Duta
Surya, dan CV Imam (Surabaya).
Sejak dasawarsa 2000-an, beberapa penerbit yang semula
hanya menerbitkan buku keagamaan – dan mereka telah sukses di bidangnya – mulai
tertarik untuk menerbitkan mushaf, yaitu Penerbit Mizan, Syamil, Serambi, Gema
Insani Press, dan Pustaka Al-Kautsar. Bahkan sebagian lain semula merupakan
penerbit buku umum yang telah sukses, yaitu Tiga Serangkai, Cicero, dan Masscom
Graphy.
Selepas krisis ekonomi Indonesia tahun 1998, dan
sejalan dengan selera masyarakat yang semakin tinggi dalam hal desain buku,
serta didukung teknologi komputer yang semakin canggih, tampilan mushaf
Al-Qur’an terus-menerus dibenahi para penerbit. Besarnya “kue” pasar mushaf di
Indonesia, dengan 200 juta lebih umat Islam, tentu sangat menggiurkan, dan
menarik para penerbit untuk ikut merebut pasar. Pangsa pasar mushaf itu pun ke
depan akan tumbuh terus, sejalan dengan semakin meningkatnya kesadaran keagamaan umat seperti tercermin dari ramainya majelis-majelis
taklim dan majelis zikir yang dihadiri berbagai lapisan umat Islam.
Mushaf Generasi Baru
Para penerbit mushaf dasawarsa 1980-an, setelah
terbitnya Mushaf Standar, hingga awal dasawarsa 2000-an, pada umumnya masih
meneruskan tradisi lama dalam produksi mushaf. Mereka kebanyakan hanya mencetak
Al-Qur’an Bombay (yang telah distandarkan), Mushaf Standar itu sendiri, atau
Al-Qur’an “Bahriyah” model sudut. Sampai sejauh itu tidak ada inovasi yang
berarti baik dalam tampilan maupun komposisi isi mushaf. Dalam hal desain
kulit, misalnya, pada umumnya hanya menampilkan pola simetris dalam bentuk
dekorasi persegi yang berisi ragam hias floral, dengan tulisan “Qur’an Majid”,
“Qur’an Karim”, atau “al-Qur’an al-Karim” berbentuk bulat di dalam medalion yang terletak di posisi tengah.
Warna yang digunakan pun adalah warna-warna dasar seperti merah, hijau, biru,
coklat, kuning, dan emas.
Era baru dalam produksi mushaf muncul sejak awal
dasawarsa 2000-an, ketika teknologi komputer semakin maju, dan dimanfaatkan dengan baik oleh para penerbit. Perubahan itu, pertama, sangat
mencolok dalam hal kaligrafi teks mushaf. Sejak awal dasawarsa itu, hingga
sekarang, para penerbit pada umumnya memodifikasi kaligrafi Mushaf Madinah yang
ditulis oleh khattat Usman Taha.
Mushaf Madinah dicetak oleh Mujamma’
al-Malik Fahd li-Tiba’at al-Mushaf asy-Syarif yang bermarkas di Madinah.
Tulisan karya kaligrafer asal Syria itu memang terkenal cantik, dengan
keindahan anatomi huruf yang hampir tanpa cela. Ejaan huruf Mushaf Madinah yang
tidak sama dengan Mushaf Standar Indonesia disesuaikan oleh para penerbit
dengan program komputer tertentu. Memang membutuhkan waktu yang lama dan
ketekunan yang ekstra untuk menyesuaikan ejaan dan tanda baca satu per satu.
Namun keindahan hurufnya sangat diminati masyarakat, sehingga mushaf dengan
huruf yang tipis itu ditunggu masyarakat.
Penerbit mushaf pertama yang memodifikasi kaligrafi
Usman Taha adalah Penerbit Diponegoro, Bandung. Setelah itu, selama
bertahun-tahun hingga sekarang, banyak sekali penerbit yang memodifikasi
kaligrafi tersebut. Bahkan, para penerbit pendatang baru, hampir semuanya
menggunakan kaligrafi model itu. Hal ini akhirnya menimbulkan kesan monoton
dalam huruf Al-Qur’an di Indonesia pada masa belakangan ini, seakan-akan tidak
ada kemajuan dalam hal tulisannya. Sebenarnya, jika para penerbit bisa
mengembangkan kaligrafi Al-Qur’an sendiri itu lebih baik, dan tentu saja lebih “terpuji”
daripada sekadar memodifikasi tulisan orang lain. Toh di Indonesia sudah banyak
kaligrafer muda berbakat yang siap bekerja sama. Namun, menulis satu buah
mushaf utuh memang membutuhkan waktu lama dan tentu saja dana yang tidak kecil.
Barangkali pertimbangan praktis terakhir inilah yang membuat para penerbit berpikir
dua kali, dan mengambil jalan pintas.
Terkait dengan teks Al-Qur’an, sebagian penerbit juga
berkreasi dengan memberi warna khusus, tidak hanya kata “Allah” atau “rabb”, tetapi pengeblokan ayat-ayat
tertentu. Misalnya, ayat-ayat yang berisi doa, ayat sajdah, dan ayat-ayat
tentang perempuan. Sebuah penerbit di Bandung mengeblok ayat-ayat khusus
tentang perempuan dengan warna ungu (Gambar 9b), sementara penerbit lainnya
memberi warna merah.
Pewarnaan pada teks Al-Qur’an juga dilakukan terkait
dengan tajwid. Dengan maksud menuntun para pembaca Al-Qur’an yang masih awam
ilmu tajwid, sebagian penerbit memberi warna tertentu terkait hukum bacaan
dalam ilmu tajwid. Pewarnaan itu dimaksudkan sebagai kode, agar pembaca
senantiasa ingat hukum bacaan tertentu dengan melihat kode warna itu. Teknik
pewarnaannya ada yang menggunakan blok, arsir, atau warna hurufnya sendiri.
Perubahan lainnya adalah dalam tampilan kulit (cover) mushaf. Para penerbit mushaf era
baru tampaknya tidak mau terikat dengan “konvensi” desain kulit mushaf yang selama
ini seakan-akan hanya berbentuk persegi. Para penerbit mengeksplorasi
bentuk-bentuk baru, ragam hias dan komposisi baru, sehingga kadang-kadang
mengesankan suatu mushaf dengan desain yang asing. Warna yang digunakan pun
tidak kaku lagi, dengan menggunakan warna-warna cerah, dan disempurnakan dengan
lapisan plastik dan vernis yang semakin menambah mewah. Sebagian mushaf juga
menggunakan warna tertentu, disesuaikan dengan sasaran pasar yang dituju. Kulit
sebuah mushaf dan terjemahannya dengan sasaran pasar perempuan diberi warna
ungu, dan ditulis “Al-Qur’anulkarim
Special for Woman” dengan bordir (Gambar 9a).
Gambar 9a, 9b. Al-Qur’anulkarim
Special for Woman dengan kulit bordir dan rumbai-rumbai pembatas bacaan (atas), dan
arsir ungu pada ayat-ayat kewanitaan (bawah.
Bahan cover
mushaf yang digunakan para penerbit juga sangat diperhitungkan. Sebuah mushaf
yang ditujukan untuk mahar pernikahan (maskawin) – demikian sebuah penerbit
mengiklankan mushafnya – cover-nya
dibuat dari kulit yang sangat mewah. Tema back
to nature pun dimanfaatkan penerbit mushaf. Penerbit Diponegoro Bandung
berkreasi cukup unik, dengan menempelkan jenis daun dan biji-bijian tertentu di
kulit mushaf produksinya. Ragam hias
yang digunakan pun beragam, tidak lagi terpaku pada ragam hias gaya Timur
Tengah, namun sebagian penerbit menggali ragam hias khas Nusantara. Penerbit Mizan
Bandung secara konsisten menggali ragam hias Nusantara itu untuk beberapa seri
produknya.
Gambar 10a, 10b, 10c. Ragam model kulit mushaf: Al-Qur’an Tiga Bahasa (paling atas) dan Al-Qur’anul Karim Edisi Do’a (tengah) dengan konsep desain kulit mushaf baru, dan kulit mushaf
dengan bordir.
Perubahan pada tampilan Al-Qur’an memang tampak lebih
“seru” pada mushaf Al-Qur’an yang disertai terjemahan. Barangkali, dengan asumsi bahwa Al-Qur’an dan terjemahannya itu adalah
“setengah buku”, maka tampilan jenis Al-Qur’an ini lebih banyak ragamnya, dan
agak “bebas”. Para penerbit tampak tidak ragu-ragu untuk menawarkan kelebihan
produknya dibanding produk sejenis dari penerbit lainnya. Mereka berlomba-lomba
mengasah kreativitas, baik dalam hal cover,
isi, maupun kelengkapan teks tambahannya. Para pembaca semakin dimanjakan
dengan berbagai tawaran manis yang diajukan penerbit.
Kelengkapan teks tambahan dalam Al-Qur’an dan
terjemahannya sangat bervariasi. Misalnya, daftar isi, indeks, pedoman transliterasi Arab-Latin, petunjuk penggunaan, uraian makhraj huruf, tajwid, waqaf, ayat-ayat sajdah, daftar surah dan
juz, doa ma’surat, transliterasi latin,
terjemahan per kata (lafziyah), dan
lain-lain. Demikian banyak ragamnya, sehingga ada penerbit yang merasa perlu mencantumkan
Surat Pendaftaran Ciptaan dari pemerintah sebagai perlindungan hukum atas ciptaannya. Kelengkapan ‘asesoris’ lainnya
adalah pita dan kartu pembatas baca (Gambar 15), kotak pelindung, serta kancing
atau resleting agar mushaf lebih aman.
Beberapa penerbit membuat seri terbitan dengan ciri
tertentu dan membedakannya dengan nama-nama Allah dalam Asma’ul Husna. Untuk
membedakan pangsa pasar, ada pula penerbit yang membuat seri produk mushafnya
dengan bahasa asing: masculine, feminine,
teenage, classic, glamour, dan minimalist
series.
Untuk menarik minat anak-anak, beberapa penerbit juga
membuat Al-Qur’an dan terjemahannya dengan ilustrasi dan warna yang khas
anak-anak, misalnya bentuk balon, bulan sabit, bintang, awan, atau
lengkungan-lengkungan semacam pelangi. Penerbit Mizan menerbitkan I Love My Qur’an, sebuah edisi Al-Qur’an
dan terjemahannya dalam satu set, dengan ilustrasi yang unik dan lengkap untuk
anak-anak. Ilustrasi itu dimuat dalam jilid terpisah dari teks Al-Qur’annya
(Gambar 11a, 11b). Beberapa penerbit juga memberi ilustrasi khas anak-anak pada
Juz Amma (juz ke-30).
Gambar 11a, 11b. I Love My Qur’an terbitan Mizan. Ilustrasi
dimuat dalam halaman terjemahan, sementara teks Al-Qur’an dibuat dalam jilidan
terpisah.
Gambar 12a, 12b. Al-Qur’anulkarim for Kids
terbitan Syamil (kiri), dan Al-Qur’anul Karim dan terjemahan Edisi Anak terbitan Salam Madani (kanan).
Gambar 13,a, 13b, 13c. Ragam pilihan Juz Amma untuk
anak-anak terbitan Gema Insani Press.
Gambar 14 a, 14b. My First Al-Qur’an (disingkat MyFA) dengan potongan jilid melengkung yang unik.
Gambar 15. Al-Qur’an dan terjemahannya dengan
ilustrasi yang cenderung non-figuratif.
Sebagian penerbit juga melengkapi Al-Qur’an dan
terjemahannya dengan asbabun nuzul,
tafsir ringkas, hadis keutamaan surah tertentu, dan lain-lain. Terjemahan dalam
bahasa Inggris juga diperkenalkan oleh sebagian penerbit. Di samping itu,
kegemaran (atau kegenitan?) kita menggunakan bahasa Inggris sepotong-sepotong
dalam dunia pemasaran dan media massa juga dimanfaatkan oleh penerbit mushaf
dan terjemahannya, baik untuk nama seri, judul kecil, maupun judul produk.
Sebuah judul yang belum lama ini terbit, misalnya Miracle: The Reference, terbitan Syamil. Sementara, produk
sejenis yang ditujukan untuk anak-anak diberi judul My First Al-Qur’an (disingkat MyFA),
dengan “12 keunggulan yang bikin fun”
(demikian dalam iklannya) (Gambar 14a, 14b).
Para penerbit terus berinovasi dan ‘bersaing’ dalam
menawarkan keunggulan produknya. Jika beberapa waktu sebelumnya ada produk
mushaf dan terjemahannya dengan “7 in 1”, belakangan tidak tanggung-tanggung
ada yang “22 in 1”. Keunggulan yang ditawarkan mencakup, di antaranya,
terjemahan tafsiriyah, kata kunci (key word),
kosakata, tajwid, hadis sahih, tafsir Ibn Kasir, tafsir at-Tabari, asbabun nuzul, khazanah pengetahuan, dan
lain-lain, sampai 22 butir.
Penutup
Melihat ‘gegap gempita’-nya produksi mushaf Al-Qur’an
(dan terjemahannya) di Tanah Air, demikian pula sambutan masyarakat dewasa ini,
tak pelak, mushaf adalah sebuah ‘industri’ baru yang menjanjikan. Di samping
itu, melihat kayanya inovasi dan kreativitas para penerbit mushaf baru di
Indonesia, barangkali tidak berlebihan jika dikatakan bahwa ragam produk mushaf
di Indonesia adalah termasuk yang paling kreatif. Tentu, semua usaha kreatif
itu adalah untuk para pembacanya agar tertarik untuk terus-menerus membaca dan
mengkaji Al-Qur’an.
Dari uraian singkat di atas kita juga bisa mencatat
bahwa perkembangan pencetakan mushaf Al-Qur’an di Indonesia merupakan respons
atas proses sejarah, yaitu antara kecanggihan teknologi – yang berbeda-beda
pada setiap masa – dan selera masyarakat pembacanya. Para penerbit mushaf, yang
berada di antara dua ‘sisi’ itu, dan memanfaatkannya, berusaha untuk memenuhi selera
masyarakat dengan baik – dan kelak nanti akan melengkapi “sejarah mushaf di
Indonesia”.[]
Daftar Pustaka
Badan
Penelitian dan Pengembangan Agama, Mengenal
Mushaf Al-Qur’an Standar Indonesia, Jakarta: Departemen Agama RI,
1984-1985.
Bruinessen,
Martin van, Kitab kuning, pesantren dan
tarekat: Tradisi-tradisi Islam di Indonesia, Bandung: Mizan, 1995.
Gallop,
Annabel Teh, “ Islamic manuscripts from the Philippines in U.S. Collections: a
preliminary listing, including two printed Qur’ans, http://www.oovrag.com/bibliography/bibliography13.shtml
Peeters, Jeroen, ”Palembang revisited: Further notes on the printing establishment of Kemas Haji
Muhammad Azhari, 1848”, International
Institute for Asian Studies (IIAS) Yearbook 1995, 1995, h. 181-190.
Proudfoot,
Ian, “Malay books printed in Bombay: a report on sources for historical
bibliography”, Kekal Abadi, 1994, 13
(3): 1-20.
Salim,
Erwin Y, “Gairah Penerbitan Al-Qur’an Indah”, Gatra, 7 September 2011.
Sudrajat,
Enang, “Perkembangan penerbitan dan problema pentashihan”, makalah pada
Lokakarya Penerbit Mushaf Al-Qur’an, Bekasi, 29-30 Maret 2011 (tidak terbit).
Yunardi, E Badri, “Sejarah Lahirnya Mushaf Standar
Indonesia”, Lektur, 2005, 3 (2):
279-300.
[1] Mushaf ini telah dikaji oleh Jeroen
Peeters, “Palembang Revisited: Further Notes on the Printing Establishment of
Kemas Haji Muhammad Azhari, 1848” dalam IIAS
Yearbook 1995, h. 181-190.
[2]
Mushaf cetakan
yang sama belum lama ini saya temukan di Masjid Dog Jumeneng, kompleks makam
Sunan Gunung Jati, Cirebon. Bagian depan mushaf sudah tidak lengkap, namun
bagian belakang masih lengkap, termasuk catatan kolofon.
[3] Lihat Martin
van Bruinessen, Kitab kuning, pesantren
dan tarekat: Tradisi-tradisi Islam di Indonesia, Bandung: Mizan, 1995, hlm.
136.
[4] “Bahriyah” adalah percetakan
milik Angkatan Laut Turki Usmani yang banyak mencetak buku-buku keagamaan, di samping mushaf Al-Qur’an.
ini menandakan Masyarakat Indonesia semakin kreatif . luar biasa
BalasHapusAssalamualaikum
BalasHapusSebelumnya maaf,benarkah ini cv. Karya Semesta Salatiga? Apabila benar, Mushaf saya ada kesalahan cetak pada Surah As-Syuaro ayat 52. Mohon apabila mencetak mushaf untuk diteliti kembali. Alkhamdukillahi jaza kumullahu khoiro