Manuskrip Al-Qur’an di Sumatera Utara: Menelusuri Asal
Usul
Pengantar untuk Katalog Mushaf Al-Qur'an Kuno di Sumatera Utara
Penyusun: Ichwan Azhari dan Candiki Repantu
Medan: LPTQ Sumatera Utara, 2018
Medan: LPTQ Sumatera Utara, 2018
Alhamdulillah, akhirnya ditemukan juga sejumlah manuskrip
Al-Qur’an di Sumatera Utara! Selama beberapa tahun penelusuran manuskrip
Al-Qur’an di Indonesia, sejak tahun 2003 hingga belakangan ini, 2018, di
Sumatera Utara tidak—atau tepatnya belum—ditemukan manuskrip Al-Qur’an. Para
peneliti dari Puslitbang Lektur Keagamaan yang pertama kali melakukan penelusuran
naskah-naskah Al-Qur’an di Sumatera Utara hanya menemukan sebuah mushaf tua
cetakan India di Masjid Al-Mashun, Medan. Beberapa tahun kemudian, ketika
penelusuran naskah Al-Qur’an dilanjutkan oleh Lajnah Pentashihan Mushaf
Al-Qur’an, para peneliti juga tidak memperoleh informasi keberadaan mushaf,
hingga kini.
Oleh karena itu, sejumlah temuan manuskrip yang dimuat dalam katalog ini menjadi sangat penting, dan layak memperoleh apresiasi yang tinggi. Hal ini tidak lepas dari perjuangan Dr. Phil. Ichwan Azhari dan kolega di Rumah Sejarah Medan yang tak kenal lelah mencari informasi keberadaan mushaf, lalu mengumpulkan dan mendeskripsi sejumlah temuan mushaf Al-Qur’an ini—di samping temuan naskah dan artefak lainnya.
Katalog Mushaf di Sumatera Utara. |
Oleh karena itu, sejumlah temuan manuskrip yang dimuat dalam katalog ini menjadi sangat penting, dan layak memperoleh apresiasi yang tinggi. Hal ini tidak lepas dari perjuangan Dr. Phil. Ichwan Azhari dan kolega di Rumah Sejarah Medan yang tak kenal lelah mencari informasi keberadaan mushaf, lalu mengumpulkan dan mendeskripsi sejumlah temuan mushaf Al-Qur’an ini—di samping temuan naskah dan artefak lainnya.
Temuan baru manuskrip Al-Qur’an
ini menjadi lebih berarti lagi ketika Sumatera Utara pada 2018 kebetulan
menjadi tuan rumah penyelenggaraan Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ) Nasional
XXVII. Eksistensi sejarah kesultanan dan masyarakat muslim di Sumatera Utara
menjadi lebih lengkap dengan adanya temuan sejumlah mushaf baru ini.
Katalog ini memuat 16 mushaf yang
ditemukan di Sumatera Utara. Ke-16 mushaf tersebut—dua di antaranya
tafsir—merupakan koleksi dua dosen Universitas Negeri Medan (UNIMED) yakni
Bapak Ichwan Azhari dan Ibu Rahmadewi serta koleksi Bapak Candiki Repantu dari Yayasan
Islam Abu Thalib Medan. Sebagai wilayah yang memiliki sejarah Islam yang
panjang, Sumatera Utara sebenarnya patut diduga memiliki sejumlah koleksi
mushaf yang banyak. Oleh karena itu, dengan penerbitan katalog ini, kita
berharap nanti akan muncul lagi sejumlah manuskrip lainnya yang barangkali saat
ini masih banyak di tangan masyarakat.
Asal Usul
Katalog ini telah mendeskripsi manuskrip
Al-Qur’an dengan sangat lengkap, dilakukan oleh Bapak Candiki, seorang pengkaji
Islam yang berpengalaman luas. Semua aspek kodikologi mushaf telah digambarkan
dengan baik dan sangat detail. Demikian pula aspek tekstualnya, menyangkut ulumul-Qur’an,
yaitu rasm, ḍabṭ, dan qira’at, juga tak lepas dari uraian yang sangat
terperinci. Dari uraian tersebut kita memperoleh gambaran utuh tentang sebuah
mushaf.
Meskipun demikian, untuk
melengkapi katalog ini, barangkali ada satu hal yang bisa ditambahkan dalam katalog
ini, yaitu tentang asal usul mushaf. Membaca katalog ini kita belum memperoleh
gambaran tentang sejarah atau asal usul mushafnya.
Seperti zaman sekarang, sejak
dahulu masyarakat mempunyai mobilitas yang tinggi, dapat berpindah atau
bermigrasi dari suatu tempat ke tempat lainnya. Demikian pula manuskrip atau
artefak lainnya. Perpindahan suatu naskah atau mushaf dapat karena hadiah, jual
beli, pewarisan, atau sebab lainnya. Oleh karena itu, bila kita menemukan
sebuah manuskrip di suatu tempat, tidak selalu berarti bahwa manuskrip tersebut
disalin di tempat itu. Perlu telaah perbandingan yang teliti lebih dahulu. Meskipun
demikian, pada umumnya, keberadaan suatu manuskrip sering berkaitan secara
historis dengan tempat ditemukannya.
Mushaf SU AQ01/ICH |
Sejumlah mushaf yang ditemukan di
Sumatera Utara ini memperlihatkan keragaman asal usul mushaf. Dugaan ini
berdasarkan iluminasi, kaligrafi, tata letak, atau aspek lainnya. Mushaf SU
AQ01/ICH misalnya, iluminasinya memperlihatkan ciri Melayu secara umum, dengan gaya
Pantai Timur, antara Terengganu dan Patani yang cukup kuat (lihat Gallop, 2005).
Meskipun motif dan iluminasinya menceriminkan gaya Pantai Timur, namun warna
dan tata letak halaman isi mushaf cukup berbeda. Dari segi warna, biasanya gaya
Pantai Timur menonjol dalam penggunaan emas atau kuning, sementara dalam mushaf
ini tidak begitu dominan. Di pihak lain, tata letak halaman isi yang tidak
lebar dan terkesan vertikal, lebih mencerminkan kebiasaan dalam beberapa mushaf
asal Sumatera Barat. Oleh karena itu, manuskrip ini mencerminkan tradisi mushaf
Melayu secara umum, sesuai dengan wilayah Sumatera Utara sebagai wilayah
kesultanan Melayu yang sangat penting.
Mushaf SU AQ02 |
Mushaf SU AQ02/ICH mencerminkan tradisi mushaf Minangkabau yang sangat kuat, seperti tampak pada gaya iluminasi, warna, dan tata letak halaman isi mushaf. Penggunaan blok panel motif floral yang meruncing di bagian atas, tepi-luar, dan bawah iluminasi; warna merah dominan yang digores ritmis; serta tata letak halaman teks ayat yang menyisakan tepi halaman kosong yang cukup lebar, semuanya mencerminkan asal usul mushaf ini yang cukup kuat.
Mushaf SU AQ03/ICH, AQ05/ICH, AQ11/RD, AQ13/RD memperlihatkan tradisi mushaf Lombok (lihat Akbar, 2011; Mustopa, 2017). Ketiga mushaf terakhir, berturut-turut merupakan bagian dari 5 jilid mushaf lengkap. Sementara SU AQ04/ICH, AQ07/ICH, AQ10/RD, dan AQ14/CR memperlihatkan tradisi mushaf Jawa (lihat Gallop, 2012; Akbar, 2006; Akbar, 2018; Hakim, 2015). Adapun Mushaf SU AQ09/RD tampaknya bersesuaian dengan tradisi mushaf Madura (lihat Hakim, 2016), seperti terlihat pada motif floral iluminasi bagian atas, tepi-luar, dan bawah. Kesesuaian motif akan sangat mungkin mencerminkan kesamaan asal usul suatu manuskrip. Akan lebih kuat lagi jika ada dukungan ‘bukti-bukti’ lainnya seperti warna, tinta, kertas, kaligrafi, jilidan, atau aspek lainnya. Mushaf ini merupakan koleksi Ibu Rahmadewi yang juga memiliki beberapa manuskrip lainnya dalam kumpulan ini.
Antara mushaf Jawa—selain Banten, karena memiliki ciri tersendiri (Gallop dan Akbar, 2006), Madura, dan Lombok memiliki
kedekatan dalam tradisi mushaf. Ketiga wilayah ini banyak menggunakan dluwang sebagai alas tulis. Di samping
itu, gaya iluminasinya juga memperlihatkan kedekatan, biasanya menggunakan
bentuk-bentuk segitiga di bagian atas, tepi-luar, dan bawah iluminasi.
Mushaf-mushaf Jawa, Madura dan Lombok kini tersebar di sejulah museum,
perpustakaan dan koleksi pribadi di negara-negara jiran, juga Australia, bahkan
Eropa.
Mushaf yang juga menarik untuk
didiskusikan adalah SU AQ06/ICH. Ini satu-satunya mushaf yang memiliki kolofon—dan
oleh karena itu problematis, karena angka yang tercantum kurang jelas. Seperti
yang terbaca dalam katalog ini, Bapak Candiki yang mendeskripsi mushaf-mushaf
dalam katalog ini ‘menawarkan’ bacaan angka tahun 1074 H (1663 M) (lihat gambar
di bawah). Kolofon dalam naskah ini sebenarnya disertai pembilangan dalam
bentuk kata-kata, namun tampaknya sang penyalin kurang menguasai bahasa Arab,
sehingga sulit dipahami, dan bisa jadi ada bagian yang khilaf tidak ditulis.
Menurut penulis, penulisan angka
‘nol’ pada kolofon ini perlu dicermati lagi—memang di sinilah titik krusialnya.
Penulisan angka ‘nol’ di bawah ini tampak tidak spontan, tidak sekali gores,
sebagaimana angka ‘tujuh’ dan ‘empat’ di sebelahnya. Tampak jelas ada
penggoresan ulang dalam penulisan angka tersebut, sebagai koreksi, sehingga
bentuk angka ‘dua’ menjadi lebih terlihat. Jadi penulis berpendapat bahwa angka
yang lebih meyakinkan adalah 1274 H (1857 H). Hal ini juga mempertimbangkan
kertas mushaf ini, ProPatria, tidak ber-shadow
pada chain lines (garis tebal), yang
pada umumnya di Nusantara digunakan pada abad ke-19. Kertas Eropa sebelum abad
ke-19 biasanya memiliki karakter khusus, terkadang tebal sehingga cap kertas
tidak nyata, atau sebaliknya tipis, dan biasanya ber-shadow pada chain lines-nya.
Tarikh penyalinan SU AQ06/ICH. |
Menutup pengantar singkat ini,
kiranya perlu sekali lagi dicatat besar-besar bahwa temuan sejumlah mushaf
dalam katalog ini sangat penting bagi pengetahuan kita tentang mushaf
Nusantara. Jumlah mushaf kuno yang kini masih dapat kita saksikan menjadi lebih
banyak, dan pengetahuan kita tentang masa lalu sedikit demi sedikit menjadi
lebih lengkap.
Dalam catatan penulis, sebelum
ini, Sumatera Utara merupakan salah satu di antara provinsi yang belum memiliki
koleksi manuskrip Al-Qur’an. Dengan temuan baru ini, dari 34 provinsi di
Indonesia, ada lima provinsi yang hingga kini belum diketahui secara pasti
‘memiliki’ koleksi mushaf kuno, yaitu Provinsi Bengkulu, Sulawesi Utara,
Gorontalo, Papua Barat, dan Papua. Semoga tidak lama lagi akan ditemukan juga
mushaf-mushaf kuno di wilayah itu.
Selamat mengkaji lebih lanjut!
Jakarta-Bogor,
19 September 2018
Daftar Pustaka
Akbar, Ali. 2006. “Tradisi Lokal, Tradisi Timur
Tengah, Dan Tradisi Persia-India: Mushaf-Mushaf Kuno Di Jawa Timur.” Lektur
4(2): 242–61.
———. 2011. “Tradisi Mushaf Al-Qur’an di Lombok.” In Perkembangan
Mushaf, Terjemahan, Dan Tafsir Di Indonesia, ed. Ali Akbar. Jakarta: Lajnah
Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, 7–13.
Gallop, Annabel Teh. 2005. “The Spirit of Langkasuka? Illuminated
Manuscripts from the East Coast of the Malay Peninsula.” Indonesia and the
Malay World 33(96): 113–82.
———. 2012. “The Art of the Qur’an in Java.” Suhuf 5(2): 215–29.
Gallop, Annabel Teh, and Ali Akbar. 2006. “The Art of the Qur’an in
Banten: Calligraphy and Illumination.” Archipel 72: 95–156.
Hakim, Abdul, ed. 2015. Ragam Hias Mushaf Al-Qur’an Nusantara.
Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an.
———. 2016. “Penyalinan Al-Qur’an Kuno Di Sumenep.” Suhuf 9(2):
343–62. http://jurnalsuhuf.kemenag.go.id/index.php/suhuf/article/view/160/141.
Mustopa. 2017. “Mushaf Kuno Lombok: Telaah Aspek Penulisan Dan Teks.” Suhuf
10(1): 1–24.
http://jurnalsuhuf.kemenag.go.id/index.php/suhuf/article/view/215/146.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar