Minggu, 29 Desember 2013

Label

Jangan langsung percaya! (6)
Label di museum

Bahkan di museum – suatu tempat yang seharusnya tidak boleh ada informasi yang salah – kita jangan langsung percaya! Di sebuah museum (sssst, di Indonesia!) di sebuah pajangan Qur’an tua terdapat label, “Al-Qur’an tulisan tangan terbuat dari kulit kayu berumur ±500 tahun. Al-Qur’an ini ditulis oleh Muhammad … yang mengaji di negara Pakistan tahun 1500 M”. Nah, “tulisan tangan” benar, “terbuat dari kulit kayu” mungkin benar, tapi informasi “berumur 500 tahun” dan “ditulis oleh…” sepertinya agak sulit dipertanggungjawabkan! Mungkin, informasi seperti ini diperoleh dari qīla wa qāla (“konon katanya”).
Foto: istimewa

Jumat, 06 Desember 2013

Lagi, Qur'an kecil

Lagi, dua Qur’an kecil

Rupanya, artikel singkat tentang Qur'an mini (http://quran-nusantara.blogspot.com/2012/12/quran-kecil.htmlmemperoleh perhatian yang cukup luas dari khalayak pembaca. Banyak orang 'penasaran' dengan mushaf kecil. Nah, berikut adalah dua Qur’an kecil koleksi baru Bayt al-Qur’an & Museum Istiqlal yang merupakan sumbangan Ibu Siti Rofiqoh, Bogor, dan Ibu Yusi Herawati, Depok. 
Qur’an yang sering disebut “Qur’an Istanbul” atau “Stambul” ini, yang pertama berukuran 1,8 x 2,7 cm. Setiap halaman terdiri atas 12 baris. Naskah asli Qur'an ini ditulis oleh kaligrafer kenamaan Turki Usmani abad ke-17, Hafiz Usman (1642-1698), selesai pada pertengahan Rabiul Awal 1094 H (Maret 1683). Tidak ada keterangan kapan mushaf ini dicetak, karena bagian akhir mushaf mini ini telah hilang. Namun, diperkirakan, dicetak pada abad ke-20.
Mushaf kecil, cetakan, ukuran 1,8 x 2,7 cm.

Jumat, 29 November 2013

Cetakan litografi

Jangan langsung percaya! (5)
Cetakan litografi

Jangan percaya kepada pengurus masjid! Haha…, maaf, maaf, ini terkait dengan keterangan tentang suatu Qur’an cetakan. Pernah, seorang peneliti Qur’an menulis laporan penelitian demikian panjang, dan mengajukannya untuk dimuat di sebuah jurnal, namun dia keliru mengidentifikasi Qur’an cetakan sebagai manuskrip (tulisan tangan)! Ia menyatakan bahwa naskah yang ditelitinya itu sebagai tulisan tangan, padahal merupakan cetakan litografi. Nah, kekeliruan itu bersumber dari keterangan pengurus masjid yang ‘ditelan mentah’. Maka sekali lagi, janganlah langsung percaya!

Cetakan litografi yang 'lentur' sebagaimana tulisan tangan biasa: 
Qur'an cetakan Muhammad Azhari, Palembang, 1848.

Kamis, 28 November 2013

Asal naskah

Jangan langsung percaya! (4)
Asal naskah

Jika Anda menemukan sebuah manuskrip di suatu daerah, janganlah langsung percaya – tapi pasti Anda tidak! – bahwa naskah tersebut merupakan asli naskah setempat. Tidak hanya sekarang, pada zaman dahulu migrasi naskah dari suatu tempat ke tempat lainnya juga banyak terjadi, bahkan sampai ke tempat-tempat yang cukup jauh, dengan berbagai sebab: bisa hadiah, jual-beli, bahkan bisa juga merupakan rampasan. Sebuah Qur’an asal Aceh di Singaraja, Bali, membuktikan hal ini. Meskipun orang setempat mengatakan bahwa naskah tersebut merupakan asli tempatan, kita boleh saja mengangguk-angguk, tapi jangan percaya! Bagaimana kita bisa ‘yakin’ tentang asal-muasal suatu naskah?
Qur'an Aceh di Bali.

Senin, 25 November 2013

Huruf mim

Jangan langsung percaya! (3)
Masalah huruf mim setelah angka tahun

Pada sebuah pameran, seorang pedagang dan kolektor naskah tergopoh-gopoh menunjukkan sebuah koleksinya yang menurut dia disalin sejak sebelum zaman para wali! Dia memperlihatkan kolofon di akhir naskah, yang tertulis angka 1300 sekian, diikuti huruf mim. Nah, sebaiknya Anda jangan langsung percaya bahwa naskah miliknya itu telah disalin sebelum zaman para wali di Jawa! Mengapa?
Contoh penggunaan huruf mim pada akhir sebuah naskah 
dari Palembang, pertengahan abad ke-19.

Angka lima

Jangan langsung percaya! (2)
Masalah angka lima

Seorang pemilik naskah menyatakan bahwa naskah miliknya “amat sangat tua sekali”, berdasarkan sebuah bentuk angka 5 yang ada di bagian depan naskahnya. Bentuk angka 5-nya berupa lingkaran, tidak jauh berbeda dengan angka 5 yang berlaku dewasa ini. Nah, sebaiknya Anda jangan langsung percaya pada ketuaan naskah miliknya itu! Mengapa?
Penulisan angka 5, 4, dan 0 pada sebuah Qur'an di Sulawesi Barat.

Kamis, 22 Agustus 2013

Tulisan dan bahasa

Jangan langsung percaya! (1)
Masalah tulisan dan bahasa

Sebaiknya, jangan langsung percaya pada semua informasi yang ada pada suatu naskah. Perlu lebih cermat, apalagi jika Anda, misalnya, sedang meneliti naskah, atau kolektor yang mau membeli naskah. Hal-hal yang terkait tulisan, bahasa, kertas, tinta, warna, dan ilumniasi, akan membatu kita untuk menganalisis keaslian informasi pada suatu naskah. Beberapa contoh gambar di bawah ini sepertinya menarik.
Gambar 1.

Jumat, 16 Agustus 2013

Koleksi Masjid Ba'alwie

Singapura
Qur’an dan ‘njaluk banyu’ di Masjid Ba’alwie

Tiga buah Qur’an di bawah adalah koleksi keluarga habib Ba'alwie, Singapura, seperti yang dimuat dalam buku Aksara: Menjejaki tulisan Melayu – The passage of Malay scripts (Singapore: NLB, 2007) yang diterbitkan dalam rangka pameran itu, berlangsung di Perpustakaan Nasional Singapura, 18 Januari - 30 Juni 2007.
Rupanya ketiga Qur’an di atas berasal dari Indonesia. Sebuah Qur’an dengan kertas dluwang berasal dari Jombang, Jawa Timur, kemungkinan dari lingkungan pesantren. Qur’an lainnya berasal dari Malang, Jawa Timur, dan sebuah Qur’an dengan cap kertas bergambar bulan sabit berasal dari Pontianak, Kalimantan Barat. Lima tahun lalu, ketika saya berkunjung ke masjid ini pada 2008, menurut pengakuan pihak keluarga, Ba’alwie mengoleksi lima Qur’an kuno. Namun pada waktu itu semuanya sedang dikonservasi, sehingga koleksi itu tidak bisa dilihat langsung.
Qur'an dari Malang, Jawa Timur. (Foto: Repro)

Selasa, 30 Juli 2013

Enam Qur’an Awal Islam

Masih adakah Mushaf Khalifah Usman saat ini?

Telah lama menjadi perdebatan, apakah mushaf-mushaf yang ditulis pada masa Khalifah Usman bin Affan masih ada saat ini? Di antara yang menjadi pokok diskusi adalah beberapa mushaf kuno yang saat ini berada di Mesir, Istanbul, dan Uzbekistan di bawah ini. Itu, karena semua mushaf tersebut dinisbatkan pada Khalifah Usman, dan ramai dipublikasikan sebagai Mushaf Usman. 
Berdasarkan kajian kodikologis, yaitu tinjauan atas tulisan (paleografi), hiasan, serta perkembangan tanda baca, diperoleh kesimpulan bahwa keenam mushaf tersebut bukanlah berasal dari zaman Usman, tetapi merupakan salinan beberapa puluh tahun setelah itu, yaitu akhir abad pertama atau awal abad kedua hijri. 
Mushaf koleksi al-Husein, Kairo.

Sabtu, 27 Juli 2013

Paradise on earth

Kaligrafi untuk pameran "Paradise on Earth"
(Sebagai ingatan)

Pertengahan Juni lalu saya diminta oleh sahabat dekat, kurator seni Asia di Art Gallery of South Australia di Adelaide, untuk membuat kaligrafi yang akan ditempel di pameran yang dia kurasi. Pameran kecil itu berlangsung dari 29 Juni hingga September 2013, berjudul "Paradise on Earth: Flowers in the Arts of Islam" (http://www.artgallery.sa.gov.au/agsa/home/Exhibitions/NowShowing/Paradise_on_earth).
Teks saya tulis dalam gaya Nasta'liq (Farisi), merupakan petikan dari ayat Qur'an, balasan bagi orang-orang yang bertakwa: "Surga 'Adn yang mereka masuki, mengalir di bawahnya sungai-sungai; di dalamnya mereka memperoleh segala yang diinginkan." (Surah an-Nahl/16:31). Suatu ayat yang menenteramkan...
Pada tahun 2005 sebelumnya, saya juga pernah menulis kaligrafi untuk logo pameran dan tiga potong teks hadis dan ayat untuk pameran "Crescent Moon: Islamic Art and Civilisation in Southeast Asia" (http://www.artgallery.sa.gov.au/agsa/home/Exhibitions/Past_Exhibitions/2005/crescentmoon.htmlhttp://nga.gov.au/crescentmoon/). Pameran yang dia kurasi ini cukup besar, karena sempat digelar di dua kota, Adelaide dan Canberra. 
Suatu kaligrafi yang sederhana saja.



Logo pada pintu masuk pameran "Bulan Sabit: Seni dan Peradaban Islam Asia Tenggara" 
(Crescent Moon: Islamic Art and Civilisation in Southeast Asia), Adelaide, 2005.
(Semua foto atas kebaikan Saul dan James).

Kamis, 25 Juli 2013

Prosedur Pentashihan

Prosedur Pentashihan Mushaf Al-Qur'an di Indonesia

Tashih adalah proses pengecekan teks Qur'an sebelum dicetak secara massal oleh para penerbit mushaf. Pekerjaan ini sangat rumit, perlu ketelitian dan kejelian yang sangat tinggi, karena kita tahu, jumlah huruf teks Qur'an sangat banyak, tanda baca dan tanda tajwid yang beragam, dan khususnya dalam rasm usmani di sana-sini banyak perbedaannya dengan bahasa Arab biasa. Untuk sebuah naskah Qur'an yang hendak diterbitkan, pentashihan dilakukan berulang kali, bisa mencapai lima kali baca ulang, atau lebih, bergantung pada tingkat kesalahan naskah yang diterima dari penerbit. Pentashihan, tak pelak, adalah profesi yang menuntut kesetiaan yang luar biasa.
Di bawah ini adalah prosedur pentashihan mushaf Al-Qur'an yang berlaku di Indonesia, dikeluarkan oleh Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur'an Kementerian Agama RI. Brosur ini memuat visi dan misi Lajnah, tugas bidang pentashihan, produk yang ditashih, prosedur pentashihan, persyaratan administrasi penerbitan Al-Qur'an, serta petunjuk teknis pelaksanaan pencetakan mushaf Al-Qur'an. Penting bagi para penerbit, lembaga, atau pihak lain yang akan menerbitkan mushaf Al-Qur'an di Indonesia.
"Departemen Agama", sekarang "Kementerian Agama".

Qur'an Kuno-kunoan (4)

Qur'an, pelepah pisang, anak Sunan Bonang, muslim Moro 

Berita foto di bawah ini dimuat di koran Media Indonesia 16 Juli 2013 dan koran Republika 17 Juli 2013, dan setahun lalu, pada bulan Ramadan juga, dimuat di koran Media Indonesia 12 Agustus 2012. Ini tentang sebuah Qur'an yang terdapat di sebuah pesantren di Bogor. Seperti ditulis di keterangan foto, Qur'an raksasa ini konon dibuat dari pelepah daun pisang, ditulis oleh anak Sunan Bonang, dan merupakan pemberian muslim Moro, Filipina Selatan. Wah!
Sebenarnya, masing-masing informasi 'luar biasa' itu perlu diklarifikasi. Pelepah daun pisang sebagai bahan untuk pembuatan kertas agaknya kurang lazim; penulisnya anak Sunan Bonang perlu dibuktikan; demikian pula muslim Moro yang memberikan Qur'an ini, apakah ada catatan historisnya? 
Pemuatan berita Qur'an ini sepertinya memang agak heboh, bahkan kemarin (24-7-2013) saya dengar juga disiarkan di sebuah program televisi nasional. Saya sendiri belum melihat Qur'an itu, dan memang ingin sekali ke sana nanti untuk melihat langsung. Tapi, sebagai bahan bandingan, boleh juga baca tiga artikel di blog ini tentang Qur'an 'kuno-kunoan':
(1) "Qur'an Kuno-kunoan": http://quran-nusantara.blogspot.com/2012/08/mushaf-quran-kuno-kunoan-ali-akbar.html
(2) "Menyoal Qur'an Bojongleles, Banten": http://quran-nusantara.blogspot.com/2013/03/quran-kuno-kunoan-2.html
(3) "Pasar Lokal dan Internasional": http://quran-nusantara.blogspot.com/2013/04/quran-kuno-kunoan-3.html

Media Indonesia, 16 Juli 2013.

Republika, 17 Juli 2013.


Media Indonesia, 12 Agustus 2012.

Menghormati Qur'an

Penghargaan kaum Muslim terhadap Qur'an

Dari pengalaman di berbagai tempat ketika 'memburu' Qur'an, saya memperoleh banyak pelajaran, dan semakin berhati-hati memperlakukan Qur'an. Karena sering menemui keterbatasan fasilitas di lapangan, kadang-kadang saya lupa dan khilaf dalam memperlakukan Qur'an. Misalnya, di sebuah museum di Malaysia utara, ketika tidak menemui meja yang tepat untuk menaruh Qur'an untuk difoto, saya menggunakan kursi sebagai tempat untuk meletakkan Qur'an. Pegawai museum yang melihat segera mencegah tindakan tak pantas saya, "Ini 'kan biasa untuk duduk?" Saya harus segera paham maksudnya.
Sebuah banner pameran yang memuat Qur'an dari Pulau Penyengat, Kepulauan Riau.

Koleksi Brunei Darussalam

Brunei Darussalam
Koleksi Balai Pameran Islam Sultan Haji Hassanal Bolkiah

Koleksi Qur'an di Brunei Darussalam barangkali lebih banyak di perorangan, karena sering terdengar kabar bahwa ada (sejumlah) pedagang naskah di Indonesia yang menjual naskahnya kepada (katanya) warga Brunei. Namun berita itu sulit ditelusuri, karena penjualan naskah-naskah itu tidak tercatat, sementara pemiliknya pun tidak pernah mengumumkan koleksinya.
Pada Oktober 2008 saya pernah mengunjungi Perpustakaan Universiti Brunei Darussalam untuk melihat koleksi manuskrip Qur'annya, namun rupanya urusan tidak mudah, sehingga saya gagal memperoleh informasi yang pasti.
Sementara itu, yang membuat saya lega, di Balai Pameran Islam Sultan Haji Hassanal Bolkiah yang gedungnya menyatu dengan Jabatan Mufti (kantor urusan fatwa), di Bandar Seri Begawan, terdapat sejumlah koleksi naskah, termasuk di antaranya Qur'an. Balai ini mengoleksi banyak benda peninggalan Islam, tidak hanya dari Nusantara, namun juga dari sejumlah negeri Islam. Koleksinya beragam, dari pedang, tasbih, tongkat, hingga astrolab. 
Koleksi naskahnya, yang saya hitung secara cepat waktu itu, ada 231 naskah dari berbagai disiplin ilmu dan dari berbagai negeri Islam. Dari jumlah keseluruhan tersebut, 44 di antaranya dari Nusantara, dan 15 di antaranya adalah Qur'an. Kenusantaraannya saya identifikasi dari ciri-ciri kodikologis lazimnya naskah Nusantara. Sayangnya, Qur'an-Qur'an koleksi Balai ini tidak (atau belum?) disertai caption, sehingga pengunjung akan sulit membedakan mana Qur'an dari India, misalnya, atau negeri Islam lainnya, dengan Qur'an dari Nusantara. Kesulitan itu ditambah lagi dengan "haram"-nya memotret semua koleksi Balai, sehingga kajian tidak bisa dilanjutkan di 'rumah' dalam suasana yang lebih nyaman...
Tapi, bisa jadi, keadaan hampir lima tahun lalu itu sekarang sudah berbeda. Semoga.

 
Kunjungan tahun 2008.

Senin, 22 April 2013

Kaligrafi Qur'an Banten

Ciri khas kaligrafi Qur’an Banten

Naskah-naskah Qur’an Banten memiliki ciri khat Naskhī yang dapat dikatakan istimewa dalam tradisi penyalinan mushaf Nusantara―sesuatu yang belum ditemukan dalam tradisi kaligrafi di wilayah lain. Dari beberapa mushaf yang ada, kita dapat menemukan “gaya tulisan Banten”.
Secara umum, para penyalin Qur'an di Banten pada masa lalu dapat dikatakan cukup konsisten dengan gaya Naskhī khasnya, dan gaya khat ini ditemukan di sejumlah naskah di beberapa tempat. Khat tersebut terlihat tidak hanya untuk menulis teks Al-Qur'an, yang biasanya dianggap lebih istimewa, namun juga untuk menulis terjemahannya dalam bahasa Jawa (PNRI A.54).
 
Mushaf Banten koleksi PNRI (A.50). (Foto atas kebaikan James Bennett).

Minggu, 07 April 2013

Bibliografi Mushaf Standar (1)

Mengenal Mushaf Standar Indonesia

Di bawah ini ada empat sumber dan kajian tentang Mushaf Standar Indonesia. Bahan-bahan tersebut terasa semakin penting, karena banyak kalangan masyarakat Indonesia yang belum mengetahui adanya Mushaf Standar Indonesia. Dan belakangan ini, dengan semakin meluasnya peredaran "Mushaf al-Madinah an-Nabawiyyah" (atau sering disebut sebagai "Qur'an Saudi") di Indonesia, banyak orang mempersoalkan Mushaf Standar, bahkan sebagian "menggugat" dan mempertanyakan urgensi penetapan Mushaf Standar. Satu hal yang mungkin perlu dicatat, bahwa penetapan Mushaf Standar (1984) itu mendahului "lahir"nya "Qur'an Saudi" yang mulai dicetak oleh Mujamma' al-Malik Fahd pada Januari 1985 (Jumadil Awal 1405 H).
Tulisan-tulisan di bawah ini akan memberikan pemahaman latar belakang historis penetapan Mushaf Standar di Indonesia (bisa diunduh melalui tautan yang tersedia):
1. Buku "Mengenal Mushaf Standar Indonesia", diterbitkan oleh Kementerian Agama RI, tahun 1984-1985
2. E. Badri Yunardi, "Sejarah Lahirnya Mushaf Standar Indonesia"  http://academia.edu/3877006/Sejarah_Lahirnya_Mushaf_Standar_Indonesia_E._Badri_Yunardi
3. Mazmur Sya'roni, "Prinsip-prinsip Penulisan Mushaf Standar Indonesia" http://academia.edu/3877012/Prinsip-prinsip_Penulisan_Mushaf_Al-Quran_Standar_Indonesia_Mazmur_Syaroni_
4. H Abdul Aziz Sidqi, MA, "Sekilas tentang Mushaf Standar Indonesia" http://academia.edu/3877376/Sekilas_tentang_Mushaf_Standar_Indonesia_Abdul_Aziz_Sidqi_

"Mushaf Standar Indonesia" terbitan Sa'diyah Putra, Jakarta, 1985.

Senin, 01 April 2013

Belum diketahui

Qur’an cetakan awal yang belum diketahui asal-usulnya

Asal-usul Qur’an cetakan awal (early printed Qur’an) yang beredar di Asia Tenggara pada paruh akhir abad ke-19, berdasarkan temuan hingga kini, tidaklah banyak. Pusat-pusat percetakan yang diketahui, yaitu Palembang, Singapura, Bombay, serta Turki. Di antara mushaf tersebut, yang paling tua, dicetak di Palembang pada 1848 dan 1854 (lihat http://quran-nusantara.blogspot.com/2012/04/mushaf-cetakan-palembang-1848-mushaf.html dan http://quran-nusantara.blogspot.com/2012/04/quran-cetakan-palembang-1854-kolofon.html). Cetakan lainnya, yang beredar luas di kepulauan Nusantara pada akhir abad ke-19 adalah cetakan Singapura (lihat http://quran-nusantara.blogspot.com/2012/09/mushaf-cetakan-singapura.html) dan cetakan Bombay, India (lihat http://quran-nusantara.blogspot.com/2012/04/mushaf-cetakan-india-koleksi-kms.html#more). Banyak di antara mushaf-mushaf tersebut yang memiliki kolofon (catatan naskah) di bagian belakang mushaf, sehingga tidak ada keraguan tentang asal-usul cetakannya.
Salah satu cetakan yang belum diketahui asal-usulnya adalah mushaf berhuruf tebal yang dari beberapa segi cukup ‘asing’ (lihat gambar). Mushaf tersebut terdiri atas 10 jilid, masing-masing jilid berisi 3 juz. Setiap halaman hanya terdiri atas tujuh baris, suatu hal yang bisa dikatakan tidak pernah ditemui dalam tradisi penyalinan mushaf di Asia Tenggara. Mushaf ini diketahui di tiga tempat, pertama di Masjid Agung Surakarta (10 jilid), Pontianak (satu jilid), dan milik seseorang di Tangerang (10 jilid). Mushaf ini tampaknya tidak beredar luas seperti halnya cetakan Singapura dan Bombay.
Awal Surah Maryam.

Qur'an Kuno-kunoan (3)

Qur’an Kuno-kunoan (3)
Pasar Lokal dan Internasional

Dalam sebuah festival Al-Qur’an yang pertama kali digelar di Jakarta tahun 2011, ada seorang kolektor atau pedagang naskah turut ambil bagian dengan memajang macam-macam koleksinya, berupa naskah keagamaan dan sejumlah mushaf Qur’an. Kebanyakan Qur’an yang dipajang itu, menurut dugaan kuat saya, bukanlah Qur’an tua seperti yang dikesankan. Dilihat dari kertas, tinta, warna iluminasi, serta model penyalinannya, secara pribadi saya yakin bahwa sejumlah Qur’an itu “kuno-kunoan”. Sang kolektor itu rupanya tidak tahu, dan menduga bahwa koleksinya adalah benda kuno. Menurut dia, sekurang-kurangnya berumur 150 tahun. Tetapi, secara fisik, saya yakin bahwa mushaf-mushaf yang umumnya berukuran agak besar itu belum lama dibuat. Tidak semua yang dipamerkan "kuno-kunoan". Ada sejumlah naskah, umumnya berukuran 'wajar', yang memang benar-benar kuno.
Selain berbahan kertas, beberapa mushaf yang dipajang berbahan daun lontar yang dijahit sedemikian rupa sehingga membentuk seperti lembaran kertas. Dari bahan yang digunakan, ini cukup aneh. Sejauh yang saya ketahui hingga kini, mushaf kuno tidak pernah ditulis di atas daun lontar. Daun lontar memang digunakan untuk menulis teks, bahkan hingga kini di Bali, namun untuk teks berhuruf Jawa. Model jilidannya berupa helai daun yang dirangkai/diikat dengan tali, dengan “cover” kayu selebar daun lontar itu yang ditangkupkan.
 
Sejumlah "Qur'an kuno-kunoan".

Minggu, 31 Maret 2013

Qur'an Kuno-kunoan (2)

Menyoal Qur’an Bojongleles, Banten 
(Catatan Lama)

Pengantar: Pada April 2009 masyarakat dikejutkan oleh ”Qur’an tiban” (’jatuh’ entah dari mana) di Dusun Babakan, Desa Bojongleles, Kecamatan Cibadak, Kabupaten Lebak, Banten. Konon, Qur’an itu tiba-tiba muncul, tidak ada orang yang tahu. Pihak yang berwenang pada waktu itu benar-benar disibukkan oleh kasus ini, termasuk Majelis Ulama Indonesia (MUI) setempat, maupun pihak Kementerian Agama RI. Itu adalah pertama kali Qur’an sejenis ini muncul dan menjadi perhatian masyarakat.
Qur'an itu berukuran raksasa, yaitu 200 x 103 cm, tebal 17 cm, serta sebilah pedang berukuran 1,7 meter, muncul di depan Masjid Dua Kalimat Syahadat di Dusun Babakan. Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur'an Badan Litbang dan Diklat yang mengemban tugas memelihara keotentikan dan kemurnian Mushaf Al-Qur'an, baik dalam bentuk cetak maupun elektronik  yang beredar di masyarakat, segera mengirim tim ke lokasi pada tanggal 6 April 2009 untuk melakukan observasi lapangan, selanjutnya mengadakan pengkajian dan penelitian lebih lanjut terhadap mushaf tersebut. Dalam kajiannya, Lajnah menemukan banyak kesalahan, berupa kekurangan teks ayat, kesalahan harakat, dan penulisan yang terulang. Pengulangan tersebut dapat terlihat pada Surah al-Fātihah/1: 7. Kata yang pertama ditulis secara tidak sempurna, sedangkan pengulangannya ditulis secara sempurna pada baris selanjutnya (lihat gambar). Asal usul naskah dan penulis mushaf tidak teridentifikasi. Akhirnya, karena dalam naskah Al-Qur'an Bojongleles ini terdapat banyak kesalahan, yaitu kekurangan teks ayat, kesalahan harakat, dan penulisan, maka untuk menghindari kesalahpahaman terhadap Mushaf Al-Qur'an dimaksud, Lajnah merekomendasi­kan dan menyarankan agar Mushaf Al-Qur'an tersebut diamankan oleh pihak yang berwenang atau Bakorpakem setempat.

Jumat, 22 Maret 2013

Qa'idah Bagdadiyah

Mungkin sudah banyak yang melupakan medote baca Qur’an ini. Sejak munculnya metode baca Iqra’ pada tahun 1980-an, perlahan-lahan Qa’idah Bagdadiyah kehilangan ‘pengaruh’-nya. Apalagi, kemunculan Iqra’ kemudian segera memancing tumbuh suburnya metode-metode baca lainnya, seperti al-Barqi, Hatta’iyah, an-Nur, Tilawati, Ummi, dan (sepertinya) belasan lainnya. Sebelum Iqra’, sebenarnya metode Qira’ati muncul lebih dahulu – bahkan sebenarnya Iqra’ diilhami oleh Qira’ati – namun sebagai ‘gerakan’, Iqra’ lebih massive, sehingga benar-benar menjadi fenomena baru pada waktu itu. Sejak itu, metode baca Qur’an yang dianggap lebih sistematis itu digunakan di hampir semua kalangan, juga tentu saja sekolah-sekolah.
Qa'idah Bagdadiyah versi ringkas, cetakan Penerbit Karya Toha Putra, Semarang, tahun ±2011. Tulisan pada kulit buku ini tidak asli lagi (karya Rahmatullah), berbeda dengan edisi dasawarsa 1970-an dengan huruf bergaya "Bombay".

Kamis, 21 Maret 2013

Mata kuliah Kajian Mushaf

Catatan: "Kajian Mushaf Al-Qur'an di Indonesia" merupakan mata kuliah baru, oleh karena itu perlu penyempurnaan dari waktu ke waktu. Terima kasih kepada Dr. Ali Nurdin dan Dr. Ahmad Husnul Hakim, dekan Fakultas Ushuluddin yang menerima mata kuliah ini untuk diajarkan di Fakultas Ushuluddin Institut PTIQ, sejak 2009. 

Mata Kuliah: “Kajian Mushaf Al-Qur’an di Indonesia”
Institut Perguruan Tinggi Ilmu al-Qur’an (PTIQ)
Jalan Batan 1 No. 2 Lebak Bulus, Cilandak, Jakarta Selatan 12440 
Pengajar: Ali Akbar, M.Hum. 

Tujuan
Penyampaian mata kuliah ini bertujuan agar mahasiswa: 
1. Mengetahui kronologi perkembangan mushaf di Indonesia, dari tradisi manuskrip (tulisan tangan), litografi (cetak batu), hingga cetakan modern. 
2. Mengetahui kekhasan tradisi penulisan mushaf di Indonesia dan membandingkannya dengan tradisi penulisan mushaf di beberapa wilayah dunia Islam. 
3. Mengetahui aspek-aspek kajian kodikologi* mushaf di Indonesia, yaitu mencakup tulisan (kaligrafi), iluminasi, kertas, alat tulis, layout, koleksi mushaf di berbagai lembaga, dan lain-lain.
4. Mengetahui ragam qiraat, rasm, tanda tajwid, dll. dalam mushaf-mushaf di Indonesia. 
Mushaf koleksi Institut PTIQ, Jakarta.

Rabu, 20 Maret 2013

Qur'an Kudus (2): Qur'an dari Turki

Sejak awal kemunculan “Qur’an Pojok” (sebutan untuk mushaf yang setiap halaman diakhiri dengan penghabisan ayat) di Turki pada akhir abad ke-16, mushaf jenis ini terkait erat dengan para penghafal Al-Qur’an. Setiap halaman yang diakhiri dengan akhir ayat sangat memudahkan para penghafal dalam mempelajari tahap-tahap hafalan.
    Dalam sejarahnya, di Turki, “Qur’an Pojok” (dalam bahasa Turki disebut āyet ber-kenār) paling tua adalah sebuah mushaf bertahun 1598, dengan 14 baris tulisan (Derman 2010: 103). Pada awalnya, jumlah baris setiap halaman bervariasi, namun sejak paruh kedua abad ke-18 mushaf jenis ini selalu terdiri atas 15 baris, dan ini menjadi standar sampai berakhirnya penyalinan naskah mushaf secara manual pada akhir abad ke-19 (Stanley 2004: 59).
    Selama beberapa dasawarsa sejak awal tahun 1930-an, produksi mushaf di Indonesia didominasi oleh cetak ulang “Qur’an Bombay” yang berciri huruf tebal. Keadaan itu berlangsung hingga tahun 1970-an, ketika Penerbit Menara Kudus mulai mencetak “Qur’an Sudut” (nama lain model ini) untuk memenuhi kebutuhan para santri yang belajar menghafal Al-Qur’an. 
"Qur'an pojok" cetakan Turki: halaman Surah al-Kahf.

Selasa, 19 Maret 2013

Seni penulisan kitab

Seni Penulisan Kitab di Jawa: Kajian Awal
aliakbar.kaligrafi@gmail.com

[Dalam penyusunan. Ilustrasi menyusul]
Pendahuluan
Kajian terhadap seni penulisan naskah-naskah Nusantara belum banyak dilakukan para sarjana.[1] Dalam tradisi penulisan naskah berhuruf Arab di Jawa, baik berbahasa Arab maupun Jawa (Pegon), terdapat beberapa hal yang menarik, yang mencakup permulaan, tubuh, dan akhir teks. Para penyalin mengembangkan tradisi sendiri, dengan pengaruh tradisi lokal. Kajian awal ini terutama didasarkan pada naskah-naskah koleksi Michael Abbott[2]―seorang kolektor naskah dan benda seni, tinggal di Adelaide, Australia―yang menurut pengakuannya ia beli dari Madura. Sebagian naskah tersebut kini disimpan di Art Gallery of South Australia, Adelaide. Di samping itu, kami sempat melihat sejumlah naskah berkode AW koleksi Perpustakaan Nasional RI, Jakarta[3], yang ternyata mempunyai banyak kesamaan dengan naskah-naskah Abbott. Kesamaan itu menyangkut beberapa ciri penghiasannya, kertas dluwang yang digunakan, maupun judul-judul teks dalam kitabnya, sehingga dapat disimpulkan bahwa keduanya berasal dari tradisi yang sama, yaitu pesantren.[4]

Tanda Tashih

Tanda Tashih dari Masa ke Masa

Tidak banyak manuskrip Qur'an Nusantara yang mempunyai tanda tashih. Memang, banyak manuskrip Qur'an yang tampaknya ditashih, atau dikoreksi, entah oleh penyalinnya sendiri atau orang lain yang membaca kemudian. Itu tampak dari hasil koreksi yang biasanya diletakkan di bagian pinggir halaman. Pada waktu itu belum ada lembaga khusus pentashihan mushaf, dan kebanyakan manuskrip tidak mencantumkan proses pentashihannya. Di antara langkanya petunjuk proses tashih (atau 'pernyataan tashih') pada manuskrip Qur'an di masa lalu, ada sebuah mushaf dari Sulawesi Barat yang ditashih di Mekah (Gambar 1).  
Gambar 1.

Senin, 18 Maret 2013

Foto mengaji

Tiga foto dari KITLV

"Seorang pembaca al-Quran dan peminum teh di Yogyakarta", lebih kurang tahun 1880. 
Ada sebilah keris di atas bantal. Foto dibuat oleh Kassian Cephas, fotografer istana Yogyakarta, dan dikenal sebagai perintis fotografi Indonesia.

"Dokter mata J. Tijssen yang sudah mengoperasi mata orang Aceh sehingga bisa membaca al-Qur'an". Tahun 1932. 
Melihat foto ini, baru ingat lagi bahwa dahulu anak-anak itu memang telanjang jika bermain sehari-hari! Hingga pertengahan dasawarsa 1970-an, ketika saya kecil, di kampung saya di Purworejo, Jawa Tengah, masih terjadi.

Foto ini sangat terkenal: anak-anak mengaji di serambi sebuah langgar di Jawa, ±1910
Di latar depan terlihat beberapa pasang teklek yang hingga tahun 1970-an masih dipakai, sebelum "zaman plastik" masuk pedesaan Indonesia. Sejak itu, alas kaki dari kayu digantikan dengan sandal jepit yang beralas empuk, ringan, dan tidak membuat pegal jari kaki... 
Langgar biasanya terdiri atas dua ruangan. Ruang dalam khusus untuk salat, sedangkan ruang luar (serambi), yang biasanya letaknya lebih rendah, digunakan untuk mengaji atau mengobrol usai salat. Langgar biasanya berupa bangunan panggung dan beralas plupuh (batang bambu yang dicacah), atau papan kayu untuk langgar yang lebih 'mewah'. 

Minggu, 17 Maret 2013

Seni mushaf Nusantara

Seni mushaf Nusantara dari masa ke masa
Ali Akbar - aliakbarkaligrafi@yahoo.com

Mushaf Al-Qur'an disalin sesuai dengan ruang dan waktu mushaf itu dibuat. Atau dengan kata lain, sesuai dengan latar budaya dan kondisi zamannya. Lokalitas budaya tempat mushaf disalin merupakan faktor yang ikut menentukan dan mempengaruhi variasi bentuk, motif dan warna iluminasi – demikian pula gaya kaligrafinya, dalam taraf tertentu.

Unsur kreativitas lokal, sebagai hasil serapan budaya setempat, terlihat dalam corak iluminasi yang sangat beragam, dan masing-masing daerah memiliki ciri khas sendiri. Iluminasi biasanya dicirikan dengan (1) pola dasar, (2) motif hiasan, dan (3) warna. Iluminasi lazimnya menghias tiga bagian Al-Qur'an, yaitu di awal, tengah, dan akhir Al-Qur'an. Dalam hal kaligrafi, keunikan mushaf Nusantara di antaranya tampak dalam karakter “kaligrafi berhias” atau “kaligrafi floral”, yaitu komposisi kaligrafi yang bermotif tetumbuhan. Kreativitas tulisan tersebut dituangkan khususnya pada kepala-kepala surah. Unsur kreativitas lokal itu, baik dalam iluminasi maupun kaligrafi, berkembang sangat leluasa dan berkarakter khas, bahkan dalam bentuk makhluk "zoomorphic" seperti Macan Ali khas Cirebon.
 Mushaf dari Sumedang, Jawa Barat, dengan gambar Macan Ali. (Courtesy of James Bennett)

Sabtu, 16 Maret 2013

Koleksi Prancis

Empat Qur'an dari Jawa Koleksi Prancis

Menurut katalog François Deroche, Bibliothèque nationale di Paris menyimpan lima buah Qur'an dari Jawa. Empat di antara Qur'an tersebut, yaitu Arabe 458, 582, 583 and 584, kini dapat diakses secara online, dengan resolusi tinggi, dan dapat diunduh 'percuma':