Sekitar April 2009 masyarakat pernah dihebohkan dengan munculnya sebuah mushaf Al-Qur’an (dan sebilah pedang) secara “tiban” (tiba-tiba
ada) di sebuah masjid kampung di Banten (lihat: http://quran-nusantara.blogspot.com/2013/03/quran-kuno-kunoan-2.html). Kabar tersebut waktu itu cukup
menghebohkan, dan sempat membikin ‘repot’ pihak-pihak yang berwenang.
Kabar lainnya, seseorang datang ke sebuah museum membawa sebuah mushaf,
dan secara ‘meledak-ledak’ mengatakan bahwa mushaf yang dibawanya itu
muncul secara tiba-tiba bersamaan dengan halilintar yang menyambar! Wah!
Satu lagi, seseorang dari Cirebon menawarkan sebuah mushaf melalui
email dan telefon, dan mengatakan bahwa mushaf yang ditawarkannya itu diperoleh dari
tirakat di makam Sunan Gunung Jati bersama beberapa ulama Cirebon!
Jika Anda mendengar cerita heboh seperti
itu, sebaiknya jangan buru-buru percaya. Sebab, itu adalah salah satu
tanda mushaf “kuno-kunoan” – artinya, sebuah mushaf yang ‘seakan-akan kuno’, atau yang kekunoannya itu
‘seakan-akan’. Sejak sekitar
empat tahun terakhir ini, penulis menginventarisasi ada belasan mushaf
seperti itu yang ditemukan di Jakarta, dan telah tersebar pula di
beberapa daerah, di antaranya, Kalimantan dan Papua. Yang tidak
‘terdeteksi’, sangat mungkin, lebih banyak.
Ada beberapa ciri mushaf seperti itu. Pertama, biasanya kertas yang digunakan adalah semacam kertas semen, atau sering disebut kertas samson.
Kertas kecoklatan itu memang mengesankan kuno, dan bagian pinggir
biasanya dibuat agak ‘berantakan’, artinya tidak dipotong rapi, dan
kadang-kadang sedikit dihanguskan, agar terkesan dari abad lampau. Bagi
orang yang sering melihat naskah kuno, bagaimanapun, akan melihat
perbedaannya dengan kertas Eropa yang memang dulu banyak digunakan di
Nusantara. Dr Russell Jones, seorang ahli kertas Eropa, dalam kesempatan
kunjungan ke Bayt Al-Qur’an & Museum Istiqlal tahun 2010, ketika
melihat sebuah mushaf ‘kuno-kunoan’ tertegun, dan mengatakaan bahwa
kertas yang digunakan itu bukanlah kertas Eropa, melainkan kertas karton
biasa.
Ciri kedua, perwajahan. Agar
tersesan kuno, mushaf yang kadang-kadang ditawarkan dengan harga
selangit itu, meniru perwajahan dan tataletak mushaf kuno. Iluminasi
terdapat di halaman awal, tengah, dan akhir mushaf. Corak iluminasinya
seperti mushaf dari masa lampau, yang memang sudah tidak digunakan lagi
pada mushaf-mushaf dewasa ini. Nomor ayat juga tidak dicantumkan.
Ciri-ciri perwajahan yang ‘seakan-akan kuno’ itu mungkin akan mudah
‘mengelabuhi’ kebanyakan orang yang tidak biasa bergelut dengan naskah
atau mushaf kuno.
Ciri ketiga, goresan ‘pena’ dan
tinta. Sebenarnya, inilah yang paling mudah untuk dikenali. Entah
kenapa – barangkali karena kemudahan menggoresnya – alat tulis yang
digunakan, biasanya, adalah spidol. Itu terlihat dari goresan ‘pena’
yang dihasilkannya, juga tintanya. Spidol yang digunakannya juga sering
bukan jenis yang tebal-tipis. Ini yang membedakan, karena huruf Arab di
Nusantara, pada masa lampau, baik untuk tulisan Jawi (Arab-Melayu)
maupun Arab beneran seperti mushaf atau naskah keagamaan
lainnya, hampir selalu ditulis dengan huruf tebal-tipis. Juga, jenis
tinta seperti tinta spidol, dahulu jelas tidak pernah dipakai.
Selain dalam bentuk buku (codex), Al-Qur’an ‘kuno-kunoan’ juga muncul dalam bentuk salinan di atas daun
lontar. Model ini sebenarnya agak ‘lucu’, karena berdasarkan penelusuran
mushaf-mushaf kuno di berbagai daerah, sejauh ini tidak (atau belum) pernah ditemukan
Al-Qur’an ditulis di daun lontar! Karena teks Al-Qur’an sangat panjang,
memang rasanya kurang masuk akal jika ditulis pada bidang yang kecil,
dan lagi, menulisnya pun pasti agak ‘repot’ karena menggunakan sejenis
benda tajam dengan cara ditorehkan. Tentu huruf Arab tidak compatible
untuk ditulis dengan benda yang runcing seperti itu, karena selama 14
abad perkembangannya, huruf Arab selalu ditulis dengan pena tebal-tipis. Lebih dari itu, ‘lembaran’ mushaf yang dibuat dari sejumlah daun lontar yang dijahit rasanya merupakan media tulis yang terlalu dibuat-buat! Sangat tidak efektif untuk menulis teks yang sangat panjang seperti Al-Qur'an! Padahal ada alas tulis tradisional lain yang mudah dibuat, yaitu dluwang (Sunda: daluang) yang dibuat dari kulit kayu. (Artikel mengenai alas tulis/kertas lihat: http://quran-nusantara.blogspot.com/2012/10/2-kertas.html). Maka, jika “mushaf daun lontar” itu dibuat dengan
sengaja untuk membuat kesan kuno suatu mushaf, agaknya itu karena memang sengaja mau 'lucu-lucuan'. Tambahan lagi, daun lontar yang digunakan dalam ‘mushaf
lontar kuno-kunoan’ itu biasanya berwarna pucat, tidak ‘matang’. Bagi
mereka yang sering melihat naskah lontar kuno pasti akan bisa
membedakan.
***
Pulang dari penelitian tentang mushaf
kuno, seorang kawan bercerita bahwa di lapangan dia bertemu dengan salah
seorang pembuat mushaf ‘kuno-kunoan’, di suatu daerah di timur Jawa. Kata kawan itu,
si pembuat mushaf mengaku bahwa dia tidak bermaksud membuat mushaf yang
seakan-akan kuno, apalagi berniat membohongi masyarakat, tetapi dia
hanya membuat semacam barang unik, atau ‘antik’. Dia pun, ngakunya,
menjual barang itu dengan harga murah, bukan ratusan juta, atau bahkan miliaran, seperti yang
ditawarkan oleh sebagian pedagang. Sepertinya, orang itu tidak salah
juga ya?! Baik, anggaplah dia jujur dan tulus. Tetapi, tahukah dia bagaimana mushaf itu dijual oleh para pedagang kepanjangannya?
Seandainya pembuat mushaf kuno-kunoan
itu memang benar-benar berniat baik, hanya ingin membuat barang unik,
agar semuanya ‘enak’, tidak ada yang ‘terkibuli’, seharusnya dia
mencantumkan pernyataan dengan jelas, di awal atau akhir mushaf karyanya
itu, misalnya, “Mushaf ini ditulis oleh ..., selesai pada hari ... tanggal ... bulan ... tahun ..., di kampung ...”. Kolofon (catatan naskah) seperti itu telah dicontohkan oleh para penyalin mushaf selama berabad-abad, di seluruh dunia Islam. Tentu itu lebih fair, dan tidak akan ada cerita tentang
“Qur’an tiban”, sambaran halilintar, atau tirakat di makam wali, untuk
memperoleh mushaf Al-Qur’an semacam itu.[]
[Telah dimuat di <http://lajnah.kemenag.go.id/artikel/49-feature/124-mushaf-al-quran-kuno-kunoan.html> dengan sedikit tambahan.]
Artikel terkait:
- "Qur'an Kuno-kunoan 2: Menyoal Qur'an Bojongleles, Banten": http://quran-nusantara.blogspot.com/2013/03/quran-kuno-kunoan-2.html
- "Qur'an Kuno-kunoan 3: Pasar Lokal dan Internasional": http://quran-nusantara.blogspot.com/2013/04/quran-kuno-kunoan-3.html
- "Qur'an Kuno-kunoan 4: Qur'an, pelepah pisang, anak Sunan Bonang, muslim Moro": http://quran-nusantara.blogspot.com/2013/07/quran-kuno-kunoan-4.html
- "Qur'an Kuno-kunoan 5: Anomali": http://quran-nusantara.blogspot.com/2014/12/quran-kuno-kunoan-5.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar