Jumat, 26 Oktober 2012

Alas Tulis: Kertas Eropa dan Dluwang

Pada umumnya, kertas/alas tulis yang digunakan untuk menyalin Qur'an di Nusantara adalah kertas Eropa. Disebut demikian karena dibuat di Eropa dan dipasarkan di Nusantara. Pada umumnya, kertas Eropa dibuat di Belanda, Inggris, dan Italia. Kertas Eropa mudah dicirikan, yaitu jika diterawang terdapat garis tebal (chain lines) berjarak sekitar 2,5 cm, dan garis tipis (laid lines) berjarak sekitar 1 mm. Secara fisik, kertas Eropa mirip dengan kertas merek Conqueror pada zaman sekarang.
        Kertas yang digunakan pada mushaf dari Langitan, Tuban, ini juga kertas Eropa. 
Gambar 1. Watermark (kiri) berupa gambar (kadang-kadang di bagian bawahnya disertai huruf),
dan 
countermark (kanan) berupa huruf, 
tertera “M SCHOUTEN & CO”.
        Kertas Eropa hampir selalu memiliki watermark dan countermark. Watermark (dalam bahasa Indonesia sering disebut “cap kertas” – bukan “cap air”) adalah tanda gambar yang berada di salah satu muka selembar kertas Eropa kosong kira-kira berukuran dobel folio. Biasanya berupa gambar, dan kadang-kadang disertai huruf (Gambar 1). Sedangkan countermark (cap tandingan) berada di halaman sebelahnya, berupa huruf, tanpa gambar (Gambar 2). Untuk mengidentifikasi kertas, menurut Dr Russell Jones – seorang ahli kertas Eropa di Nusantara – countermark lebih bermanfaat daripada watermark. Watermark banyak yang sama atau mirip, dan yang membedakan adalah countermark
        Qur'an dari Tuban ini tidak diketahui tahun berapa dibuat. Tidak ada kolofon (catatan naskah) dalam mushaf ini yang biasanya memberi petunjuk sejarah naskah. Dalam keadaan seperti itu, penelaahan terhadap kertas bisa memberi harapan. 
        Nah, menurut Russell Jones, kertas dengan watermark dan countermark "M SCHOUTEN & CO" yang digunakan mushaf ini berasal dari sekitar tahun 1800, atau sebelumnya. Russell menyatakan bahwa pada kertas-kertas Eropa yang dibuat sebelum tahun 1800 pada garis tebalnya (chain line) terdapat semacam bayangan (shadow). Kertas-kertas Eropa yang dibuat setelah tahun itu, atau katakanlah sejak sekitar 1820-an, tidak lagi memiliki bayangan pada garis tebalnya. Ini terjadi karena perubahan pada proses produksinya.            Menurut Russell, itu bisa menjadi petunjuk yang bermanfaat dalam melihat kertas Eropa. Banyak kodikolog yang agaknya belum mengetahui hal ini. Dalam kata-kata Russell Jones sendiri, "It is important to note that bayang[an] garis tebal (chain line shadows) are present in paper made before about 1800, but not after that date (or a bit later, say 1820). This is a very useful guide, many codicologists seem not to know this."
        Jadi, berdasarkan cap kertas di atas, dapat diperkirakan bahwa mushaf Qur'an ini disalin pada pengujung abad ke-18 atau awal abad ke-19. Naskah dari masa ini tergolong cukup tua, sebab kebanyakan mushaf kuno Nusantara berasal dari pertengahan abad ke-19. 
 
Gambar 2. Kertas dluwang dari serat kulit pohon mulberi.

Berbeda dengan kertas Eropa, dluwang dibuat dari kulit pohon (Gambar 3). Kertas Eropa dibuat dari bubur kertas, dan jika mengikuti definisi itu, maka sesungguhnya dluwang tidak bisa disebut kertas, karena prosesnya sangat berbeda, karena benar-benar dibuat hanya dari kulit pohon. Cara membuatnya dipuku-pukul, berbunyi dhok-dhok, dan oleh karena itu, di Jawa Timur juga disebut sebagai kertas gedhok. Nama Latin pohonnya adalah broussonetia papyrifera vent, atau paper mulberry dalam bahasa Inggris, yang dalam budaya lain sering dibuat tapa sebagai pakaian tradisional. Di Sunda disebut pohon saeh, semacam pohon waru di Jawa, yang memang mempunyai serat kuat pada kulitnya. (Proses pembuatannya insyaallah akan dimuat menyusul).
        Sebagian masyarakat tidak mengetahui dluwang, dan menyangkanya sebagai kulit binatang - kambing atau onta. Pada tahun 2009, ketika saya berkunjung ke sebuah museum di Kelantan, Malaysia, seorang petugas tergopoh-gopoh menunjukkan sebuah koleksi Qur'annya yang, kata dia, terbuat dari kulit onta. Begitu saya lihat, saya bisa pastikan itu adalah dluwang, dan Qur'an itu sangat mungkin berasal dari Jawa. Ada juga yang menyebut "kertas kapas", karena jika sudah lama dan lembab, serat-serat kulit kayu di bagian pinggir dluwang kadang-kadang terurai menjadi seperti kapas. Tetapi penyebutan "kertas kapas" tentu tidak tepat, karena tidak ada unsur serat kapas, dan sesungguhnya itu adalah serat kulit kayu, dan itulah dluwang (atau daluang dalam bahasa Sunda).
        Dalam mushaf dari Langitan ini, dluwang hanya digunakan untuk melapisi sampul bagian dalam (lihat http://quran-nusantara.blogspot.com/2012/10/bagaimana-quran-diproduksi.html). Sementara semua teks Qur'annya ditulis dengan kertas Eropa. Penggunaan dluwang untuk melapisi kulit mushaf bagian dalam karena dluwang memang lebih kuat dibandingkan kertas Eropa. Kertas Eropa dibuat dari bubur kertas, oleh karena itu cukup rawan sobek, sedangkan dluwang dibuat dari serat kulit kayu yang cukup kuat. Lapisan dluwang untuk sampul akan memperkuat mushaf ini, karena mushaf sering dibuka-tutup untuk dibaca pemiliknya. 

Artikel terkait:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar