Mengunjungi “Turkish and Islamic Art Museum”, Istanbul
Pintu gerbang Istana Topkapi, Istanbul.
Rupanya penumpang baru banyak masuk dari Singapura. Meskipun demikian tidak semua kursi terisi penumpang. Banyak kursi kosong, terutama di jajaran tengah, dan yang beruntung adalah penumpang di sebelahnya, karena bisa memanfaatkannya untuk tidur berselonjor. Saya meminta duduk di pinggir jendela, agar bisa melihat pemandangan dari jendela pesawat.
Pesawat memasuki Istanbul hari masih pagi, berkabut. Pemandangan tidak terlalu jelas, dan yang terlihat dari kejauhan adalah lampu-lampu kota yang masih menyala. Lampu-lampu kapal di pantai yang juga masih menyala memantulkan sinarnya di air laut, sehingga tampak indah. Pesawat Boeing 747 berbadan lebar akhirnya mendarat di Istanbul dengan mulus.
Sejak setahun lalu, untuk memasuki Istanbul cukup mudah, karena tidak lagi memerlukan visa yang perlu diurus di Kedutaan Besar Turki di Jakarta. Visa yang diberlakukan adalah visa on arrival, dengan cara membayar langsung di airport, begitu penumpang sampai di Istanbul. Tarif visa adalah US$25, atau jika mau dibayar dengan Euro, €20. Saya sempat kebingungan karena semula petugas visa tidak mau menerima mata uang Euro dan menyarankan saya untuk menukarkan uang terlebih dahulu. Tapi karena penukaran uang berada di luar, setelah pintu keluar imigrasi, akhirnya seorang petugas yang lain mau menerima Euro. Sebenarnya agak aneh mengapa petugas tidak mau menerima Euro, karena Euro – saya tahu kemudian – pada kenyataannya dapat digunakan secara luas untuk berbagai transaksi sehari-hari.
Perjalanan saya adalah untuk penelitian mengenai pengaruh Turki Usmaniyah di Asia Tenggara, khususnya dalam hal seni kaligrafi dan Al-Qur’an, atas sponsor sebuah lembaga. Seperti saran seorang kawan, saya langsung menuju Sultanahmet, kota kuno dengan peninggalan sejarah yang kaya sekali. Petugas di bagian informasi mememberi petunjuk agar saya menggunakan trem (di sini disebut Metro). Benar, ternyata nyaman sekali perjalanan menuju Sultanahmet. Saya pikir, untung tadi tidak menggunakan taksi! Untuk menggunakan jasa trem kita harus membeli token (berupa semacam koin, berwarna merah) seharga 1,75 TL (Turkish Lira, mata uang Turki). Harga mata uang lira sekitar separuh mata uang Euro. Jadi, jika dikurskan dengan rupiah, 1 Lira adalah sekitar Rp6000. Untuk menuju Sultanahmet diperlukan dua token, karena harus pindah trem.
Saya tidak terlalu banyak memandang ke luar jendela trem, karena takut stasiun yang saya tuju terlewati. Saya selalu melihat ke peta rute perjalanan trem yang tertempel di atas pintu keluar-masuk penumpang. Namun sesekali saya dapat mencuri pandang, dan melihat bangunan-bangunan tua berupa masjid, dengan kubah besar dan menara lancip yang khas. Nama-nama tempat di sini sangat asing, bahkan diejanya pun susah! Lebih dari itu, papan-papan nama – selain untuk kepentingan turisme internasional – menggunakan bahasa Turki, sehingga sering sulit dimengerti!
Keluar dari stasiun trem hari masih pagi, sekitar pukul 7.30, ketika orang masih ramai berangkat kerja. Saya merasa tidak terlalu buru-buru. Sambil menenteng tas yang berisi kamera dan laptop, saya menyeret koper menuju taman di luar halte trem. Di seberang taman ini, rupanya, berdiri gagah Masjid Biru yang terkenal itu! Huh! Seakan-akan masjid itu mengucapkan, “Selamat datang di Istanbul!”
Tidak berapa lama saya duduk “menata pikiran” sambil menikmati taman, tiba-tiba datang seorang laki-laki berumur 60-an tahun menyapa, dan akhirnya menawarkan jasa penginapan. Setelah bicara ke sana kemari, akhirnya saya setuju untuk melihat hotelnya. Rupanya tidak begitu jauh dari Masjid Biru, dan sekaligus Turkish and Islamic Art Museum – salah satu museum penting yang ingin saya tuju. Setelah melihat tempatnya, akhirnya saya setuju menginap di hotel yang dia tawarkan, dengan harga €30 per malam. Pada awal pembicaraan dia menawarkan harga €50. Jadi, jika Anda ke Istanbul, jangan takut untuk berani menawar! Dengan harga segitu, saya pikir, masih masuk akal, karena hotelnya masih tampak baru. Saya tinggal di lantai 4, lantai paling atas hotel kecil dengan 10 kamar ini. Dari jendela hotel tampak Masjid Little Hagia Sophia dan Laut Marmara. Hotelnya terletak di belakang Masjid Biru, melewati jalanan dan gang. Menuju hotelnya itu saya jadi teringat kisah dalam novel Sang Kaligrafer Terakhir yang berlatar kehidupan di Istanbul pada abad ke-19. Juga mengingatkan saya pada novel My Name is Red karya Orhan Pamuk, pengarang tersohor di sini, yang pernah memenangi Nobel Sastra.
Memasuki Ramadan, sebagian wajah kota berbenah. Meskipun Turki adalah penganut kuat sekularisme, rupanya nafas Ramadan yang tinggal baberapa hari lagi mulai terasa. Di lapangan sebelah Masjid Biru didirikan lapak-lapak dari kayu untuk “pasar kaget” menyambut lebaran. Para tukang sibuk menyelesaikan pekerjaannya.
Turkish and Islamic Art Museum
Di seberang Masjid Biru berdiri Turkish and Islamic Art Museum, sebuah museum pemerintah yang menyimpan ribuan koleksi penting. Bangunan museum ini cukup besar, dengan pohon rindang bertengger di tengah-tengah kawasan museum. Koleksi museum ini berupa batu-batu inskripsi, Al-Qur’an, karpet, keramik, dan lain-lain yang pada umumnya berasal dari rentang abad ke-8 hingga ke-19 M. Koleksi Al-Qur’an di museum ini sangat banyak, dan amat berharga. Tahap-tahap perjalanan sejarah Al-Qur'an dapat dilihat di museum ini. Asal mushafnya pun beragam, hampir dari seluruh wilayah dunia Islam, termasuk Afrika Utara, Moghul India, dan tentu saja yang paling banyak berasal dari Turki sendiri. Namun disayangkan, tampaknya tidak ada mushaf yang berasal dari Nusantara.
Perjalanan sejarah penyalinan Al-Qur'an dapat ditelusuri di museum ini, sejak mushaf ditulis di atas perkamen (parchment, dari kulit binatang) hingga di atas kertas dengan iluminasi indah. Mushaf Al-Qur'an dengan bahan perkamen biasanya berbentuk lembaran melebar, dengan jenis khat Kufi yang kaku – berbeda dengan mushaf yang ditulis di atas kertas yang berbentuk buku. Ketika mushaf ditulis di atas perkamen, jenis kaligrafi yang digunakan adalah Kufi, dengan gaya tulisan melebar, horizontal, yang berlaku hingga sekitar abad ke-10 M. Sejak abad ke-11 tradisi itu berubah, dan beralih dalam bentuk buku seperti yang hingga sekarang berlaku. Sejak masa itu pula gaya kaligrafi dalam mushaf Al-Qur'an berubah menjadi lebih lentur dan ornamental. Perubahan gaya kaligrafi ini pun kemudian diikuti dengan perkembangan iluminasi (hiasan) mushaf yang sangat pesat. Penghiasan mushaf berlangsung di seluruh dunia Islam.
Namun, untuk bisa melakukan penelitian di museum ini agaknya tidak mudah. Seorang kawan, jauh-jauh hari, pernah menginformasikan hal itu kepada saya. Agaknya dia tidak terlalu salah! Untuk dapat melakukan penelitian di museum ini, seseorang harus mengajukan izin yang prosesnya memakan waktu sekitar enam bulan. Masa berlaku izin, setelah izin itu keluar, dibatasi hingga tiga bulan. Dan sebelum melakukan penelitian lapangan, harus memberitahu paling lambat dua minggu sebelumnya. Prosedur ini tidak selalu mudah bagi orang yang berasal dari jauh, dan tidak mengerti bahasa Turki – karena dalam korespondensi mereka menggunakan bahasa Turki. Sebenarnya prosedur yang agak merepotkan itu sudah saya lalui, dan saya sudah mengantongi izin untuk melakukan penelitian. Namun, karena kedatangan saya tiba-tiba, mereka tidak mau menerima. Petugas bagian naskah juga katanya sedang ditugaskan di museum lain. “Maaf saya tidak bisa membantu Anda,” kata petugas Tata Usaha Museum, tanpa basa-basi. Saya terhenyak beberapa saat, dan tanpa “melawan”, saya keluar museum. Beberapa tempat lain, museum dan perpustakaan, saya pikir, masih bisa saya kunjungi.
Keluar museum, udara sangat panas. Sementara, saya melihat banyak burung beterbangan dan bertengger di atas kubah dan menara Masjid Biru. Di luar sana juga banyak pohon-pohon dengan daun hijau lebat. Istanbul masih terasa indah…*
[Ali Akbar - aliakbarkaligrafi@yahoo.com]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar