Penyalinan dan Khazanah Mushaf di Nusantara
Dalam sebuah laporan penelitian dan digitalisasi naskah di tiga pesantren besar di Jawa Timur, ditemukan hanya ada tiga buah mushaf Al-Qur’an. Hal semacam itu juga ditemukan dalam digitalisasi naskah di sebuah pesantren di Magetan, Jawa Timur. Temuan sedikitnya naskah mushaf di pusat pendidikan Islam itu menimbulkan pertanyaan, apakah Al-Qur’an pada masa lampau memang jarang disalin, dan sedikit dipelajari? Berbeda dengan naskah fikih dan tasawuf yang di banyak ditemukan di berbagai tempat penyimpanan naskah. Katalog naskah koleksi Ali Hasjmy, Banda Aceh, menyebutkan bahwa naskah fikih mencapai 24%, tatabahasa 16%, tasawuf 15%, dan tauhid 13%, sementara naskah Al-Qur’an hanya 7%. Persentase ini dapat menimbulkan kesan bahwa pada masa lampau Al-Qur’an “kalah populer” dibandingkan fikih dan tasawuf. Tulisan singkat ini ingin sedikit memberikan gambaran mengenai tradisi penyalinan mushaf di masa lampau, khususnya pada abad ke-19 di Nusantara.
Penyalinan mushaf dilakukan oleh berbagai lapisan masyarakat Islam, baik para penyalin profesional, santri, maupun para ulama. Pada awal abad ke-19 Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi memperoleh uang dari menyalin Al-Qur’an. Para santri di pesantren-pesantren di berbagai daerah di Nusantara menyalin Al-Qur’an terutama untuk kepentingan pengajaran. Beberapa mushaf di Indonesia dikatakan ditulis oleh ulama-ulama terkenal, misalnya Mushaf Syekh Abdul Wahab dari Aceh, Mushaf Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dari Banjarmasin, dan Mushaf Mangkunegara I (1725-1796 M) dari Surakarta. Namun bisa jadi di antara tokoh tersebut tidak menulis mushaf secara langsung, melainkan sebagai pemilik atau pemesan. Penyalinan juga dilakukan oleh para ulama yang memperdalam ilmu agama di Mekah. Meskipun tidak dilaporkan menyalin Al-Qur’an, Abdurra’uf Singkel dan Yusuf Makassar menyalin beberapa naskah tasawuf. Pada abad ke-16 dan 17 M, Mekah selain berfungsi sebagai tempat menunaikan haji, juga merupakan pusat studi Islam.
Sejarah Islam menunjukkan bahwa para penyokong seni Islam, termasuk yang terpenting mushaf, adalah para raja atau elite penguasa. Keterlibatan para raja dan khalifah dalam penyalinan mushaf telah menjadi tradisi kerajaan-kerajaan Islam, dan mereka selalu menjadi pelindung yang paling penting. Di Indonesia demikian pula, para sultan atau bangsawan menjadi pemrakarsa penyalinan mushaf, seperti di Palembang, Surakarta, Yogyakarta, dan dalin-lain.
Penyalinan Al-Qur’an yang disponsori oleh kerajaan pada umumnya indah, baik dari segi kaligrafi maupun iluminasinya. Iluminasinya sering berlatarkan emas, dengan penggarapan detail yang baik, mementingkan segi keindahan mushaf. Sementara, mushaf yang dibuat oleh masyarakat Islam pada umumnya, termasuk kalangan pesantren, bersifat sederhana, atau amat sederhana, karena ketelitian penggarapan dan fungsinya berbeda. Mushaf bagi kalangan ini adalah untuk dibaca atau untuk keperluan pengajaran. Oleh karena itu, baik kertas, iluminasi maupun kaligrafinya jauh lebih sederhana. Hal tersebut terlihat jelas misalnya pada 12 naskah mushaf berkode AW (Abdurrahman Wahid) koleksi Perpustakaan Nasional RI yang diperkirakan dari khazanah pesantren.
Di kawasan Asia Tenggara, naskah-naskah mushaf di Indonesia tetap merupakan yang terbanyak, dimiliki baik oleh pribadi, museum, masjid, maupun pesantren. Sejauh yang tercatat hingga kini, di dalam negeri dan luar negeri tercatat berjumlah 658 mushaf—tentu saja masih bersifat sementara. Masih banyak koleksi mushaf di berbagai kota dan daerah lain yang belum tercakup dalam daftar di atas.
Di kawasan Asia Tenggara, naskah-naskah mushaf di Indonesia tetap merupakan yang terbanyak, dimiliki baik oleh pribadi, museum, masjid, maupun pesantren. Sejauh yang tercatat hingga kini, di dalam negeri dan luar negeri tercatat berjumlah 658 mushaf—tentu saja masih bersifat sementara. Masih banyak koleksi mushaf di berbagai kota dan daerah lain yang belum tercakup dalam daftar di atas.
[Ali Akbar - aliakbarkaligrafi@yahoo.com]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar