Catatan dari Istanbul (3)
Memandang Istanbul dari Bosphorus
“Jka Anda belum pergi ke Bosphorus, berarti Anda belum ke Istanbul,” kata Dr Ismail Hakki Kadi, di tengah panas terik menjelang kami sampai di pinggir pantai. Dari Sultanahmet kami berjalan kaki saja, sejauh kira-kira setengah kilometer. Sepertinya jalan kaki sudah menjadi bagian hidup kota Istanbul, karena di pelosok mana pun di kota ini orang-orang selalu bersliweran berjalan kaki.
Salah satu alasannya, karena memang antarobjek wisata di sini – utamanya di Sultanahmet, pusat kota Istanbul – saling berdekatan. Jadi cukup dijangkau dengan jalan kaki saja. Di samping itu, fasilitas untuk jalan kaki juga cukup baik. Memang tidak semua jalan besar memiliki pedestrian (trotoar) yang lebar, tapi pada umumnya cukup nyaman untuk berjalan kaki. (Yang pasti tidak seperti Jalan Margonda Raya Depok, yang tidak ramah, bahkan bisa dikatakan ‘membunuh’ para pejalan kaki!). Sambil menghayati masa lalu, menyusuri kota tua seperti ini memang lebih asyik dengan jalan kaki.
Selat Bosphorus adalah pilihan untuk berwisata, selain “wisata masa lalu” di Istanbul. Menghayati masa lalu kadang-kadang perlu mengernyitkan dahi, karena sering tidak mudah memutar waktu ke ratusan tahun yang lalu, bahkan sebelum masehi. Nah, di Selat Bosphorus kita bisa melupakan itu semua. Di sini kita bisa memandang air laut dan perahu-perahu bersliweran ke sana kemari. Di atas jembatan kita lihat banyak sekali orang mancing. Sementara di bawahnya, di sepanjang jembatan, berderet kafe dan rumah-rumah makan. Dan lihatlah, di langit ratusan burung elang terbang ke sana kemari tak kenal lelah. Kadang-kadang meluncur tenang tanpa mengepakkan sayap seakan-akan memberi kesempatan untuk difoto.
Ada banyak pilihan wisata di selat yang membelah daratan Eropa dan Asia ini. Dari yang mahal sampai yang murah, untuk turis kere - seperti saya. Untuk kaum jet set, mereka akan pilih perahu yang mewah, dengan perahu yang siap melesat ke kejauhan selat. Ada pula kapal pesiar besar, juga sedang. Tarifnya tentu mahal. Nah untuk pilihan yang ekonomis, kita hanya perlu membayar 10 lira (sekitar 60.000 rupiah). Ongkos itu untuk membayar perahu ukuran sedang, mengitari selat dengan durasi satu jam lebih. Murah meriah!
Jadilah saya naik perahu itu bersama sekitar 50 penumpang lainnya. Di tengah selat kita bisa memandang kota Istanbul, mengambil jarak, sambil boleh juga membayangkan masa lalu. Dari zaman ke zaman, sepanjang masa, pasti selat ini selalu sibuk, tak pernah istirahat. Dari sini kita bisa melihat menara-menara lancip beberapa masjid besar. Daratan Eropa dan Asia di sisi kiri dan kanan kita.
Azan magrib mengumandang di kejauhan, ketika perahu sudah melaju ke tengah selat. Lampu-lampu kekuningan yang menyinari kubah dan menara mempertegas suara azan itu. Bersahutan. Menjelang malam, lampu-lampu menyala di sepanjang daratan yang kita lintasi. Dan lampu-lampu masjid di bibir pantai membekaskan bayangan di air laut. Bergoyang-goyang. Sementara, di kejauhan sana, di atas kerlip-kerlip lampu kota Istanbul, bulan sabit tanggal tiga Ramadhan tampak seperti melayang lepas di tengah gelap langit malam…
[Ali Akbar - aliakbarkaligrafi@yahoo.com]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar