Selasa, 23 April 2024

Bukan disalin di Sambas

Jangan langsung percaya! (13)

        Kita perlu kritis, jangan langsung percaya terhadap semua yang tertulis di manuskrip! Di bagian akhir mushaf ini tertulis: "Selesai di Sambas 2 Safar sanat 1071, ditulis al-Haj Asy'ari al-Hafiz adanya". Tetapi, apakah fakta-fakta lain dalam naskah ini mendukung?
Iluminasi 'wadana gapura' di awal mushaf.

        Melihat iluminasi awal mushaf ini yang bergaya 'wadana gapura', perlu dicurigai jika naskah ini disalin di Sambas! Hiasan bergaya seperti itu kita temukan di banyak naskah Jawa. Iluminasi tengah (awal Surah al-Kahf) dan iluminasi akhir, juga tampak ke-Jawa-annya. 'Wadana gapura' sebenarnya jarang digunakan untuk menghias Qur'an, tetapi biasanya untuk naskah-naskah berhuruf Jawa. Kejawaan mushaf ini juga tampak dari penggunaan tanda juz berupa setengah lingkaran di bagian kanan dan kiri halaman.
        Kejawaan juga diperkuat adanya catatan di belakang mushaf, tertulis dalam huruf Pegon: "Kiyahi Faqih Hasim bin Pengulu Dipaningrat". Tampak bahwa tulisan dalam bahasa Jawa tersebut lebih layak dipercaya. Meskipun bukan digores oleh penyalin mushafnya, namun jelas menunjukkan kejawaan, dan sosok ini mungkin patut dikaitkan dengan kepemilikan mushaf.
        Tentang waktu, Safar 1071 Hijri, jika dikonversi ke Masehi adalah 1660. Apakah fakta lainnya mendukung tahun ini?
        Kertas yang gunakan mushaf ini adalah kertas Belanda dengan watermark ProPatria, dan countermark GIB dan DG&Co. Kedua kertas ini tidak memiliki 'shadow' (bayangan) pada garis chainlines-nya (lihat: https://quran-nusantara.blogspot.com/2014/12/shadow-pada-cap-kertas.html
). Kertas Eropa tanpa shadow seperti itu biasanya dibuat dan digunakan pada abad ke-19, bukan abad ke-17 - usia yang terbilang tua untuk umumnya mushaf Nusantara. Tidak banyak mushaf Nusantara dari abad ke-17.
        Jadi, dapat disimpulkan bahwa catatan di bagian akhir mushaf itu merupakan catatan baru, tidak asli, dan mushaf ini bukan disalin di Sambas pada 1660, tetapi disalin di Jawa, besar kemungkinan Yogyakarta, pada sekitar tengah abad ke-19.







(Foto: Ust. Zarkasi & Ust. A. Jaeni).
Artikel terkait:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar