Mengaji Al-Qur’an di Negeri Melayu pada Awal Abad ke-19:
Membaca Hikayat Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi
Untuk mengetahui tradisi mushaf dan aktivitas mengaji pada awal abad ke-19, khususnya di negeri Melayu (dalam hal ini Semenanjung Malaya), ada baiknya kita membaca catatan Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi. Salah satunya ia catat dalam Kisah Pelayaran Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi dari Singapura sampai ke Kelantan. Edisi cetak batu kisah ini diterbitkan di Bandar Negeri Singapura, tahun 1254 H/1838 M. Dalam perjalanannya ke negeri Kelantan, ketika ia sampai di Pahang – seraya ia menyebutkan adanya rumah-rumah untuk belajar mengaji – bahwa kegiatan mengaji adalah “adat dalam segala negeri2 Melayu dalam dunia.” Kegiatan mengaji dilakukan sejak kecil. “Semuanya daripada kecilnya ia memulai mengaji Al-Qur’an,” meskipun “dengan tiada ia mengerti …”.
Ketika perjalanan Abdullah sampai di Terengganu, ia menyaksikan di negeri ini “ada enam tujuh anak2 dalam satu2 rumah mengaji Al-Qur’an.” Abdullah juga mencatat tentang kehebatan orang Terengganu dalam menghias mushaf, “kebanyakan terpuji mushaf Terengganu itu dalam negeri2 yang lain.” Namun, meski anak-anak Melayu pandai mengaji sejak kecil, juga pandai menulis Arab dan kitab-kitab keagamaan, mereka tidak dengan sendirinya pandai menulis Melayu. “Tetapi adalah sedikit orang dalam antara mereka itu yang pandai menulis.” Hal ini juga dikeluhkan Abdullah dalam catatannya di Pahang, “anak2 mengaji Al-Qur’an, bukannya bahasa Melayu;” “maka tiadalah ia belajar bahasanya …” Di negeri Kelantan, hal yang sama juga ditulis Abdullah, dengan mengutip pernyataan orang Kelantan sendiri, “tiada empat orang dalam negeri ini yang tahu menulis seperti tuan ini; ada juga sedikit2 orang tahu mengaji Al-Qur’an.” Sebagai pencinta bahasa Melayu, Abdullah dalam catatan perjalannya merasa perlu untuk membandingkan kemampuan orang Melayu dalam baca-tulis Melayu dan baca-tulis Al-Qur’an.
Yang sangat mengesankan adalah catatan Abdullah tentang aktivitas mengaji Al-Qur’an pada masa kecilnya, awal abad ke-18, yang direkam dalam otobiografinya Hikayat Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi. Edisi cap batu hikayat ini terbit pada tahun 1849. Dalam otobiografi ini Abdullah secara detail menjelaskan tentang aktivitas belajar dan mengaji pada masa kecilnya. Nenek dari pihak bapaknya adalah guru mengaji di Melaka.
“Pada zaman itu dalam negeri Melaka bahwa nenek perempuan sebelah bapaku itulah menjadi guru besar dalam Kampung Pali. Ada kira-kira dua ratus anak muridnya, daripada laki2 dan perempuan, mengaji Al-Qur’an. Dan berbagai2 orang belajar kepadanya; ada yang menulis, ada yang belajar surat dan bahasa Melayu, masing-masing dengan kehendaknya. Maka hampir2 habis seMalaka itu punya kanak-kanak datang belajar kepadanya.
Pada bagian selanjutnya Abdullah menceritakan dengan sangat rinci mengenai seluk-beluk mengaji Al-Qur’an dan belajar, di bawah judul “Permulaan Belajar Mengaji”, yang memakan lebih dari 30 halaman dalam edisi aslinya. Dalam bagian ini Abdullah merinci bagaimana aktivitas belajar-mengajar pada saat itu. Bahkan, agar lebih jelas, ia merasa perlu untuk memberi ilustrasi pada bukunya, misalnya gambar alat-alat untuk menghukum anak-anak kecil yang nakal ketika mengaji. “Adalah berbagai2 perkakas hukuman dan syeksa dalam tempat mengaji itu sedia, berbagai2 rupanya, dihukumkan atas jenis kesalahannya. Pertama2 rotan dan apit Cina.” “Perkakas syeksa” yang lainnya adalah “kayu bulat panjang kira2 sebelah dada” dan “rantai besi kira2 panjangnya sedepa atau lebih”.
Hukuman juga bisa berupa “singgang, yaitu hukuman budak2 yang bantahan dan jahat; yaitu suruh pegang tangan kiri ke telingan kanan dan tangan kanan ke telinga kiri, serta disuruh bangun duduk dengan tiada berhenti.” Dan kepada anak-anak yang malas mengaji, “dibubuh asap dalam sabut kering banyak2 kemudian ditunggingkan budak itu ke atas asap itu.” Ada pula yang “disempurnakan” dengan “dibubuhkan lada Cina kering ke dalam api itu. Maka pedihnya asap itu bukan barang2; habis keluar air mata dan air hidung.” Ini baru sebagian jenis “syeksa”. Abdullah melengkapi ceritanya dengan beberapa jenis hukuman lainnya, yang masing-masing “dihukumkan atas jenis kesalahannya”.
Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi sendiri juga dikenal sebagai seorang penyalin mushaf. “Maka banyaklah aku beroleh upah, sebab itu menjadi sukacitalah aku sebab mendapat wang itu. Maka makinlah bertambah2 rajinku menulis itu, tiada berhenti malam siang.” Kisah Abdullah dalam hikayat ini menggambarkan dengan lengkap tradisi belajar Al-Qur’an di kawasan Melayu, dan bagaimana disiplin sejak kecil ditegakkan dengan keras untuk urusan ini.
Di sisi lain, kisah Abdullah ini, dan beberapa fakta historis di beberapa kawasan Nusantara seperti telah dikemukakan di depan, mengisyaratkan betapa tradisi di sekitar Al-Qur’an – khususnya yang berkaitan dengan pembelajaran – cukup merata di hampir seluruh kawasan masyarakat muslim di Nusantara. Hal ini, dengan demikian, menunjukkan bahwa penyalinan mushaf pada waktu yang sama juga merata di semua kawasan itu. Namun, mengingat kawasan Nusantara demikian luas, dan masing-masing memiliki latar budaya yang beragam, corak mushaf yang dihasilkannya pun berbeda-beda, baik dalam hal kaligrafi maupun iluminasi.
Sumber: Amin Sweeney, Karya Lengkap Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi, Jilid 3 (Jakarta: KPG, 2008).
[Ali Akbar - aliakbarkaligrafi@yahoo.com]
Sumber: Amin Sweeney, Karya Lengkap Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi, Jilid 3 (Jakarta: KPG, 2008).
[Ali Akbar - aliakbarkaligrafi@yahoo.com]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar