Khazanah Manuskrip Al-Qur’an di Kepulauan
Riau
Ali Akbar <aliakbarkaligrafi@yahoo.com>
Tulisan singkat
ini menyajikan sejumlah koleksi manuskrip Al-Qur’an di Kepulauan Riau,
khususnya di Pulau Penyengat dan Pulau Lingga. Sementara ini yang tercatat baru mushaf yang berasal dari
kedua pulau tersebut, meskipun tidak tertutup kemungkinan adanya naskah mushaf
di pulau-pulau lainnya. Tulisan ini bukanlah kajian mushaf Riau secara
historis, namun hanya merupakan
inventarisasi yang memaparkan
sejumlah koleksi secara deskriptif, sebagai perkenalan awal terhadap khazanah
mushaf di wilayah kepulauan ini. Kajian lebih lanjut mengenai mushaf-mushaf ini
mudah-mudahan dapat segera dilakukan, baik dari segi sejarah naskah,
sejarah seni, maupun sosial, politik, dan intelektual.
Pada masa lalu, di wilayah ini pernah berdiri kerajaan besar
yang mempunyai pengaruh kuat, baik secara politik maupun budaya. Naskah-naskah
yang kini tersimpan di Masjid Raya Sultan Riau dan Pusat Maklumat Kebudayaan
Melayu – keduanya di Pulau Penyengat – maupun naskah-naskah yang ada di tangan
masyarakat setempat, baik berupa naskah keagamaan maupun sastra, membuktikan
dengan jelas kebesaran tanah ratusan pulau ini pada masa lalu. Namun,
disayangkan, banyak di
antara naskah penting itu kini dalam
kondisi rusak, karena dimakan usia.
Mushaf 1
Mushaf ini merupakan manuskrip yang bersejarah, dan sangat penting, koleksi Masjid Raya Sultan Riau,
Pulau Penyengat. Naskah ini ditulis di Kedah (Malaysia sebelah
utara), selesai pada 25 Ramadan 1166 H (26 Juli
1753). Penyalinnya
adalah Ali bin Abdullah bin Abdurrahman,
seorang keturunan Bugis dari Wajo,
yang menyelesaikan mushaf tersebut pada
masa Sultan Muhammad Jiwa, seorang sultan yang alim dan warak, memerintah
negeri Kedah pada 1710-1778. Mushaf ini diduga dibawa ke Pulau Penyengat oleh
Raja Haji Fisabilillah (1727-1784) sekembalinya dari penyerbuan ke negeri Kedah
pada 1770.
Kondisi mushaf ini dari tahun ke tahun semakin rusak, dan
saat ini hampir-hampir tidak bisa dibuka lagi, karena kertas mushaf ‘termakan’
tinta yang mengandung semacam zat besi (iron
gall). Halaman kolofon, misalnya, yang pada tahun 2007 masih terbaca, meskipun
kertas sudah pecah-pecah, tahun 2011 lalu sebagian besar sudah rontok dan tidak
bisa terbaca lengkap lagi.
Mushaf ini merupakan satu keluarga dengan empat mushaf lain,
yaitu (1) koleksi Perpustakaan Nasional RI Jakarta nomor A.49, dengan tarikh
Sya’ban 1143 H (Februari/Maret 1731); (2) Mushaf Sultan Ternate, bertarikh 9
Zulhijah 1185 (14 Maret 1772); (3) satu buah mushaf lain di Museum Babullah istana
Ternate, tanpa kolofon; dan (4) sebuah mushaf koleksi The Aga Khan Trust di
Jenewa, Swiss, bertarikh 25 Ramadan 1219 H (28 Desember 1804). Kelima mushaf
ini memiliki kesamaan dalam berbagai hal, terutama gaya tulisan dan
iluminasinya, di samping kesamaan dalam teks-teks tambahan berupa catatan
qiraat yang lengkap, salinan ulumul-Qur’an di awal dan akhir mushaf, serta
perhitungan jumlah huruf dalam Al-Qur’an. Iluminasi mushaf-mushaf tersebut
mempunyai akar yang sama, yaitu apa yang disebut sebagai “gaya Sulawesi Selatan”.
Kolofon
di halaman akhir mshaf selengkapnya berbunyi:
Wa
kāna al-farāgh min tahsīli hāzā al-mushaf al-karīm nahāra al-Jum’at min
Ramadhān fī waqti al-‘asri madat khamsa wa ‘isyrūna yauman min syahri Ramadhān
al-mubārak fī Bandar Kedah qaryah Padang Saujana
fi zamāni Maulānā Paduka Sri as-Sultān al-A’zam wa al-Khāqan wa al-A’dal
al-Afkham Muhammad Jiwa Zain al-‘Ādilīn Mu’azzam Syah sanat 1166 alf wa mi’at
wa sitt wa sittūn min al-hijrat an-nabawiyyah ‘alā sāhibihā afdal as-salāti wa
azka at-taslīm bi-khatt al-faqīr al-khaqīr ad-da’īf al-mu’tarif bi az-zanbi wa
at-taqsīr ar-rājī ilā ‘afwi rabbihi al-karīm Alī bin Abdullāh bin Abdurrahmān
al-Jāwī al-Būqisī al-Wājūwī asy-Syāfi’ī mazhaban at-Tempe baladan wa maulidan
wa watanan wa an-Naqsyabandi ... ... Maulānā as-Sultān
‘Alā’uddīn bin al-marhūm ... ghafara Allāhu lahum wa li-wālidaihim wa
li-jamī’il-muslimīn wal-muslimāt wal-mu’minīn [wa al-mu’minīn] wal-mu’mināt
al-ahyā’i minhum wal-amwāt.
Artinya:
Selesai
menyalin mushaf yang mulia ini siang Jumat, Ramadhan pada waktu asar, 25 bulan
Ramadhan yang penuh berkah di Kota Kedah desa Padang Saujana [Sejana] pada zaman Maulana Paduka Sri Sultan Yang
Agung, Pemimpin Yang Adil Yang Besar Muhammad Jiwa Zain al-‘Adilin Mu’azzam
Syah tahun 1166 seribu seratus enam puluh enam Hijrah Nabi pemilik salawat yang
utama dan salam yang suci, dengan tulisan yang fakir yang hina yang lemah yang
mengakui dosanya dan kekurangannya yang mengharapkan ampunan Tuhannya Yang Mulia,
Ali bin Abdullah bin Abdurrahman al-Jawi al-Buqisi al-Wajuwi, Syafi’i
mazhabnya, Tempe daerahnya dan kelahirannya serta negerinya, Naqsyabandi ...
... Maulana Sultan ‘Ala’uddin bin al-marhum ... semoga Allah mengampuni mereka
dan orang tua mereka serta semua kaum muslimin dan muslimat, mukminin dan
mu’minat yang masih hidup dan yang telah wafat.
Mushaf 2
Mushaf indah ini
berukuran 40 x 25 cm, tebal 7 cm. Kertas Eropa, dengan cap kertas semacam
perisai dan cap tandingan berupa huruf IV atau VI. Kondisi mushaf masih cukup
baik, lengkap 30 juz. Setiap halaman terdiri atas 15 baris, dengan model “ayat
pojok”. Mushaf ini mengalami penjilidan ulang di Singapura pada tahun 1956.
Kemungkinan, pada saat penjilidan ulang ini, pinggiran mushaf dipotong,
sehingga sebagian iluminasi yang indah di bagian dalam mushaf terpotong. Iluminasi
mushaf bermotif floral yang mewah, bersepuh emas, terdapat di awal dan tengah
mushaf. Di samping itu terdapat tiga ‘iluminasi kepala’ di bagian atas halaman,
yaitu di awal juz ke-4, awal juz ke-30, dan akhir mushaf. Gaya iluminasi mushaf ini dapat digolongkan
ke dalam gaya “Pantai Timur” Semenanjung Melayu, yang memang terkenal mewah,
indah, teliti, dan sering bersepuh emas.
Menurut catatan
di kotak mushaf, Al-Qur’an ini selesai disalin pada tahun 1867 oleh Abdurrahman
Stambul, seorang penduduk Pulau Penyengat yang dikirm oleh Kerajaan Lingga ke
Mesir untuk memperdalam ilmu agama dan khat. Mushaf ini berada di dalam Masjid
Raya Sultan Riau, Pulau Penyengat, ditempatkan di dalam kaca khusus, di atas rehal
lama yang diukir cantik.
Mushaf 3
Mushaf ini
disimpan di dalam lemari kitab di Masjid Raya Sultan Riau, Pulau Penyengat, berkode
123. Saat ini kondisi mushaf sangat rapuh, rusak ‘dimakan’ tinta di hampir semua
halaman. Bagian depan dan belakang mushaf telah hancur. Kertas Eropa yang
digunakan mushaf ini rusak, kehitaman, khususnya di bagian teks ayat. Model teks
yang digunakan adalah ‘ayat pojok’, setiap halaman terdiri atas 15 baris
tulisan. Iluminasi terdapat di setiap awal juz, berupa hiasan bersepuh emas di
bagian atas halaman. Melihat motif hiasannya, iluminasi mushaf ini dapat dimasukkan
ke dalam gaya “Pantai Timur” Semenanjung Melayu.
Mushaf 4
Mushaf ini berkode
124, disimpan di dalam lemari kitab di Masjid Raya Sultan Riau, Pulau Penyengat.
Kondisi mushaf telah rusak, kehitaman, khususnya di bagian bawah, diduga karena
terkena air. Mushaf dengan kertas Eropa ini tipis, terdiri atas beberapa jilid.
Baris-baris teks ayat ditulis jarang, dan
antarbaris digunakan untuk terjemahan dalam bahasa Melayu dengan pola tulisan
menggantung. Mushaf ini merupakan salah satu jilid dari satu set mushaf
Al-Qur’an terjemahan. Salah satu jilid lainnya, yang semula tergabung dalam
satu set yang sama, disimpan di Pusat Maklumat Kebudayaan Melayu, tidak jauh
dari Masjid Sultan. Melihat gaya iluminasi yang terdapat di awal Surah
as-Safat/37, juga huruf ‘ain untuk
tanda rukuk, juga model penulisan setiap kepala surah, memperlihatkan dengan
jelas bahwa mushaf ini dapat digolongkan ke dalam “gaya Sulawesi Selatan”.
Mushaf 5
Manuskrip ini
merupakan koleksi Pusat Maklumat Kebudayaan Melayu, yang terletak sekitar 200
meter dari Masjid Raya Sultan Riau di Pulau Penyengat. Naskah ini merupakan
salah satu dari sebuah set terjemahan Al-Qur’an dalam bahasa Melayu yang
terdiri atas beberapa jilid. Terjemahan ditulis dengan model menggantung di
sela-sela baris ayat. Kondisi naskah dengan kertas Eropa ini agak rusak,
terutama di bagian bawah, karena lembab.
Mushaf 6
Manuskrip ini
merupakan salah satu dari dua koleksi mushaf yang terdapat di Pusat Maklumat Kebudayaan
Melayu, Pulau Penyengat. Mushaf ini merupakan “Al-Qur’an ayat pojok”, setiap
halaman terdiri atas 15 baris tulisan. Kertas Eropa, diperkirakan dari pertengahan
abad ke-19. Kondisi mushaf cukup baik, meskipun bagian awal dan akhir mushaf tidak
lengkap lagi. Sebagaimana umumnya mushaf dalam “gaya Pantai Timur”, setiap awal
juz dimulai dari halaman di sebelah kanan, dan ditandai dengan medalioan
bertulishan “al-juz’”.
Mushaf 7
Manuskrip Al-Qur’an
ini kondisinya cukup bagus, duhulu milik masyarakat, dan kini menjadi koleksi
Museum Linggam Cahaya di Daik, Pulau Lingga, dengan cara hibah. Iluminasi
mushaf ini sangat indah, dapat dikategorikan ke dalam rumpun yang sering
disebut sebagai “gaya Pantai Timur” Semenanjung Melayu. Salah satu ciri yang
menonjol dalam gaya ini adalah bentuk kaligrafi floralnya. Kepala-kepala surah
dalam halaman beriluminasi ditulis dalam gaya floral yang sangat unik,
merupakan gaya tulisan yang khas Nusantara. Naskah ini merupakan “mushaf ayat
pojok”, setiap halaman terdiri atas 15 baris tulisan.
Mushaf 8
Mushaf ini
semula merupakan koleksi Masjid Sultan Lingga. Karena kurang terawat, atas usul
Aswandi, sejarawan lokal Riau, sekarang dipindahkan dan menjadi koleksi Museum
Linggam Cahaya di Daik, Pulau Lingga. Kondisi mushaf telah rusak, khususnya bagian teks ayat,
karena penggunaan tinta impor yang mengandung semacam zat besi (iron gall). Kerusakan pada bagian teks
mushaf sangat parah, kehitaman, dan hampi-hampir tidak bisa dibuka lagi.
Dilihat dari pola iluminasinya, yang digarap dengan teliti dan sangat indah,
bersepuh emas, seperti kebanyakan mushaf dari Riau lainnya, mushaf ini dapat
digolongkan ke dalam “gaya Pantai Timur” Semenanjung Melayu.
Mushaf 9
Di samping mushaf-mushaf
manuskrip di atas, terdapat pula mushaf cetak dalam jumlah cukup banyak, khususnya
yang disimpan di lemari Masjid Raya Sultan Riau, Pulau Penyengat. Di antaranya
adalah mushaf cetakan Bombay, India, akhir abad ke-19 atau awal abad ke-20.
Mushaf cetakan seperti itu dahulu beredar cukup luas di Nusantara, dari
Palembang, Demak, madura, Lombok, Bima, hingga Filipina Selatan.
Mushaf
cetakan India, akhir abad ke-19, atau awal abad ke-20.
Ucapan Terima Kasih
Saya ingin mengucapkan terima kasih kepada
beberapa pihak yang membantu saya sehingga tulisan singkat ini dapat terwujud.
Pertama kepada Seasrep Foundation yang memberi kesempatan kepada saya pada
tahun 2008-2009 untuk mengunjungi sejumlah
provinsi di Indonesia, juga beberapa kota di Malaysia, Singapura, dan Brunei,
untuk melakukan penelitian kaligrafi dan Qur’an Nusantara; kepada Annabel Teh
Gallop yang membagi foto mushaf Pulau Penyengat tahun 2007; Jan van der Putten
atas persahabatan yang hangat di Penyengat tahun 2008; Aswandi Syahri yang
berbaik hati membagi foto dua mushaf dari Lingga; dan kepada Fairus Azian
Ismail dan Mohd Zahamri Nizar (Shah Alam, Malaysia) yang berbagi informasi
mengenai Kota Padang Sejana dan sejarah Kedah melalui facebook.
Daftar Pustaka
Akbar, Ali. 2010. “Mushaf Sultan Ternate Tertua di Nusantara?:
Menelaah Kembali Kolofon”, Jurnal Lektur Keagamaan, Vol.8, No.2,
h. 283-296
Gallop, Annabel Teh. 2005. ”The Spirit of Langkasuka? Illuminated
Manuscripts from the East Coast of the Malay Peninsula”. London, Indonesia
and the Malay World, 33 (96): 113-182
Gallop, Annabel Teh. 2010. “The Bone Qur’an from South Sulawesi”,
dalam Treasures of the Aga Khan Museum: Arts of the Book and Calligraphy,
ed. Margaret S. Grases and Benoit Junod, Istanbul: Aga Khan Trust for Culture
and Sakip Sabanci University & Museum, pp.162-173
[Telah dimuat dalam katalog pameran dalam rangka Perkemahan Pramuka Santri Nusantara, Batam, 2-8 Juli 2012]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar