Untuk menuju Pulau Sumbawa, dari Jakarta, tidak ada
penerbangan langsung. Pesawat mendarat di Mataram, dan perjalanan selanjutnya
menggunakan angkutan travel, berupa
minibus dengan 11 penumpang. Mobil yang saya tumpangi merapat di pelabuhan
menuju Sumbawa tepat waktu, beberapa saat sebelum pintu feri ditutup. Langit
masih menyisakan biru, sebelum pelan-pelan meredup jadi kemerahan. Para
penumpang travel semua turun dari mobil, menyebar entah ke mana. Saya sempat
meminta tolong kepada supir bahwa nanti saya dicarikan hotel di dekat “Istana
Tua” – suatu istilah yang baru saya tahu tadi ketika mencari tiket travel.
Istana Tua adalah sebutan untuk bekas istana Kerajaan Sumbawa.
Di feri, saya memilih tempat di
tingkat atas, di bagian depan, agar bisa melihat pemandangan dengan leluasa.
Saya kira perjalanan menyeberang ke Pulau Sumbawa hanya sebentar saja. Rupanya
memakan waktu cukup lama, dua jam, hingga lepas magrib. Gelap, dan
bintang-bintang mulai tampak bertebaran. Akhirnya feri merapat di Pulau Sumbawa
pada pukul tujuh malam. Dari pelabuhan, perjalanan masih sekitar dua jam lagi
untuk sampai Sumbawa Besar, ibu kota Kabupaten Sumbawa.
Sepanjang perjalanan dari Jakarta
tidak ada kesulitan apa pun, karena mobil travel mencarikan penginapan, dan
mengantar saya hingga pintu hotel. Alhamdulillah.
Esok paginya, meski terasa agak
capek, karena harus ‘mengirit waktu’, saya langsung bergerak. Sasaran pertama
adalah Istana Tua. Dahulu Sumbawa merupakan kerajaan yang cukup kuat,
berlangsung sekitar tiga abad, dan bekasnya masih terasa hingga kini (lihat
“Peninggalan Kesultanan Sumbawa”). Di istana tua rupanya tidak ada koleksi
apa-apa selain tandu dan sejumlah repro foto dari zaman Belanda. Oleh petugas
yang ada di situ saya diarahkan untuk ke Balla Kuning, kediaman Sultan. “Balla”
dalam bahasa Bugis berarti rumah. Benar saja, kediaman sultan itu berwarna
kuning, dengan arsitektur zaman Belanda yang masih terjaga. Namun Sultan
sendiri tidak berdiam di sini sehari-hari, dan rumah pusaka ini ditinggali oleh
keluarga kesultanan.
Qur’an kuno Sumbawa
Beruntung, di Balla Kuning saya
bisa bertemu dengan Bapak Lalu Khotot Purwa Priana. Ibunya, Hj. Nindo Siti
Rahayu adalah kakak dari Sultan Sumbawa saat ini (lihat “Sultan Sumbawa Kini”).
Tidak berbelit, setelah berkenalan, Pak Lalu Khotot segera menunjuki saya
sebuah Qur’an beriluminasi indah. “Qur’an ini belum lama dikonservasi di
Perpustakaan Nasional, Jakarta,” tutur Pak Khotot. Konservasi yang dimaksud
adalah dengan cara dilaminasi, yaitu dilapisi kertas khusus untuk melindungi
kertas aslinya yang sudah rapuh. Memang permukaan Qur’an menjadi agak buram,
tidak sejelas aslinya. Namun dengan konservasi, mushaf ini sekarang menjadi
lebih kuat dan bisa dibuka dengan leluasa.
Mushaf ini disalin tahun 1785 pada
masa Sultan Harun ar-Rasyid (memerintah 1777-1791). Ditulis oleh penyalin keturunan Bugis
bernama Muhammad bin Abdullah al-Jawi al-Bugisi – demikian ia menulis nama
dirinya (lihat “Tiga Kolofon Qur’an Sumbawa”). Tak pelak, memang mushaf beriluminasi
indah pada bagian awal, tengah, dan akhir ini mempunyai pengaruh Bugis
yang kuat, khususnya terlihat pada penulisan teks Qur’annya. Adapun dalam motif
ragam hiasnya, tampak berbeda dengan umumnya ragam hias Bugis.
Qur’an kuno Sumbawa kedua disalin
53 tahun kemudian oleh Abdurrahman bin Ayub bin Abdul Baqi as-Sumbawi, selesai pada
1838. Tidak seperti mushaf pertama yang ditulis oleh penyalin keturunan
Bugis, Qur’an kedua ini ditulis oleh penyalin tempatan, tampak dari gelarnya,
as-Sumbawi. Dari segi ciri penulisan teks, mushaf ini memang berbeda dengan
mushaf pertama. Uniknya, setiap kata pertama pada awal surah selalu ditulis
besar. Di samping itu, beberapa kata tertentu juga ditulis besar – sebagai
suatu penekanan tertentu – seperti kata Muhammad, Ahmad, allāhumma,
Bismillāh, salām, dan Surah al-Ikhlas. Model seperti ini sangat
jarang terjadi dalam penyalinan mushaf di dunia Islam. Mushaf yang ditulis
dengan rapi ini disimpan oleh Ibu Lala Mahtera, keluarga kesultanan di kompleks
Istana Dalam Loka. Disayangkan, halaman beriluminasi indah di awal mushaf kini telah
dilakban, sehingga dalam waktu beberapa tahun mendatang, akan merusak kondisi
mushaf.
Selain dua Qur’an di atas,
menurut penelusuran sebelumnya yang dilakukan oleh Ahmad Rahman dan Asep
Saefullah dari Puslitbang Lektur Keagamaan pada tahun 2005, di Balla Kuning juga
disimpan sebuah mushaf yang disalin di Mekah oleh Abdurrahman bin al-Marhum Musa
as-Sumbawi pada 1864, yaitu 26 tahun setelah mushaf yang kedua. Mushaf ini
cukup indah, membuktikan bahwa Tana Samawa pernah melahirkan para
penyalin mushaf yang hebat. Itu juga dibuktikan dengan dua mushaf lain yang
ditulis pada 1867 dan 1869 oleh Haji Muhammad bin al-Marhum Sulaiman as-Sumbawi
yang dicetak di Singapura.
Kenyataan bahwa mushaf yang ketiga
ini disalin di Mekah, membuktikan bahwa jaringan ulama Sumbawa dengan Timur
Tengah, pada paruh kedua abad ke-19, terjalin dengan baik. Bahkan tidak hanya
dalam hal keilmuan, menurut Pak Lalu Mahmud Abdul Majid, keluarga kesultanan,
dahulu Sumbawa juga mengirim kayu sepang, kayu manis, dan sarang burung walet
ke Tanah Suci. Di pihak lain, pada masa sebelumnya, jaringan dengan sesama
ulama Nusantara juga terjalin dengan baik, khususnya dengan ulama Bugis dari
Sulawesi Selatan. Hubungan itu memang tidak diragukan, sebab kontak budaya
antara keduanya telah terjadi selama ratusan tahun.
Terkunci di lemari
Beberapa hari di Sumbawa, hingga
hari terakhir, timbul rasa gêlo (Jawa: menyesal) yang mendalam karena
saya hanya menjumpai dua Qur’an kuno. Pak Lalu Mahmud memberi informasi bahwa
saudaranya, di Kampung Pekat, menyimpan sebuah Qur’an kuno. Namun saudaranya
itu tengah berkunjung ke Mataram, selama beberapa hari, sehingga tidak mungkin
saya menunggu lebih lama. Selain itu, sebenarnya di istana Balla Kuning juga terdapat
tiga Qur’an yang disimpan di sebuah lemari. Namun lemari itu terkunci, dan
tidak seorang pun tahu di mana kuncinya. Akhirnya saya menyerah.
Pesawat Garuda yang saya tumpangi
untuk pulang ke Jakarta mendarat di Bandara Soekarno-Hatta. Sesampai di rumah, dengan
santai saya hubungi Pak Lalu Khotot, ahli waris di istana Balla Kuning, melalui telepon untuk sekadar memberi tahu bahwa
saya sudah sampai di Jakarta dan ingin mengucapkan terima kasih karena telah membantu
pada waktu saya di Sumbawa. Dengan suara agak keras dan terburu-buru, Pak Lalu
Khotot berkata, “Wa’alaikum salam, Pak Ali sekarang di mana? Kuncinya
sudah ditemukan!” []
-------------------------------------------------------
Tiga Kolofon Qur'an Sumbawa
Kolofon
(bahasa Inggris: colophon) adalah
catatan pada naskah kuno yang biasanya berupa informasi tentang tarikh
penyalinan, nama penyalin, pemrakarsa, dan sebagainya. Biasanya terletak di
bagian akhir naskah. Kebanyakan naskah kuno Nusantara tidak memiliki kolofon,
namun ada tiga mushaf dari Sumbawa yang memiliki catatan yang cukup lengkap,
sehingga kita dapat mengetahui nama penyalin dan tarikh penyalinannya. Ketiga
kolofon ini ditulis dalam bahasa Arab, menunjukkan bahwa kemampuan bahasa Arab
para penyalin mushaf cukup baik. Sebuah kolofon pada naskah Qur'an yang disimpan
di istana Balla Kuning, artinya:
“Selesai menyalin mushaf yang mulia ini hari Ahad pada waktu
duha 28 Zulqa’dah di negeri Sumbawa pada zaman Maulana Sultan Muhammad Harun
ar-Rasyid bin Sultan Muhammad Iqamuddin bin Sultan Muhammad Abdurrahman tahun
1199 hijrat Nabi [2 Oktober 1785] pemilik keutamaan selawat dan kesucian salam
dengan khatt yang faqir, yang hina, yang mengakui dosa dan kekurangannya, yang
mengharapkan ampunan Tuhannya Yang Mulia, Muhammad bin Abdullah al-Jawi
al-Bugisi, Syafi’i mazhabnya, Sumbawa negerinya, kelahirannya, dan tanah
airnya. Semoga Allah mengampuni mereka, kedua orang tua mereka, dan semua kaum
muslimin. Amin. Saya meninggal, tulisanku abadi, itulah doaku.”
Kolofon
Qur'an lainnya, yang disimpan oleh Ibu Lala Mahtera, artinya:
“Selesai menyalin Al-Qur’an yang agung ini dengan
pertolongan Allah, Raja yang Mulia, pada hari Kamis 24 Muharram tahun Zai 1254
Hijri [19 April 1838] dengan khat hamba yang paling fakir Abdurrahman bin Ayub
bin Abdul Baqi as-Sumbawi semoga Allah mengampuninya dan merahmatinya juga bagi
kedua orang tuaku dan seluruh kaum muslimin. Amin.”
Kolofon Qur'an lainnya, yang disimpan di Balla Kuning,
menyatakan bahwa Qur'an ini disalin di Mekah. Bagian awal catatan naskah ini
telah rusak sehingga tidak terbaca. Ditulis dalam bahasa Arab, artinya:
“... di negeri ... Makkah yang mulia, yang masyhur, pada
bulan Sya’ban yang penuh berkah, pada hari Jumat waktu duha tahun seribu dua
ratus delapan puluh Hijrahnya yang memiliki keagungan dan kemuliaan 1280
[Januari-Februari 1864] dengan tangan yang faqir kepada Tuhannya Yang Kaya,
Abdurrahman bin al-marhum Musa as-Sumbawi, semoga Allah mengampuni kami, kedua
orang tua kami, para pemimpin kami, serta seluruh muslimin dan muslimat,
mukminin dan mukminat yang hidup dan yang telah wafat. Segala puji bagi Allah,
Tuhan seluruh alam. Amin.
-----------------------------------------------------
Peninggalan
Kesultanan Sumbawa
Ikon kerajaan yang masih berdiri kokoh hingga kini adalah
Balla Rea (dalam bahasa Bugis berarti “rumah besar”) di kompleks Istana Tua,
yang biasa disebut Istana Dalam Loka. Balla Rea merupakan rumah panggung
raksasa, istana kesultanan Sumbawa, didirikan 1885 oleh Sultan Muhammad
Jalaluddin III (memerintah pada 1883-1931). Kayu jati penopang istana ini
berjumlah 99 (sesuai Asma’ul Husna),
masing-masing dengan diameter sekitar 50 cm. Di istana ini dahulu tinggal
keluarga inti Sang Sultan, beserta beberapa keluarga dekatnya. Istana ini
ditempati oleh kerabat kesultanan hingga tahun 1977. Istana berlantai dua ini,
setelah dipugar beberapa tahun lalu, menjadi museum yang mengukuhkan identitas
orang Sumbawa.
Di sebelah istana dahulu berdiri
masjid kerajaan. Namun masjid dengan arsitektur kayu yang berdiri kokoh itu
telah dibongkar total, pada tahun 1995, hampir tanpa sisa. Satu-satunya sisa
adalah mimbar masjid, yang kini disimpan di Museum Daerah. Menurut penuturan
Lalu Mahmud Abdul Majid, keluarga kesultanan, dahulu masjid mempunyai saka
tunggal, berupa kayu jati besar, dengan ketinggian menjulang sekitar 25 meter.
“Saya melihat sendiri, kayu itu dirobohkan begitu saja, tanpa ada yang peduli. Dan
kayu itu tidak diketahui entah ke mana, sebab ketika saya tanyakan kepada
pemborong pembangunan masjid baru, mereka menghindar.” sesalnya. Namun ia
merasa agak lega, karena masih bisa menyelamatkan salah satu tinggalan masjid
lama, yaitu mimbar. Saat ini, mimbar berukir dengan angka tahun 1299 H (1881)
itu menjadi koleksi Museum Daerah Sumbawa.
Tinggalan kesultanan Sumbawa
lainnya adalah dua buah tandu yang dahulu digunakan pada upacara adat. Kini
disimpan di Balla Rea. Di samping itu, terdapat pula sejumlah kotak berukir,
kini menjadi koleksi Museum Daerah, bersama mimbar masjid.
Bala Rea, istana sultan
Sumbawa (tampak depan).
Bagian dalam istana.
Mimbar berukir Masjid
Sumbawa, tahun 1881, koleksi Museum Daerah.
--------------------------------------------------
Sultan Sumbawa
Kini
Sultan pertama yang memimpin Tana Samawa (sebutan untuk wilayah kesultanan Sumbawa yang kini
mencakup Kabupaten Sumbawa dan Kabupaten Sumbawa Barat) adalah Dewa Mas Pamayam
(memerintah 1648-1668). Sejak itu, selama 3 abad lebih, kesultanan Sumbawa
diperintah oleh 16 sultan, terakhir adalah Sultan Muhammad Kaharuddin III
(memerintah 1931-1958). Setelah vakum selama
53 tahun, Kesultanan Sumbawa, sejak tiga tahun lalu, mempunyai sultan lagi,
yaitu Sultan Muhammad Kaharuddin IV, sebagai sultan Sumbawa ke-17. Haji Daeng
Muhammad Abdurrachman Kaharuddin, SE, MBA, yang biasa dikenal dengan Daeng
Ewan, dinobatkan pada tanggal 5 April 2011, tepat pada hari ulang tahunnya yang
ke-70.
Kedudukan Sultan di zaman kini
mempunyai arti penting dalam perspektif budaya, yaitu untuk memperkuat
identitas Sumbawa di tengah perkembangan kehidupan global agar tidak mudah
tercerabut dari akarnya. Penobatan sultan itu juga sangat penting dan bermakna
bagi rakyat Sumbawa (Tau Samawa) yang memegang teguh nilai-nilai budaya
Sumbawa yang bersendikan syara’ dan Kitabullah (adat barenti ko syara’, syara’ barenti ko Kitabullah) untuk
keselamatan masyarakat dan alam Sumbawa (krik
selamat tau ke tana Samawa). Pada posisi itu, Sultan diharapkan menjadi
figur panutan untuk memperkokoh kehidupan sosial dan menjaga adat Sumbawa.
Sultan Muhammad
Kaharuddin IV, dinobatkan pada 5 April 2011. (Foto: Repro).
(Pernah saya muat di Kompasiana.com)
Artikel terkait:
- Catatan dari Australia: http://quran-nusantara.blogspot.co.id/2014/01/perjalanan-ke-adelaide-1.html
- Catatan dari Malaysia: http://quran-nusantara.blogspot.co.id/2012/06/normal-0-false-false-false-in-x-none-ar.html
- Catatan dari Istanbul: http://quran-nusantara.blogspot.co.id/2012/04/catatan-perjalanan-dari-turki.html
- Istanbul dalam foto: http://quran-nusantara.blogspot.co.id/2012/09/istanbul-dalam-foto.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar