Kamis, 25 Juli 2013

Qur'an Kuno-kunoan (4)

Qur'an, pelepah pisang, anak Sunan Bonang, muslim Moro 

Berita foto di bawah ini dimuat di koran Media Indonesia 16 Juli 2013 dan koran Republika 17 Juli 2013, dan setahun lalu, pada bulan Ramadan juga, dimuat di koran Media Indonesia 12 Agustus 2012. Ini tentang sebuah Qur'an yang terdapat di sebuah pesantren di Bogor. Seperti ditulis di keterangan foto, Qur'an raksasa ini konon dibuat dari pelepah daun pisang, ditulis oleh anak Sunan Bonang, dan merupakan pemberian muslim Moro, Filipina Selatan. Wah!
Sebenarnya, masing-masing informasi 'luar biasa' itu perlu diklarifikasi. Pelepah daun pisang sebagai bahan untuk pembuatan kertas agaknya kurang lazim; penulisnya anak Sunan Bonang perlu dibuktikan; demikian pula muslim Moro yang memberikan Qur'an ini, apakah ada catatan historisnya? 
Pemuatan berita Qur'an ini sepertinya memang agak heboh, bahkan kemarin (24-7-2013) saya dengar juga disiarkan di sebuah program televisi nasional. Saya sendiri belum melihat Qur'an itu, dan memang ingin sekali ke sana nanti untuk melihat langsung. Tapi, sebagai bahan bandingan, boleh juga baca tiga artikel di blog ini tentang Qur'an 'kuno-kunoan':
(1) "Qur'an Kuno-kunoan": http://quran-nusantara.blogspot.com/2012/08/mushaf-quran-kuno-kunoan-ali-akbar.html
(2) "Menyoal Qur'an Bojongleles, Banten": http://quran-nusantara.blogspot.com/2013/03/quran-kuno-kunoan-2.html
(3) "Pasar Lokal dan Internasional": http://quran-nusantara.blogspot.com/2013/04/quran-kuno-kunoan-3.html

Media Indonesia, 16 Juli 2013.

Republika, 17 Juli 2013.


Media Indonesia, 12 Agustus 2012.

Menghormati Qur'an

Penghargaan kaum Muslim terhadap Qur'an

Dari pengalaman di berbagai tempat ketika 'memburu' Qur'an, saya memperoleh banyak pelajaran, dan semakin berhati-hati memperlakukan Qur'an. Karena sering menemui keterbatasan fasilitas di lapangan, kadang-kadang saya lupa dan khilaf dalam memperlakukan Qur'an. Misalnya, di sebuah museum di Malaysia utara, ketika tidak menemui meja yang tepat untuk menaruh Qur'an untuk difoto, saya menggunakan kursi sebagai tempat untuk meletakkan Qur'an. Pegawai museum yang melihat segera mencegah tindakan tak pantas saya, "Ini 'kan biasa untuk duduk?" Saya harus segera paham maksudnya.
Sebuah banner pameran yang memuat Qur'an dari Pulau Penyengat, Kepulauan Riau.

Koleksi Brunei Darussalam

Brunei Darussalam
Koleksi Balai Pameran Islam Sultan Haji Hassanal Bolkiah

Koleksi Qur'an di Brunei Darussalam barangkali lebih banyak di perorangan, karena sering terdengar kabar bahwa ada (sejumlah) pedagang naskah di Indonesia yang menjual naskahnya kepada (katanya) warga Brunei. Namun berita itu sulit ditelusuri, karena penjualan naskah-naskah itu tidak tercatat, sementara pemiliknya pun tidak pernah mengumumkan koleksinya.
Pada Oktober 2008 saya pernah mengunjungi Perpustakaan Universiti Brunei Darussalam untuk melihat koleksi manuskrip Qur'annya, namun rupanya urusan tidak mudah, sehingga saya gagal memperoleh informasi yang pasti.
Sementara itu, yang membuat saya lega, di Balai Pameran Islam Sultan Haji Hassanal Bolkiah yang gedungnya menyatu dengan Jabatan Mufti (kantor urusan fatwa), di Bandar Seri Begawan, terdapat sejumlah koleksi naskah, termasuk di antaranya Qur'an. Balai ini mengoleksi banyak benda peninggalan Islam, tidak hanya dari Nusantara, namun juga dari sejumlah negeri Islam. Koleksinya beragam, dari pedang, tasbih, tongkat, hingga astrolab. 
Koleksi naskahnya, yang saya hitung secara cepat waktu itu, ada 231 naskah dari berbagai disiplin ilmu dan dari berbagai negeri Islam. Dari jumlah keseluruhan tersebut, 44 di antaranya dari Nusantara, dan 15 di antaranya adalah Qur'an. Kenusantaraannya saya identifikasi dari ciri-ciri kodikologis lazimnya naskah Nusantara. Sayangnya, Qur'an-Qur'an koleksi Balai ini tidak (atau belum?) disertai caption, sehingga pengunjung akan sulit membedakan mana Qur'an dari India, misalnya, atau negeri Islam lainnya, dengan Qur'an dari Nusantara. Kesulitan itu ditambah lagi dengan "haram"-nya memotret semua koleksi Balai, sehingga kajian tidak bisa dilanjutkan di 'rumah' dalam suasana yang lebih nyaman...
Tapi, bisa jadi, keadaan hampir lima tahun lalu itu sekarang sudah berbeda. Semoga.

 
Kunjungan tahun 2008.

Senin, 22 April 2013

Kaligrafi Qur'an Banten

Ciri khas kaligrafi Qur’an Banten

Naskah-naskah Qur’an Banten memiliki ciri khat NaskhÄ« yang dapat dikatakan istimewa dalam tradisi penyalinan mushaf Nusantara―sesuatu yang belum ditemukan dalam tradisi kaligrafi di wilayah lain. Dari beberapa mushaf yang ada, kita dapat menemukan “gaya tulisan Banten”.
Secara umum, para penyalin Qur'an di Banten pada masa lalu dapat dikatakan cukup konsisten dengan gaya Naskhī khasnya, dan gaya khat ini ditemukan di sejumlah naskah di beberapa tempat. Khat tersebut terlihat tidak hanya untuk menulis teks Al-Qur'an, yang biasanya dianggap lebih istimewa, namun juga untuk menulis terjemahannya dalam bahasa Jawa (PNRI A.54).
 
Mushaf Banten koleksi PNRI (A.50). (Foto atas kebaikan James Bennett).

Minggu, 07 April 2013

Bibliografi Mushaf Standar (1)

Mengenal Mushaf Standar Indonesia

Di bawah ini ada empat sumber dan kajian tentang Mushaf Standar Indonesia. Bahan-bahan tersebut terasa semakin penting, karena banyak kalangan masyarakat Indonesia yang belum mengetahui adanya Mushaf Standar Indonesia. Dan belakangan ini, dengan semakin meluasnya peredaran "Mushaf al-Madinah an-Nabawiyyah" (atau sering disebut sebagai "Qur'an Saudi") di Indonesia, banyak orang mempersoalkan Mushaf Standar, bahkan sebagian "menggugat" dan mempertanyakan urgensi penetapan Mushaf Standar. Satu hal yang mungkin perlu dicatat, bahwa penetapan Mushaf Standar (1984) itu mendahului "lahir"nya "Qur'an Saudi" yang mulai dicetak oleh Mujamma' al-Malik Fahd pada Januari 1985 (Jumadil Awal 1405 H).
Tulisan-tulisan di bawah ini akan memberikan pemahaman latar belakang historis penetapan Mushaf Standar di Indonesia (bisa diunduh melalui tautan yang tersedia):
1. Buku "Mengenal Mushaf Standar Indonesia", diterbitkan oleh Kementerian Agama RI, tahun 1984-1985
2. E. Badri Yunardi, "Sejarah Lahirnya Mushaf Standar Indonesia"  http://academia.edu/3877006/Sejarah_Lahirnya_Mushaf_Standar_Indonesia_E._Badri_Yunardi
3. Mazmur Sya'roni, "Prinsip-prinsip Penulisan Mushaf Standar Indonesia" http://academia.edu/3877012/Prinsip-prinsip_Penulisan_Mushaf_Al-Quran_Standar_Indonesia_Mazmur_Syaroni_
4. H Abdul Aziz Sidqi, MA, "Sekilas tentang Mushaf Standar Indonesia" http://academia.edu/3877376/Sekilas_tentang_Mushaf_Standar_Indonesia_Abdul_Aziz_Sidqi_

"Mushaf Standar Indonesia" terbitan Sa'diyah Putra, Jakarta, 1985.

Senin, 01 April 2013

Belum diketahui

Qur’an cetakan awal yang belum diketahui asal-usulnya

Asal-usul Qur’an cetakan awal (early printed Qur’an) yang beredar di Asia Tenggara pada paruh akhir abad ke-19, berdasarkan temuan hingga kini, tidaklah banyak. Pusat-pusat percetakan yang diketahui, yaitu Palembang, Singapura, Bombay, serta Turki. Di antara mushaf tersebut, yang paling tua, dicetak di Palembang pada 1848 dan 1854 (lihat http://quran-nusantara.blogspot.com/2012/04/mushaf-cetakan-palembang-1848-mushaf.html dan http://quran-nusantara.blogspot.com/2012/04/quran-cetakan-palembang-1854-kolofon.html). Cetakan lainnya, yang beredar luas di kepulauan Nusantara pada akhir abad ke-19 adalah cetakan Singapura (lihat http://quran-nusantara.blogspot.com/2012/09/mushaf-cetakan-singapura.html) dan cetakan Bombay, India (lihat http://quran-nusantara.blogspot.com/2012/04/mushaf-cetakan-india-koleksi-kms.html#more). Banyak di antara mushaf-mushaf tersebut yang memiliki kolofon (catatan naskah) di bagian belakang mushaf, sehingga tidak ada keraguan tentang asal-usul cetakannya.
Salah satu cetakan yang belum diketahui asal-usulnya adalah mushaf berhuruf tebal yang dari beberapa segi cukup ‘asing’ (lihat gambar). Mushaf tersebut terdiri atas 10 jilid, masing-masing jilid berisi 3 juz. Setiap halaman hanya terdiri atas tujuh baris, suatu hal yang bisa dikatakan tidak pernah ditemui dalam tradisi penyalinan mushaf di Asia Tenggara. Mushaf ini diketahui di tiga tempat, pertama di Masjid Agung Surakarta (10 jilid), Pontianak (satu jilid), dan milik seseorang di Tangerang (10 jilid). Mushaf ini tampaknya tidak beredar luas seperti halnya cetakan Singapura dan Bombay.
Awal Surah Maryam.

Qur'an Kuno-kunoan (3)

Qur’an Kuno-kunoan (3)
Pasar Lokal dan Internasional

Dalam sebuah festival Al-Qur’an yang pertama kali digelar di Jakarta tahun 2011, ada seorang kolektor atau pedagang naskah turut ambil bagian dengan memajang macam-macam koleksinya, berupa naskah keagamaan dan sejumlah mushaf Qur’an. Kebanyakan Qur’an yang dipajang itu, menurut dugaan kuat saya, bukanlah Qur’an tua seperti yang dikesankan. Dilihat dari kertas, tinta, warna iluminasi, serta model penyalinannya, secara pribadi saya yakin bahwa sejumlah Qur’an itu “kuno-kunoan”. Sang kolektor itu rupanya tidak tahu, dan menduga bahwa koleksinya adalah benda kuno. Menurut dia, sekurang-kurangnya berumur 150 tahun. Tetapi, secara fisik, saya yakin bahwa mushaf-mushaf yang umumnya berukuran agak besar itu belum lama dibuat. Tidak semua yang dipamerkan "kuno-kunoan". Ada sejumlah naskah, umumnya berukuran 'wajar', yang memang benar-benar kuno.
Selain berbahan kertas, beberapa mushaf yang dipajang berbahan daun lontar yang dijahit sedemikian rupa sehingga membentuk seperti lembaran kertas. Dari bahan yang digunakan, ini cukup aneh. Sejauh yang saya ketahui hingga kini, mushaf kuno tidak pernah ditulis di atas daun lontar. Daun lontar memang digunakan untuk menulis teks, bahkan hingga kini di Bali, namun untuk teks berhuruf Jawa. Model jilidannya berupa helai daun yang dirangkai/diikat dengan tali, dengan “cover” kayu selebar daun lontar itu yang ditangkupkan.
 
Sejumlah "Qur'an kuno-kunoan".