Minggu, 15 April 2012

Berkunjung ke IRCICA

Catatan dari Istanbul (2)
Berkunjung ke IRCICA

Dalam kesempatan pergi ke Istanbul tanggal 25 Juli - 6 Agustus 2011 lalu saya sempat berkunjung ke kantor IRCICA (Research Centre for Islamic History, Art and Culture). Alhamdulillah akhirnya kesampaian juga mengunjungi kantor ini. Betapa tidak. Saya secara rutin, dahulu, dikirimi Newsletter IRCICA sejak nomor-nomor awal, sekitar tahun 1985. Bahkan sepertinya sampai sekarang saya tetap dikirimi secara rutin, tapi karena tempat saya bekerja pindah, saya tidak lagi memperolehnya secara reguler - entah nyasar di mana.

Sabtu, 14 April 2012

Catatan dari Istanbul (1)

Mengunjungi “Turkish and Islamic Art Museum”, Istanbul

[Tulisan ini dimuat di Harian Repubika, Ahad, 25 September 2011, berjudul "Turkish and Islamic Art Museum, Istanbul". Perjalanan ke Istanbul ini disponsori oleh British Institute at Ankara (BIAA) - British Academy dan ASEASUK dalam rangka penelitian pengaruh Qur'an Turki Usmaniyah di Nusantara, yang merupakan bagian dari proyek yang mendalami hubungan Turki-Nusantara <http://www.ottomansoutheastasia.org/>. Terima kasih kepada Dr Andrew Peacock, Dr Annabel Teh Gallop, dan Dr Ismail Hakki Kadi yang memberikan jalan dan kemudahan untuk penelitian di Istanbul, 26 Juli - 6 Agustus 2011] 

SENIN, 25 Juli 2011, pukul 19.30 malam, pesawat Turkish Air yang saya tumpangi berangkat dari Jakarta, menuju Singapura untuk transit. Waktu tempuhnya sekitar 1,5 jam. Penumpang dari Jakarta hanya sedikit, dan banyak sekali kursi kosong. Transit di Singapura selama sekitar satu jam, kemudian pesawat melanjutkan perjalanan panjangnya menuju Istanbul.
Pintu gerbang Istana Topkapi, Istanbul.

Kamis, 12 April 2012

Mengaji

Mengaji Al-Qur’an di Negeri Melayu pada Awal Abad ke-19:
Membaca Hikayat Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi

Untuk mengetahui tradisi mushaf dan aktivitas mengaji pada awal abad ke-19, khususnya di negeri Melayu (dalam hal ini Semenanjung Malaya), ada baiknya kita membaca catatan Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi. Salah satunya ia catat dalam Kisah Pelayaran Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi dari Singapura sampai ke Kelantan. Edisi cetak batu kisah ini diterbitkan di Bandar Negeri Singapura, tahun 1254 H/1838 M. Dalam perjalanannya ke negeri Kelantan, ketika ia sampai di Pahang – seraya ia menyebutkan adanya rumah-rumah untuk belajar mengaji – bahwa kegiatan mengaji adalah “adat dalam segala negeri2 Melayu dalam dunia.” Kegiatan mengaji dilakukan sejak kecil. “Semuanya daripada kecilnya ia memulai mengaji Al-Qur’an,” meskipun “dengan tiada ia mengerti …”.
Halaman awal Hikayat Abdullah, cetakan litografi tahun 1849.
Tradisi Baca-Tulis Al-Qur'an pada Masa Lampau di Nusantara
  
Penyalinan mushaf bermula dari pengajaran baca-tulis huruf Arab, yang dilakukan di sekolah tradisional atau keluarga. Di Sulawesi Selatan, seperti ditulis oleh Anthony Reid, menyangkut sistem pengajaran baca tulis Al-Qur’an, anak-anak Makassar menghabiskan satu jam di pagi dan malam hari dengan ulama, yang mengajari mereka “bagaimana menilai, menerangkan Al-Qur’an, membaca dan menulis” dalam huruf Arab. Lebih lanjut, Islam di sini memperkenalkan huruf Arab untuk tujuan-tujuan agama dan lain-lain, tanpa mematikan sistem huruf lama mereka (ka-ga-nga). Untuk hal yang terakhir ini juga berlaku di Jawa.
Sedangkan di Aceh, sekitar tahun 1600, telah terdapat banyak sekolah tempat anak-anak lelaki belajar membaca Al-Qur’an dalam bahasa Arab. Sekolah agama seperti itu juga dilaporkan terdapat di Banten, Mindanau, dan Ternate, tempat kalangan bangsawan dan pedagang besar belajar membaca dan menulis huruf Arab.
Penyalinan dan Khazanah Mushaf di Nusantara

Dalam sebuah laporan penelitian dan digitalisasi naskah di tiga pesantren besar di Jawa Timur, ditemukan hanya ada tiga buah mushaf Al-Qur’an. Hal semacam itu juga ditemukan dalam digitalisasi naskah di sebuah pesantren di Magetan, Jawa Timur. Temuan sedikitnya naskah mushaf di pusat pendidikan Islam itu menimbulkan pertanyaan, apakah Al-Qur’an pada masa lampau memang jarang disalin, dan sedikit dipelajari? Berbeda dengan naskah fikih dan tasawuf yang di banyak ditemukan di berbagai tempat penyimpanan naskah. Katalog naskah koleksi Ali Hasjmy, Banda Aceh, menyebutkan bahwa naskah fikih mencapai 24%, tatabahasa 16%, tasawuf 15%, dan tauhid 13%, sementara naskah Al-Qur’an hanya 7%. Persentase ini dapat menimbulkan kesan bahwa pada masa lampau Al-Qur’an “kalah populer” dibandingkan fikih dan tasawuf. Tulisan singkat ini ingin sedikit memberikan gambaran mengenai tradisi penyalinan mushaf di masa lampau, khususnya pada abad ke-19 di Nusantara.

Tradisi Mushaf di Lombok

Tradisi Mushaf Al-Qur’an di Lombok
[Ali Akbar - aliakbarkaligrafi@yahoo.com

Artikel ini bisa juga diunduh di: http://academia.edu/3092390/Tradisi_penyalinan_mushaf_Al-Quran_di_Lombok
 
Tulisan singkat ini akan memfokuskan pada tradisi mushaf di Lombok, namun pada bagian awal akan menampilkan tradisi mushaf kawasan ‘tetangganya’ di sebelah timur, yaitu Sumbawa dan Bima, yang masih merupakan satu provinsi, Nusa Tenggara Barat. Beberapa mushaf dari kedua daerah ini, yang pada zaman dahulu merupakan kesultanan, menjadi bahan bandingan yang penting untuk melihat keragaman tradisi mushaf dari kawasan ini.
Koleksi Museum Negeri Nusa Tenggara Barat, Mataram.

Mushaf Bahriyah (Turki)

Dalam perbincangan tentang mushaf al-Qur'an di Indonesia, lebih khususnya mengenai "Mushaf al-Qur'an Standar Indonesia", istilah "Mushaf Bahriyah" akan sering disebut, karena masuk dalam salah satu 'jenis' Qur'an yang distandarkan di Indonesia (lihat: http://quran-nusantara.blogspot.com/2012/08/normal-0-false-false-false-in-x-none-ar_26.html). Meskipun demikian, banyak orang bertanya-tanya, seperti apakah sesungguhnya 'Mushaf Bahriyah' itu?