Jumat, 14 September 2012

Qur'an-Qur'an Istana

Qur'an-Qur'an Istana Nusantara
Ali Akbar <aliakbarkaligrafi@yahoo.com>

Tulisan ini ingin memberikan gambaran singkat mengenai sejumlah mushaf Al-Qur’an yang disalin di beberapa istana kesultanan di Nusantara. Mushaf-mushaf tersebut sebagian kini masih tersimpan di istana atau museum istana tempat asal mushaf tersebut disalin, dan sebagian lain kini telah berpindah tangan menjadi koleksi museum, perpustakaan, atau bahkan diperdagangkan dan menjadi koleksi pribadi.
Gambar 1. Koleksi Islamic Arts Museum Malaysia (IAMM 1998-1-3427).

Mushaf-mushaf yang ditampilkan dalam tulisan ini berasal dari bebrapa istana Nusantara, yaitu Banten, Cirebon, Riau-Lingga, Terengganu (Malaysia), Sumbawa, Bima, Bone, dan Ternate. Pemilihan mushaf tersebut terutama karena keindahan iluminasi, kaligrafi, dan kekhasan mushafnya. Meskipun demikian, tidak semua dari masing-masing istana tersebut melahirkan tradisi seni mushaf tersendiri yang berbeda dari istana lainnya. Sebagian dari istana-istana tersebut memiliki hubungan yang baik dengan istana lainnya, sehingga mushaf yang indah dapat berpindah dari suatu istana ke istana lainnya. Sebuah mushaf tinggalan Kesultanan Bima, misalnya, diduga kuat disalin di Kesultanan Terengganu (kini Malaysia), dan sebuah mushaf warisan Kesultanan Tidore, berdasarkan kaligrafi dan iluminasinya, diduga kuat berasal dari Patani (kini Thailand Selatan).
Mushaf-mushaf dari istana memiliki keistimewaan yang berbeda dengan mushaf-mushaf yang berasal dari kalangan masyarakat di luar istana pada umumnya. Keistimewaan itu terutama dalam hal keindahan iluminasi, kaligrafi, desain, dan kelengkapan teksnya. Dari sejumlah naskah yang ada, dapat diasumsikan bahwa istana di Nusantara merupakan pusat produksi naskah dan kajian ilmu keagamaan, termasuk mushaf al-Qur'an.

Ragam Iluminasi dan Kaligrafi
Iluminasi adalah hiasan di sekitar teks yang berfungsi untuk memperterang (illuminate) suatu teks. Dalam bahasa Arab disebut tazhīb, karena iluminasi biasanya menggunakan emas. Terkait iluminasi mushaf Al-Qur’an, biasanya hiasan yang istimewa terdapat di halaman awal, tengah, dan akhir mushaf. Ini telah menjadi semacam konvensi penyalinan mushaf Nusantara, dan berlaku di hampir seluruh wilayah Nusantara, dari Aceh, Patani, Terengganu, Filipina Selatan, hingga Ternate. Nah, siapakah gerangan para seniman hebat penghias Al-Qur’an itu?
Sedikit agak jauh ke belakang, sebenarnya salah satu tantangan (jika bukan ‘persoalan’) dalam kajian mushaf Nusantara, adalah bahwa mushaf-mushaf di Nusantara – demikian pula naskah selain mushaf – kebanyakan tidak memiliki kolofon (yaitu catatan naskah, biasanya terdapat di bagian belakang, yang berisi tentang nama penyalin, waktu dan tempat penyalinan, atau informasi lainnya). Sedikitnya kolofon dalam mushaf-mushaf Nusantara menjadikan gambaran kesejarahan mushaf tidak begitu lengkap, misalnya menyangkut nama-nama penyalin, iluminator, atau pemrakarsanya. Keadaan ini agak berbeda dengan mushaf-mushaf tinggalan beberapa kesultanan besar Islam seperti Mamluk di Mesir, Usmaniyah di Turki, Syafawiyah di Persia, serta Moghul di India, yang kebanyakan memiliki kolofon lengkap, sehingga kesejarahan naskahnya, juga tokoh-tokohnya, dapat diketahui dan ditelusuri dengan lebih baik.
Di Nusantara, dari sekian banyak mushaf dengan iluminasi nan indah, sejauh pengkajian hingga kini, belum pernah ditemukan satu pun nama seniman penghias mushaf! Nama penyalin mushaf masih muncul dalam sebagian mushaf. Namun, entah mengapa, nama pelukis iluminasi mushaf tidak pernah muncul! Apakah mereka merasa “derajat”-nya lebih rendah dibandingkan dengan seorang kaligrafer, penyalin kalam Ilahi itu? Padahal, dalam sebuah mushaf indah, iluminasi dan kaligrafi menjadi suatu kesatuan yang tak terpisahkan!
Iluminasi dalam mushaf-mushaf Nusantara memiliki kekhasan tersendiri. Agak berbeda dengan iluminasi mushaf dari wilayah dunia Islam lainnya yang banyak menggunakan unsur-unsur geometris (selain unsur floral), iluminasi mushaf Nusantara pada umumnya floral dan hanya sedikit menggunakan pola geometris. Keterpesonaan kepada motif tetumbuhan itu menjadi gejala umum dalam mushaf Nusantara.
Pola iluminasi mushaf Nusantara sangat beragam. Karena wilayah Nusantara membentang sangat luas, masing-masing istana seakan-akan mengembangkan gaya iluminasi tersendiri untuk salinan mushafnya. Kesultanan Terengganu di pantai timur Semenanjung Malaysia mengembangkan gaya iluminasi floral dengan taburan emas yang mewah (Gambar 1). Agaknya, mushaf-mushaf dari Kesultanan Terengganu inilah yang terkesan paling ‘glamor’, dengan penggarapan detail yang menawan. Terengganu juga mengembangkan pola-pola desain yang beragam, seperti tampak pada kedua mushaf itu. Kemewahan itu juga tampak dalam sebuah mushaf dari Kesultanan Bima (Gambar 2), yang berdasarkan iluminasi dan kaligrafinya diduga juga berasal dari Terengganu. Kesan mewah dengan taburan emas juga tampak pada mushaf dari negeri Melayu lainnya, yaitu Kesultanan Riau-Lingga (Gambar 3, 4).

Gambar 2. Mushaf wakaf dari Kesultanan Bima, koleksi Bayt al-Qur'an & Museum Istiqlal, Jakarta.

Gambar 3. Koleksi Masjid Raya Sultan Riau, Pulau Penyengat.

Gambar 4. Koleksi Museum Linggam Cahaya, Daik, Pulau Lingga. [Foto: Aswandi Syahri]

Corak iluminasi yang berbeda tampak pada mushaf-mushaf yang berasal Kesultanan Bone, Sulawesi Selatan (Gambar 5), serta corak diasporanya seperti tampak pada mushaf dari Kesultanan Bima (Gambar 6), dan Kesultanan Ternate (Gambar 7). Dalam sejarahnya, orang-orang Bugis dan keturunannya berlayar jauh ke barat mencapai Aceh, ke utara mencapai ke Kedah dan Filipina Selatan, ke selatan mencapai Bima, dan ke timur paling kurang mencapai Ternate. Luasnya jelajahan orang-orang Bugis itu sedikit-banyak tercermin pada gaya iluminasi dan kaligrafi mushafnya. Memang, di sana-sini ada ragam variasi yang berkembang di masing-masing daerah itu, namun ada unsur-unsur yang ‘menyatukan’, misalnya penggunaan garis vertikal di sisi luar, bentuk segitiga, serta setengah lingkaran di bagian atas, bawah, dan samping luar. Para seniman mushaf mengembangkan gaya iluminasi itu dari masa ke masa.

Gambar 5. Mushaf asal Bone, Sulawesi Selatan, 1804, koleksi Museum Aga Khan, Jenewa, Swiss. 
[Foto: Annabel Teh Gallop].

 Gambar 6. Koleksi Museum Samparaja, Bima.

Gambar 7. Koleksi Museum Babullah, Ternate.

Gaya iluminasi yang berbeda lagi tampak pada mushaf tinggalan Kesultanan Sumbawa (Gambar 8). Berbeda dari lainnya, mushaf ini mempunyai pola hiasan semacam pintu, dengan bentuk kubah di tengahnya. Corak seperti ini juga digunakan pada sebuah mushaf lainnya dari istana kesultanan Sumbawa. Gaya iluminasi seperti ini tidak banyak digunakan di wilayah lain, meskipun masih perlu bukti mushaf-mushaf lainnya lagi untuk bisa mengatakannya sebagai khas Sumbawa. Model iluminasi yang kurang banyak digunakan juga tampak pada mushaf dari Kesultanan Kacirebonan (Gambar 9). Motif hiasan seperti itu tidak khas ‘Cirebonan’ yang biasanya ‘menjunjung tinggi’ motif mega mendung. Motif khas Cirebon digunakan pada mushaf lain koleksi Kesultanan ini.

 Gambar 8. Mushaf dari Kesultanan Sumbawa, selesai ditulis pada Kamis, 24 Muharam 1254 (19 April 1838).

Gambar 9. Koleksi Keraton Kacirebonan.



Gambar 10. Mushaf A.50 dari Kesultanan Banten, koleksi Perpustakaan Nasional RI. 
[Foto: Art Gallery of South Australia]

Jika mushaf dari beberapa kesultanan di atas menonjol dalam iluminasi, mushaf-mushaf dari Kesultanan Banten menonjol dalam kaligrafinya. Iluminasi yang biasanya terdapat di bagian awal, tengah dan akhir mushaf, tidak kita temukan pada mushaf Kesultanan Banten (Gambar 10). Sementara, gaya khat yang digunakan adalah gaya Naskhi yang kadang-kadang dekat dengan gaya Muhaqqaq, dengan ciri huruf yang menjulur-julur. Gaya kaligrafi seperti itu kita temukan baik di Banten sendiri, maupun mushaf Banten koleksi Perpustakaan Nasional, Jakarta.[]
(Bersambung)

Artikel terkait:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar