Sabtu, 15 Februari 2020

Watermark, Asal, dan Usia Naskah


Cap kertas "Three Crescents".
Untuk mengkaji suatu naskah, asal dan usia-nya perlu diketahui terlebih dahulu, atau sekurang-kurangnya diperkirakan, sebelum mengkaji aspek lainnya secara teliti. Sebab, suatu naskah atau teks tentu saja tidak jatuh begitu saja dari langit. Naskah disalin pasti dalam ruang dan waktu historis tertentu – dalam konteks tertentu. Persoalannya, naskah-naskah Nusantara kebanyakan tidak memiliki kolofon (catatan naskah) – entah karena memang tidak ditulis oleh penyalinnya, atau karena naskahnya rusak dimakan waktu. Oleh karena itu, perlu dicari berbagai cara untuk mengetahui asal dan usia naskah. Tentu saja banyak cara untuk mengenali asal dan usia naskah, seperti dari bahasa (ini yang paling mudah!), bahan, tulisan, jilidan, iluminasi, dan lain-lain, tergantung ketersediaan informasi yang ada pada naskah yang dikaji. Karena mushaf Qur’an dalam bahasa Arab, pengkaji mushaf sering menjumpai kesulitan untuk mengidentifikasi asal dan usia mushaf. Nah, satu aspek lain yang bisa ditambahkan dalam hal ini adalah kertas.

        Ini sekadar cerita pengalaman. Di sebuah masjid di Singaraja, Bali, saya pernah menjumpai sebuah Qur’an yang menurut petugas masjid disalin oleh penulis setempat. Namun, berdasarkan kertasnya (didukung oleh aspek-aspek lainnya), saya ‘yakin’ bahwa naskah tersebut berasal dari Aceh – atau sekurang-kurangnya terkait dengan Aceh – bukan hasil salinan penulis setempat. Kertas dengan cap Three Crescents (tiga bulan sabit, gambar terlampir) banyak digunakan di Aceh. Kertas asal Italia itu juga digunakan oleh masyarakat Jawi di Hijaz (orang Nusantara yang tinggal di jazirah Arabia zaman dahulu).
        Sementara itu, dalam mengkaji naskah, hendaklah kita tidak buru-buru percaya kepada semua informasi yang tertulis di naskah. Di halaman depan sebuah naskah di Palembang tercantum catatan pewarisan bertarikh 1277 H (1860). Tetapi, melihat kertas naskahnya, dengan watermark J Honig & Zoonen (gambar terlampir), saya bisa ‘yakin’ bahwa naskah tersebut jauh lebih tua. Cap kertas J Honig & Zoonen digunakan di (beberapa) Qur’an Nusantara paruh kedua abad ke-18, dan yang paling muda adalah salinan 1804 dari Bone (Gallop 2010). Oleh karena itu, kita bolehlah berasumsi bahwa naskah dengan kertas J Honig & Zoonen disalin pada abad ke18, atau awal abad ke-19 – bukan pertengahan atau akhir abad ke-19!
Cap kertas "J Honig & Zoonen".
        Namun kiranya di sini perlu buru-buru ditambahkan, bahwa cap kertas J Honig & Zoonen mempunyai dua variasi, yaitu ber-shadow dan tanpa shadow. Yang dimaksud shadow ialah semacam bayangan di sepanjang garis-garis vertikal kertas (chain lines) (lihat gambar). Shadow tersebut adalah ciri kertas eropa yang lebih lebih tua, yaitu abad ke-18 hingga permulaan abad ke-19. Di samping itu, ada pula kertas dengan cap J Honig & Zoonen tanpa shadow. Diperkirakan, jenis ini lebih muda, yaitu pertenghan atau akhir abad ke-19. (Maaf, kita belum menemukan naskah bertarikh dengan cap J Honig & Zoonen tanpa shadow yang bisa dijadikan pegangan). Menurut Russell Jones, ahli kertas eropa, jenis tanpa shadow digunakan dalam naskah-naskah Nusantara pada pertengahan hingga akhir abad ke-19. Perbedaan tersebut karena adanya perubahan dalam teknologi pembuatan kertas eropa.
        Meskipun identifikasi terhadap cap kertas (hampir) pasti ada dalam katalog-katalog naskah Nusantara yang telah terbit, namun tampaknya belum banyak – untuk tidak mengatakan ‘belum ada’ – pengkaji naskah yang mempelajari dan mencoba mengklasifikasinya. Sangat mungkin, ada kecenderungan-kecenderungan tertentu dalam penggunaan kertas, termasuk watermark-nya. Bagaimanapun, perhatian  terhadap hal yang sering dianggap remeh ini penting, karena suatu teks perlu ‘dipastikan’ konteksnya: ruang dan waktu ketika ia hidup di masa lampau.


1 komentar: