Resensi Buku
Dzul Haimi Md. Zain et al., Ragam Hias al-Qur’an
di Alam Melayu, Kuala Lumpur: Utusan Publications, 2007, xxxii + 114
halaman.
DAPAT dikatakan, buku
ini merupakan perintis awal kajian seni hias mushaf (iluminasi) Al-Qur'an di
Nusantara. Setelah lama tertunda, hasil penelitian ini akhirnya terbit, dalam
edisi yang cukup mewah. Berbagai keprihatinan penulis, baik mengenai langkanya
kajian mengenai seni hias Melayu, liku-liku selama penelitian, maupun
penerbitan buku ini yang tertunda, diungkapkan penulis dalam pengantar buku ini,
berjudul “Mengharung Liku Tantangan” (hlm. xiii).
Perhatian Zain, ketua tim peneliti, terhadap seni hias manuskrip
bermula sejak tahun 1987 dalam sebuah pameran manuskrip Melayu di Institut
Teknologi MARA, Selangor. Ia begitu tertegun dengan hasil karya bangsa Melayu
itu, dan memandang penting untuk memulai kajian serius dalam bidang ini. Menurut
Zain, keindahan manuskrip Melayu Nusantara “berteraskan” keindahan naskah
Al-Qur'an. Keindahan tulisan dan hiasan dalam naskah Melayu bermula dari
penyalinan mushaf Al-Qur'an, yang kemudian mempengaruhi jenis naskah lainnya
(hlm. xiv). Namun, antara naskah Al-Qur'an dan selain Al-Qur'an mempunyai ciri
yang berbeda.
Buku ini terdiri atas 8 bab, yaitu “Pengkajian sejarah dan penghayatan
seni Islam”, “Keunggulan seni Islam”, “Penyebaran Islam ke Nusantara”, “Konsep
keindahan”, “Mengagungkan kesucian Al-Qur'an”, “Ragam hias dalam Al-Qur'an”,
“Ragam hias Al-Qur'an di alam Melayu”, dan “Rumusan”. Enam bab pertama diurai
secara ringkas, memakan 28 halaman. Uraian dalam bab ini, khususnya pada bab 5
dan 6, disertai perbandingan dengan gaya ragam hias Al-Qur'an dari tiga
kerajaan besar: Usmani (Turki), Safawi (Persia), dan Mughal (India).
Halaman-halaman selanjutnya, sampai akhir buku, berisi foto ragam hias
mushaf dan “lakaran” (drawing) pola
hiasan mushaf tersebut. Foto mushaf ditempatkan di sisi kiri, dan lakaran di
halaman sebelah kanan. Lakaran menampilkan pola pokok ragam hias mushaf, berupa
coretan pena, agar pembaca mengetahui lebih jelas detail pola pokok ragam hias
yang ada, berupa garis dan jenis ragam hias yang digunakan. Cara seperti ini
sangat membatu para peneliti dan peminat seni rupa Melayu yang ingin
melanjutkan kajian dalam bidang ini.
Naskah Al-Qur'an yang dikaji dalam buku ini paling banyak merupakan
koleksi Pusat Islam, Kuala Lumpur. Saat ini semua koleksi Pusat Islam itu telah
berpindah menjadi koleksi Museum Seni Islam Malayasia (Islamic Arts Museum
Malaysia), Kuala Lumpur, tidak jauh dari Pusat Islam. Inilah salah satu
kekurangan buku ini, karena penelitian yang dilakukan pada tahun 1990-an itu
tidak mengalami perbaikan untuk penerbitan buku ini 17 tahun kemudian, tahun 2007. Kekurangan
lainnya, buku ini juga tidak mengakomodasi perkembangan hasil-hasil penelitian
yang telah dilakukan sebagian sarjana, di antara yang terpenting, Annabel Teh
Gallop—Kepala Bagian Koleksi Asia Selatan dan Tenggara, The British Library,
London—yang amat tekun meneliti ragam hias Al-Qur'an Nusantara sejak sekitar
tahun 2003. Annabel telah melakukan pemetaan dan menemukan beberapa ciri khas
ragam hias khas dari beberapa daerah, di antaranya gaya Pantai Timur Malaysia,
Aceh, Sulawesi, Banten, dan Jawa.
Terbitnya buku ini, meskipun demikian, tentu sangat penting, karena
buku ini merupakan buku pertama yang secara khusus membahas dan menampilkan
keindahan seni mushaf Melayu Nusantara. Lebih dari itu, buku ini juga telah
mendokumentasi beberapa mushaf “dari Jakarta” (dalam buku ini disebut
demikian), yang dahulu merupakan koleksi Yayasan Masagung, dan saat ini tidak
diketahui lagi keberadaannya.
Dalam pengantar disebutkan bahwa kota dan negara yang dikunjungi peneliti buku ini yaitu Singapura, Brunei, Terengganu, Kelantan, Pahang, Melaka, Pulau Pinang, Serawak, Sabah, Jakarta, Pulau Bintan, dan Pulau Penyengat. Perjalanan itu mendokumentasi 35 buah mushaf yang dimuat dan dibahas dalam buku ini. Tentu saja kajian ini masih menyisakan “PR” (pekerjaan rumah) yang banyak, karena belum mencakup mushaf-mushaf penting koleksi beberapa lembaga dan perorangan yang tersebar hampir di seluruh wilayah Indonesia—yang merupakan bagian tak terpisahkan dari “alam Melayu”.[] Ali Akbar
[Telah dimuat di Jurnal Suhuf Vol.2, No.1, 2009]
Dalam pengantar disebutkan bahwa kota dan negara yang dikunjungi peneliti buku ini yaitu Singapura, Brunei, Terengganu, Kelantan, Pahang, Melaka, Pulau Pinang, Serawak, Sabah, Jakarta, Pulau Bintan, dan Pulau Penyengat. Perjalanan itu mendokumentasi 35 buah mushaf yang dimuat dan dibahas dalam buku ini. Tentu saja kajian ini masih menyisakan “PR” (pekerjaan rumah) yang banyak, karena belum mencakup mushaf-mushaf penting koleksi beberapa lembaga dan perorangan yang tersebar hampir di seluruh wilayah Indonesia—yang merupakan bagian tak terpisahkan dari “alam Melayu”.[] Ali Akbar
[Telah dimuat di Jurnal Suhuf Vol.2, No.1, 2009]
Pak Ali Akhbar,
BalasHapusSaya belum mendapatkan buku ini lagi, tetapi jika bapak membayangkan koleksi ini kesemuanya dari Muzium Seni Islam, maka saya bisa memahami apakah kontentnya. Saya pasti saudara Zain mengambil konsultantasi dari pihak Muzium Seni Islam berkenaan. Dan pada pendapat saya komentar pihak Muzium Seni Islama tidak terkini dengan perkembangan dan kajian sekarang mengenai manuskrip melayu. Sila rujuk beberapa buku terbitan Muzium Seni Islam yang bertajuk di bawah, saya pasti Saudara Zain mengambil rujukan darinya:
1) AlQuran The Sacred Art of Revelation
2) The Message & The Monsoon
3) Mightier than the Sword
Saya dapati informasi dari buku-buku ini dikitar semula tanpa informasi dan kajian terkini.
Contohnya manuscript yang dilabel dari Mindanao Filipina, tidak disebut kan kajian Dr Annabel terkini yang kemungkinan manuscript ini berasal dari Asia Tengah. Saya juga mempunyai naskah Quran yang coraknya begitu mirip dengan Naskhah Mindanao tetapi koloponnya berasal dari Daghestan Asia Tengah. Sila rujuk
http://abudervish.blogspot.com/2012/04/ancient-manuscript-review-50-antique.html
Wallahuaklam..
Terima kasih atas komentar Anda, juga link koleksi Qur'an Anda. Bagaimanakah hubungan antara Mindanao dan Daghestan?
BalasHapusAssalamualaikum Pak,
BalasHapusBerkenaan Manuskrip Quran dari Filipina, Sabah & Brunei, ia menjadi perhatian sejak mula2 di lelong di London Auction House beberapa tahun yang sudah. 14 manuskrip yang di label sebagai product dari southeast asia terutamanya dari Filipina , Sabah & Brunei. 6 darinya mempunyai kolopon yang menyebut tarikh, penyalin dan tempat salinan.
Naskhah ini kesemuanya adalah berlainan sama sekali dengan manuskrip dari nusantara – Aceh, Sulawesi, Terengganu, etc.
Naskhah ini saiznya lebih besar dan ditulis di atas kertas rusia. Corak dan kaligraphi nya juga berbeda.
Di dalam artikel “ From Caucasia to Southeast Asia”, Dr Gallop cuba untuk menyingkap misteri di sebalik Quran tulisan tangan ini yang kesemuanya berbeda dengan corak bentuk naskhah dari Nusantara.
Dari segi kodikologinya, Quran itu aslinya Daghestani ( Asia Tengah) 100% namun untuk mengaitkan ia dengan Nusantara begitu mengelirukan. Belum ada bukti2 dari catatan sejarah Nusantara bahawa ulama2 dari Daghestan dating ke Nusantara untuk menulis Quran dan sebagainya. Atau belum ada bukti bahawa di sekitar kurun 18-19 ada hubungan langsung di antara kerajaan Brunei ( termasuk Filipina) dan Daghestan.
Namun beliau tidak menolak kemungkinan bahawa terjadinya penulisan naskhah ini hasil dari interaksi ulama nusantara dengan ulama Daghestan semasa pertemuan di Mekah kerana di sekitar kurun itu, ada catatan bahwa interaksi itu wujud di sana. Kemungkinan hasil tulisan tangan ini sebagai hadiah haji bagi para haji yang ke sana.
Namun untuk membuktikan bahawa ulama Daghestan menulis Quran ini di Nusantara agak sukar untuk dibayangkan. Terutamanya menulis di atas kertas rusia yang mana kertas ini agak asing di rantau ini. Jika mahu menulis Quran mengapa tidak mengunakan kertas yang biasa digunakan di Nusantara?
Dr Annabel Gallop mencadangkan kajian selanjutnya perlu dijalankan terutamanya terhadap dakwat yang digunakan untuk Quran & koloponnya supaya dapat dipastikan samada keduanya kontemporari atau berbeda era.
Pendeknya menurut manuskrip ini perlu dilabelkan sebagai manuskrip dari Daghestan kerana ciri cirinya 100% dari Daghestan walaupun pada hakikatnya jika benar ia di tulis di Brunei atau Filipina.
Wallahua'lam.