Senin, 15 Oktober 2018

Sumatera Utara

Manuskrip Al-Qur’an di Sumatera Utara: Menelusuri Asal Usul

Pengantar untuk Katalog Mushaf Al-Qur'an Kuno di Sumatera Utara
Penyusun: Ichwan Azhari dan Candiki Repantu
Medan: LPTQ Sumatera Utara, 2018

Alhamdulillah, akhirnya ditemukan juga sejumlah manuskrip Al-Qur’an di Sumatera Utara! Selama beberapa tahun penelusuran manuskrip Al-Qur’an di Indonesia, sejak tahun 2003 hingga belakangan ini, 2018, di Sumatera Utara tidak—atau tepatnya belum—ditemukan manuskrip Al-Qur’an. Para peneliti dari Puslitbang Lektur Keagamaan yang pertama kali melakukan penelusuran naskah-naskah Al-Qur’an di Sumatera Utara hanya menemukan sebuah mushaf tua cetakan India di Masjid Al-Mashun, Medan. Beberapa tahun kemudian, ketika penelusuran naskah Al-Qur’an dilanjutkan oleh Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, para peneliti juga tidak memperoleh informasi keberadaan mushaf, hingga kini. 
Katalog Mushaf di Sumatera Utara.


Oleh karena itu, sejumlah temuan manuskrip yang dimuat dalam katalog ini menjadi sangat penting, dan layak memperoleh apresiasi yang tinggi. Hal ini tidak lepas dari perjuangan Dr. Phil. Ichwan Azhari dan kolega di Rumah Sejarah Medan yang tak kenal lelah mencari informasi keberadaan mushaf, lalu mengumpulkan dan mendeskripsi sejumlah temuan mushaf Al-Qur’an ini—di samping temuan naskah dan artefak lainnya.

Temuan baru manuskrip Al-Qur’an ini menjadi lebih berarti lagi ketika Sumatera Utara pada 2018 kebetulan menjadi tuan rumah penyelenggaraan Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ) Nasional XXVII. Eksistensi sejarah kesultanan dan masyarakat muslim di Sumatera Utara menjadi lebih lengkap dengan adanya temuan sejumlah mushaf baru ini.
Katalog ini memuat 16 mushaf yang ditemukan di Sumatera Utara. Ke-16 mushaf tersebut—dua di antaranya tafsir—merupakan koleksi dua dosen Universitas Negeri Medan (UNIMED) yakni Bapak Ichwan Azhari dan Ibu Rahmadewi serta koleksi Bapak Candiki Repantu dari Yayasan Islam Abu Thalib Medan. Sebagai wilayah yang memiliki sejarah Islam yang panjang, Sumatera Utara sebenarnya patut diduga memiliki sejumlah koleksi mushaf yang banyak. Oleh karena itu, dengan penerbitan katalog ini, kita berharap nanti akan muncul lagi sejumlah manuskrip lainnya yang barangkali saat ini masih banyak di tangan masyarakat.

Asal Usul
Katalog ini telah mendeskripsi manuskrip Al-Qur’an dengan sangat lengkap, dilakukan oleh Bapak Candiki, seorang pengkaji Islam yang berpengalaman luas. Semua aspek kodikologi mushaf telah digambarkan dengan baik dan sangat detail. Demikian pula aspek tekstualnya, menyangkut ulumul-Qur’an, yaitu rasm, ḍabṭ, dan qira’at,  juga tak lepas dari uraian yang sangat terperinci. Dari uraian tersebut kita memperoleh gambaran utuh tentang sebuah mushaf.
Meskipun demikian, untuk melengkapi katalog ini, barangkali ada satu hal yang bisa ditambahkan dalam katalog ini, yaitu tentang asal usul mushaf. Membaca katalog ini kita belum memperoleh gambaran tentang sejarah atau asal usul mushafnya.
Seperti zaman sekarang, sejak dahulu masyarakat mempunyai mobilitas yang tinggi, dapat berpindah atau bermigrasi dari suatu tempat ke tempat lainnya. Demikian pula manuskrip atau artefak lainnya. Perpindahan suatu naskah atau mushaf dapat karena hadiah, jual beli, pewarisan, atau sebab lainnya. Oleh karena itu, bila kita menemukan sebuah manuskrip di suatu tempat, tidak selalu berarti bahwa manuskrip tersebut disalin di tempat itu. Perlu telaah perbandingan yang teliti lebih dahulu. Meskipun demikian, pada umumnya, keberadaan suatu manuskrip sering berkaitan secara historis dengan tempat ditemukannya.
Mushaf SU AQ01/ICH
Sejumlah mushaf yang ditemukan di Sumatera Utara ini memperlihatkan keragaman asal usul mushaf. Dugaan ini berdasarkan iluminasi, kaligrafi, tata letak, atau aspek lainnya. Mushaf SU AQ01/ICH misalnya, iluminasinya memperlihatkan ciri Melayu secara umum, dengan gaya Pantai Timur, antara Terengganu dan Patani yang cukup kuat (lihat Gallop, 2005). Meskipun motif dan iluminasinya menceriminkan gaya Pantai Timur, namun warna dan tata letak halaman isi mushaf cukup berbeda. Dari segi warna, biasanya gaya Pantai Timur menonjol dalam penggunaan emas atau kuning, sementara dalam mushaf ini tidak begitu dominan. Di pihak lain, tata letak halaman isi yang tidak lebar dan terkesan vertikal, lebih mencerminkan kebiasaan dalam beberapa mushaf asal Sumatera Barat. Oleh karena itu, manuskrip ini mencerminkan tradisi mushaf Melayu secara umum, sesuai dengan wilayah Sumatera Utara sebagai wilayah kesultanan Melayu yang sangat penting.
Mushaf SU AQ02
Mushaf SU AQ02/ICH mencerminkan tradisi mushaf Minangkabau yang sangat kuat, seperti tampak pada gaya iluminasi, warna, dan tata letak halaman isi mushaf. Penggunaan blok panel motif floral yang meruncing di bagian atas, tepi-luar, dan bawah iluminasi; warna merah dominan yang digores ritmis; serta tata letak halaman teks ayat yang menyisakan tepi halaman kosong yang cukup lebar, semuanya mencerminkan asal usul mushaf ini yang cukup kuat.
Mushaf SU AQ03/ICH, AQ05/ICH, AQ11/RD, AQ13/RD memperlihatkan tradisi mushaf Lombok (lihat Akbar, 2011Mustopa, 2017). Ketiga mushaf terakhir, berturut-turut merupakan bagian dari 5 jilid mushaf lengkap. Sementara SU AQ04/ICH, AQ07/ICH, AQ10/RD, dan AQ14/CR memperlihatkan tradisi mushaf Jawa (lihat Gallop, 2012; Akbar, 2006; Akbar, 2018; Hakim, 2015). Adapun Mushaf SU AQ09/RD tampaknya bersesuaian dengan tradisi mushaf Madura (lihat Hakim, 2016), seperti terlihat pada motif floral iluminasi bagian atas, tepi-luar, dan bawah. Kesesuaian motif akan sangat mungkin mencerminkan kesamaan asal usul suatu manuskrip. Akan lebih kuat lagi jika ada dukungan ‘bukti-bukti’ lainnya seperti warna, tinta, kertas, kaligrafi, jilidan, atau aspek lainnya. Mushaf ini merupakan koleksi Ibu Rahmadewi yang juga memiliki beberapa manuskrip lainnya dalam kumpulan ini.
Antara mushaf Jawa—selain Banten, karena memiliki ciri tersendiri (Gallop dan Akbar, 2006), Madura, dan Lombok memiliki kedekatan dalam tradisi mushaf. Ketiga wilayah ini banyak menggunakan dluwang sebagai alas tulis. Di samping itu, gaya iluminasinya juga memperlihatkan kedekatan, biasanya menggunakan bentuk-bentuk segitiga di bagian atas, tepi-luar, dan bawah iluminasi. Mushaf-mushaf Jawa, Madura dan Lombok kini tersebar di sejulah museum, perpustakaan dan koleksi pribadi di negara-negara jiran, juga Australia, bahkan Eropa.
Mushaf yang juga menarik untuk didiskusikan adalah SU AQ06/ICH. Ini satu-satunya mushaf yang memiliki kolofon—dan oleh karena itu problematis, karena angka yang tercantum kurang jelas. Seperti yang terbaca dalam katalog ini, Bapak Candiki yang mendeskripsi mushaf-mushaf dalam katalog ini ‘menawarkan’ bacaan angka tahun 1074 H (1663 M) (lihat gambar di bawah). Kolofon dalam naskah ini sebenarnya disertai pembilangan dalam bentuk kata-kata, namun tampaknya sang penyalin kurang menguasai bahasa Arab, sehingga sulit dipahami, dan bisa jadi ada bagian yang khilaf tidak ditulis.
Menurut penulis, penulisan angka ‘nol’ pada kolofon ini perlu dicermati lagi—memang di sinilah titik krusialnya. Penulisan angka ‘nol’ di bawah ini tampak tidak spontan, tidak sekali gores, sebagaimana angka ‘tujuh’ dan ‘empat’ di sebelahnya. Tampak jelas ada penggoresan ulang dalam penulisan angka tersebut, sebagai koreksi, sehingga bentuk angka ‘dua’ menjadi lebih terlihat. Jadi penulis berpendapat bahwa angka yang lebih meyakinkan adalah 1274 H (1857 H). Hal ini juga mempertimbangkan kertas mushaf ini, ProPatria, tidak ber-shadow pada chain lines (garis tebal), yang pada umumnya di Nusantara digunakan pada abad ke-19. Kertas Eropa sebelum abad ke-19 biasanya memiliki karakter khusus, terkadang tebal sehingga cap kertas tidak nyata, atau sebaliknya tipis, dan biasanya ber-shadow pada chain lines-nya. 
Tarikh penyalinan SU AQ06/ICH.
Menutup pengantar singkat ini, kiranya perlu sekali lagi dicatat besar-besar bahwa temuan sejumlah mushaf dalam katalog ini sangat penting bagi pengetahuan kita tentang mushaf Nusantara. Jumlah mushaf kuno yang kini masih dapat kita saksikan menjadi lebih banyak, dan pengetahuan kita tentang masa lalu sedikit demi sedikit menjadi lebih lengkap.
Dalam catatan penulis, sebelum ini, Sumatera Utara merupakan salah satu di antara provinsi yang belum memiliki koleksi manuskrip Al-Qur’an. Dengan temuan baru ini, dari 34 provinsi di Indonesia, ada lima provinsi yang hingga kini belum diketahui secara pasti ‘memiliki’ koleksi mushaf kuno, yaitu Provinsi Bengkulu, Sulawesi Utara, Gorontalo, Papua Barat, dan Papua. Semoga tidak lama lagi akan ditemukan juga mushaf-mushaf kuno di wilayah itu.
Selamat mengkaji lebih lanjut!
Jakarta-Bogor, 19 September 2018

Daftar Pustaka

Akbar, Ali. 2006. “Tradisi Lokal, Tradisi Timur Tengah, Dan Tradisi Persia-India: Mushaf-Mushaf Kuno Di Jawa Timur.” Lektur 4(2): 242–61.
———. 2011. “Tradisi Mushaf Al-Qur’an di Lombok.” In Perkembangan Mushaf, Terjemahan, Dan Tafsir Di Indonesia, ed. Ali Akbar. Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, 7–13.
Gallop, Annabel Teh. 2005. “The Spirit of Langkasuka? Illuminated Manuscripts from the East Coast of the Malay Peninsula.” Indonesia and the Malay World 33(96): 113–82.
———. 2012. “The Art of the Qur’an in Java.” Suhuf 5(2): 215–29.
Gallop, Annabel Teh, and Ali Akbar. 2006. “The Art of the Qur’an in Banten: Calligraphy and Illumination.” Archipel 72: 95–156.
Hakim, Abdul, ed. 2015. Ragam Hias Mushaf Al-Qur’an Nusantara. Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an.
———. 2016. “Penyalinan Al-Qur’an Kuno Di Sumenep.” Suhuf 9(2): 343–62. http://jurnalsuhuf.kemenag.go.id/index.php/suhuf/article/view/160/141.
Mustopa. 2017. “Mushaf Kuno Lombok: Telaah Aspek Penulisan Dan Teks.” Suhuf 10(1): 1–24. http://jurnalsuhuf.kemenag.go.id/index.php/suhuf/article/view/215/146.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar